COP28: Masyarakat Sipil Serukan Aksi Iklim Secara Berkeadilan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Minggu, 03 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sebanyak 18 organisasi masyarakat sipil di Indonesia mengeluarkan seruan untuk Conference of the Parties ke-28 (COP28) yang digelar UN Climate Change Conference di Uni Emirate Arab (UEA), 30 November-12 Desember 2023. Seruan itu meminta Pemerintah Indonesia dan dunia untuk menerbitkan komitmen politik dan mandat yang tegas demi meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.

Dalam seruan tersebut, ke-18 wali lingkungan ini mengatakan, dampak krisis iklim sudah sangat nyata dirasakan, termasuk oleh masyarakat Indonesia, seperti meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana banjir, topan, badai, gelombang tinggi, kekeringan, dan cuaca ekstrim lainnya. Termasuk memburuknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah melalap 1 juta hektare lahan di 2023, gagal panen, menyebarnya penyakit dan pandemi baru, kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut, hingga hilangnya pulau-pulau dan daerah di Indonesia.

Kelompok ini menguraikan, sebagai negara kepulauan di wilayah tropis, kerentanan Indonesia terhadap dampak krisis iklim adalah yang ke-3 tertinggi di dunia (Bank Dunia, 2021). Jika krisis iklim memburuk, perekonomian (GDP) Indonesia diperkirakan akan tergerus hingga 7% pada 2100. Belum lagi, dampak terburuk krisis iklim justru ditanggung oleh kelompok masyarakat rentan yang berkontribusi paling kecil atas krisis tersebut (Laporan Sintesis IPCC AR6).

"Untuk menghindarkan bahaya krisis iklim, dunia membutuhkan aksi iklim segera. Kesempatan terakhir bagi kita untuk bertindak adalah di dekade ini (2020-2030)," kata mereka, Jumat (1/12/2023).

Para kepala negara dan pemerintahan akan berbicara pada KTT COP28 di Dubai pada Jumat (1/12/2023) dan Sabtu (2/12/2023). Foto: New York Times/Sean Gallup/Getty

Kelompok ini menganggap, aksi yang diambil sekarang akan menentukan nasib bumi, manusia, dan segala makhluk di dalamnya selama ribuan tahun ke depan. Tidak hanya mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi), negara-negara juga harus meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bertahan di tengah krisis iklim (adaptasi) serta mengatasi kehilangan dan kerusakan akibat krisis iklim (loss and damage).

Aksi iklim dimaksud, kata kelompok ini, juga harus adil, artinya berupaya menghilangkan ketidakadilan ekologis, sosial-ekonomi, dan politik yang ada saat ini serta mencegah timbulnya ketidakadilan-ketidakadilan baru akibat aksi iklim itu sendiri.

Sayangnya, menurut mereka, komitmen dan aksi global masih sangat jauh dari cukup untuk menghindarkan masyarakat dunia dari bahaya krisis iklim. Global Stocktake pertama yang dikeluarkan UNFCCC pada 8 September 2023 lalu menemukan emisi global masih terus naik, komitmen pendanaan dari negara-negara maju belum terpenuhi, dan dukungan untuk adaptasi masih sangat jauh dari memadai (WRI, 2023).

"Oleh karenanya, dalam momen COP28 pada 30 November hingga 12 Desember ini, masyarakat sipil Indonesia menyerukan pemerintah Indonesia dan dunia untuk mengeluarkan komitmen politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan," ujar kelompok ini.

Kelompok 18 ini menyampaikan 13 poin seruan:

  1. Kembali ke lapangan: hutan alam masih terus hilang, pulau-pulau kecil terancam, transisi energi yang tidak berkeadilan justru merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat, perusakan pesisir, perairan, terumbu karang, mangrove terus terjadi sehingga perekonomian masyarakat lokal hilang.
  2. Menindaklanjuti dan memasukkan pertimbangan evaluasi GST untuk memperkuat ambisi Second NDC Indonesia sesuai dengan pathway 1,5C dengan implementasi yang lebih transparan, akuntabel, inklusif, dan partisipatif.
  3. Selaraskan seluruh rencana, kebijakan, dan proyek pembangunan dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dan peningkatan ketahanan iklim secara berkeadilan serta koreksi mendasar terhadap sistem dan model ekonomi yang tinggi karbon.
  4. Adaptasi dan mitigasi tidak boleh dilakukan secara terpisah, tapi harus selalu bersama-sama agar aksi mitigasi tidak mengurangi kapasitas adaptif dan aksi adaptasi dapat berkontribusi pada penurunan emisi dengan alokasi sumber daya pendanaan yang seimbang.
  5. Jalankan transisi energi yang adil dan inklusif, baik dari kebijakan yang mendukung ekosistem hulu ke hilir, pendanaan, terobosan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, partisipasi, kondisi pemungkin, dan akses sumber daya, serta dukung upaya transisi energi yang ditentukan di tingkat lokal dan komunitas.
  6. Lindungi dan pulihkan ekosistem alam tidak terbatas pada hutan, gambut, ekosistem pesisir, dan laut namun meliputi kekayaan hayati di dalamnya dengan menghentikan alih guna lahan yang menurunkan kapasitas masyarakat dalam beradaptasi, memicu kepunahan satwa secara cepat dan tidak sesuai dengan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
  7. Bersiap dan mengantisipasi bencana iklim yang akan semakin sering terjadi dengan mendorong adaptasi yang dipimpin dan sesuai konteks lokal serta menyiapkan mekanisme penyaluran dana Loss and Damage yang bisa sampai di tingkat lokal.
  8. Akui dan lindungi hak-hak masyarakat adat, petani, dan masyarakat lokal (MAPKL) termasuk hak atas tanah, serta hak-hak kelompok rentan sebagai prakondisi aksi adaptasi dan mitigasi yang efektif.
  9. Lindungi hak-hak seluruh warga melalui uji tuntas hak asasi manusia dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi.
  10. Hentikan segala bentuk ancaman dan intimidasi kepada setiap warga yang berupaya untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat untuk generasi kini dan mendatang.
  11. Alihkan aliran pendanaan sektor-sektor yang intensif emisi ke sektor sektor yang berfokus pada pemulihan dan restorasi lingkungan.
  12. Pemerintahan baru harus lebih tegas dalam mengantisipasi risiko bencana iklim dan menyusun rencana aksi iklim yang lebih ambisius dan terukur hingga 2030.
  13. Memastikan setiap solusi yang diajukan berdampak nyata pada penurunan emisi dan menahan kenaikan temperatur. Menyerahkan solusi hanya pada mekanisme dan kepentingan pasar adalah sebuah kemunduran.

Pidato Presiden Jokowi dalam WCAS COP28

Sementara itu, dalam pidatonya di World Climate Action Summit (WCAS) COP28, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut posisi Indonesia sudah jelas, yakni membangun Indonesia yang resilience, prosper, sustainable, and inclusive ekonomi. Pemerintah Indonesia, kata Presiden Jokowi, ingin bekerja keras mencapai Net Zero Emission pada 2060 atau lebih awal, sekaligus menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kemiskinan dan ketimpangan yang terus diturunkan secara signifikan, serta lapangan kerja yang terus tercipta.

"Saya yakin banyak negara berkembang mempunyai posisi yang sama dengan Indonesia. Tetapi agenda ini tidak bisa dilakukan oleh masing-masing negara, perlu kerjasama yang kolaboratif dan inklusif berupa aksi-aksi nyata untuk menghasilkan karya-karya nyata. Itulah yang harus kita capai di COP28," katanya, Jumat (1/12/2023).

Presiden mengklaim, dengan segala keterbatasan, Indonesia terus menurunkan emisi karbon antara 2020-2022 sebesar 42% dibandingkan dengan perencanaan Business as Usuall (BAU) 2015. Presiden juga mengklaim pemerintahnya telah bekerja keras untuk memperbaiki pengelolaan Forest and Other Land Use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan.

Dalam hal pengelolaan FOLU, lanjut Presiden, Indonesia terus menjaga dan memperluas hutan mangrove serta merehabilitasi hutan dan lahan. Ia juga menyebut deforestasi juga berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir, pembangunan persemaian juga kita lakukan dalam skala besar dengan kapasitas total sekitar 75 juta bibit per tahun juga sudah mulai efektif berproduksi.

Dalam hal transisi energi, imbuh Presiden, pemerintah menempuh Indonesia way of just energy transition toward twenty thirty, mempercepat pengembangan energi baru terbarukan serta menurunkan penggunaan batu bara. Pengembangan energi baru terbarukan terutama energi surya, air, angin, panas bumi dan arus laut serta pengembangan biodiesel, bioetanol dan bioavtur juga semakin meluas.

"Saya baru saja meresmikan Cirata floating solar power plant terbesar di Asia Tenggara, menghasilkan 192 megawatt hasil kerja sama Indonesia dengan Uni Emirat Arab," tutur Presiden.

Presiden Jokowi mengatakan, semua upaya tersebut membutuhkan pembiayaan yang besar, negara-negara yang sedang berkembang tidak mungkin mampu melakukannya sendiri. Indonesia butuh investasi lebih dari USD1 triliun, untuk net zero emission 2060. Presiden mengundang kolaborasi dari mitra bilateral, investasi swasta, dukungan filantrofi, dan dukungan negara-negara sahabat.

Kemudian Presiden menyebut, Indonesia telah mempunyai platform pembiayaan inovatif yang kredibel, bursa karbon, mekanisme transisi energi, sukuk dan obligasi hijau, pengelolaan dana lingkungan hidup dari result based payment, bank-bank pembangunan dunia MDPS, harus meningkatkan kapasitas pendanaan transisi energi dengan bunga rendah.

"Target Paris Agreement dan Net Zero Emission hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi ini, dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan," ucap Presiden.