5 Agenda COP28, Mana yang Paling Susah?

Penulis : Gilang Helindro

Iklim

Sabtu, 02 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Presiden COP28 (Conference of the Parties ke-28) Sultan Al Jaber mengatakan, bahwa semua negara harus bekerja sama dalam mengatasi perubahan iklim dan segara mengambil tindakan untuk mengurangi emisi. 

“Kita tidak punya waktu lagi. Semua pihak harus siap untuk memberikan keputusan dengan ambisi yang tinggi sebagai tanggapan atas inventarisasi global yang mengurangi emisi sekaligus melindungi manusia, kehidupan, dan mata pencaharian," kata Al Jaber dalam keterangan resminya, Jum’at, 30 November 2023.

Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, menyebut ada lima agenda penting dalam COP28. Ia mengimbau, para pemimpin negara untuk menyampaikan pesan yang jelas pada para negosiator. “Jangan pulang tanpa kesepakatan yang membuat perbedaan nyata,” kata Stiell. 

Agenda pertama kata Stiell, adalah upaya mitigasi perubahan iklim. Tugas utama COP28 adalah menilai kemajuan negara-negara dalam memenuhi tujuan Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi kenaikan suhu global berada di bawah ambang 1,5 derajat Celsius.

Sultan Ahmed Al Jaber, president of this year’s COP28. Foto: Karim Sahib/AFP

Hal itu mencakup langkah-langkah mendesak menuju pengurangan emisi CO2 atau meningkatkan investasi teknologi ramah lingkungan. Negara-negara diharapkan memperbarui target dan rencana pengurangan emisi nasional mereka pada 2025. 

Kedua, masa depan bahan bakar fosil. Menurut Stiell, pembicaraan terberat di COP28 mungkin berfokus pada peran bahan bakar fosil di masa depan. Saat ini muncul sejumlah dorongan agar negara-negara berkomitmen untuk mulai menghentikan penggunaan batu bara, minyak, dan gas yang menghasilkan CO2. Negara-negara di COP26 sepakat untuk mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap, namun mereka tidak pernah sepakat untuk menghentikan semua bahan bakar fosil. Sebagai informasi, bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi yang menyebabkan pemanasan global.

Ketiga, teknologi untuk mengatasi emisi. Uni Emirat Arab (UEA) dan negara-negara yang perekonomiannya bergantung pada bahan bakar fosil, ingin COP28 memasukkan fokus pada teknologi baru yang dirancang untuk menangkap dan menyimpan emisi CO2 di bawah tanah.

Badan Energi Internasional mengatakan bahwa teknologi pengurangan emisi ini sangat penting untuk mencapai tujuan iklim global. Namun, teknologi tersebut juga mahal dan saat ini tidak digunakan dalam skala besar. UE dan negara-negara lain khawatir hal ini akan digunakan untuk membenarkan penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus.

Keempat, meningkatkan kapasitas energi bersih. Negara-negara akan mempertimbangkan untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dan menggandakan penghematan energi pada tahun 2030. 

Hal ini tampaknya akan mendapat dukungan luas, karena negara-negara besar G20 termasuk Tiongkok sudah mendukung tujuan energi terbarukan. Namun UE dan beberapa negara yang rentan terhadap perubahan iklim bersikeras untuk menggabungkan janji meningkatkan energi terbarukan dengan penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap, sehingga menimbulkan konflik. 

Kelima, pembiayaan untuk upaya menekan perubahan iklim. Stiell mengatakan, mengatasi perubahan iklim dan dampaknya memerlukan investasi yang sangat besar. Investasi tersebut jauh lebih besar dari anggaran yang sudah disiapkan dunia sejauh ini. 

Menurut PBB, negara-negara berkembang akan membutuhkan setidaknya US$ 200 miliar setiap tahun pada 2030 untuk beradaptasi terhadap dampak iklim yang memburuk seperti kenaikan permukaan laut atau badai.

"Kenyataannya, bahwa tanpa lebih banyak dana yang mengalir ke negara-negara berkembang, revolusi energi terbarukan akan tetap menjadi fatamorgana di padang pasir. COP28 harus mengubahnya menjadi kenyataan," kata Stiell.