Apa Kabar Rencana Aksi Pengurangan dan Penghapusan Merkuri?

Penulis : Justin Ade Stirman, Relawan Lingkungan Perisai Bumi, Yogyakarta

Opini

Senin, 04 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

WALAUPUN sudah diamanatkan dalam Peraturan Presiden, baru ada 11 provinsi dari 38 provinsi dan sembilan kabupaten dari 416 kabupaten dan 98 kota di Indonesia  yang sudah menerbitkan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati tentang Rencana Aksi Daerah Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAD-PPM). Padahal, Pasal 15 Perpres 21 Tahun 2019 itu menyatakan, gubernur, bupati, dan walikota wajib menyusun dan menetapkan rencana aksi terhadap merkuri paling lama 1 tahun sejak Perpres berlaku—dan ini sudah 4 tahun lalu.

Potensi pencemaran lingkungan akibat merkuri merupakan persoalan serius di negeri ini. Beberapa kasus pencemaran oleh logam berat ini pernah terjadi di Indonesia. Sebut saja, pencemaran Teluk Buyat pada tahun 2004 yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dengan kerugian 117,68 jt US$ (Parlemen Bicara Lingkungan, 2009). Indonesia juga merupakan wilayah dengan potensi lepasan merkuri yang besar karena banyaknya kasus penambangan emas skala kecil yang menggunakan merkuri di Solok, Pongkor, Sekotong, Katingan, dan P. Buru (Indonesia Darurat Merkuri).

Dadan Moh Nurjaman, saat menjabat Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Mineral Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengatakan pemakaian merkuri di Indonesia melebihi peraturan yang berlaku (Media Indonesia, 6 April 2017). Gampang melihatnya dari volume hasil tambang emas. Pada 2013, hasil penambangan emas legal hanya sekitar 59 ton. Sementara itu, penambang emas ilegal menghasilkan 65 hingga 130 ton emas. Padahal, pemakaian merkuri di tambang ilegal diketahui gila-gilaan. Diestimasikan pelepasan merkuri di udara saat itu mencapai 195 ton, yang berasal dari pemakaian merkuri di sekitar 1.000 titik penambangan emas skala kecil (PESK).

Masalah pencemaran merkuri menjadi perhatian dunia berawal dari Tragedi Minamata pada 1956. Mengutip berbagai sumber, lebih dari 2000 orang meninggal dan 17.000 warga harus menghabiskan hidupnya dengan kondisi lumpuh, kerusakan saraf, kehilangan penglihatan dan kemampuan berbicara.

Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh dengan luas 1.577 hektare wilayah pertambangan emas ilegal (Peti). Sumber: earth.google.com

Diketahui, pencemaran merkuri mengakibatkan banyak hal buruk pada manusia. Dari iritasi kulit dan mata, gangguan saraf sensorik dan motorik, hingga masalah pada ginjal dan sistem kardiovaskular. Gangguan saraf sensorik dapat berupa kebas, kaku pada jari tangan dan kaki, penglihatan menyempit, hingga gangguan pendengaran. Gangguan saraf motorik seperti koordinasi otot, sulit berdiri, mudah jatuh, tremor, gerakan lambat, dan sulit bicara.

Untuk mengendalikan merkuri secara internasional, UNEP menyelenggarakan Governing Council (GC) pada tahun 2009 yang menyetujui dilakukannya negosiasi Global Legally Binding Instrument on Mercury dengan membentuk Intergovernmental Negotiating Committee (INC). Indonesia turut berperan aktif dalam INC, mulai dari INC-1 pada 2010 di Stockholm hingga INC-5 pada tahun 2013 di Jenewa, yang menyetujui substansi konvensi yang disepakati diberi nama “Minamata Convention on Mercury” atau Konvensi Minamata Mengenai Merkuri.

Komitmen Indonesia dalam Pengendalian Merkuri

Kerusakan lingkungan di Pulau Sangihe akibat tambang emas ilegal. Foto: SSI

Komitmen Indonesia terhadap Konvensi Minamata Mengenai Merkuri ditunjukkan dengan disahkannya  Undang-Undang No. 11 Tahun 2017 terkait Konvensi Minamata Mengenai Merkuri pada 20 September 2017. Dua tahun kemudian, terbit Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri. Dalam Pasal 6 Perpres tersebut dinyatakan, gubernur wajib menyusun RAD-PPM provinsi dan Bupati/Walikota wajib menyusun RAD-PPM kabupaten/kota dengan berpedoman pada Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.

RAN-PPM merupakan dokumen rencana kerja tahunan dengan target pengurangan dan penghapusan merkuri yang diprioritaskan pada empat bidang, yaitu manufaktur, energi, pertambangan emas skala kecil, dan kesehatan, dilaksanakan dalam periode tahun 2018 sampai 2030 (Pasal 2). Ditargetkan, ada pengurangan merkuri untuk sektor manufaktur sebesar 50% pada tahun 2030 dan 33,2% untuk sektor energi tahun 2030. Adapun pemakaian merkuri pada pertambangan emas skala kecil  harus sudah dihentikan seluruhnya pada 2025 dan pada bidang kesehatan harus sudah disetop 100% pada 2020.

Sebagai tindak lanjut dari Perpres Pengendalian Merkuri tersebut, Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 81 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri. Pasal 3 ayat (1) Permen ini menegaskan tentang adanya kewajiban bagi pemerintah daerah (Gubernur dan bupati/wali kota) sesuai dengan kewenangannya untuk menyusun RAD-PPM.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK juga mengelurkan surat S.220/PSLB3/SET/KUM.1/5/2020 tanggal 19 Mei 2020 tentang Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan dan Penghapusan Merkuri yang meminta Gubernur serta Bupati/ Walikota agar menyusun RAD-PPM. Tahun 2022, kembali Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun mengeluarkan surat dengan Nomor: S.531/PSLB3/PB3/PLBI/8/2022, tertanggal 26 Agustus 2022 tentang Percepatan Penyusunan RAD-PPM.

Jalan di Tempat

Salah satu alat berat jenis ekskavator yang digunakan untuk tambang emas ilegal di TN Batang Gadis.

Meskipun sudah diamanatkan dalam berbagai peraturan, kenyataannya hingga saat ini sangat sedikit provinsi/kab/kota yang telah menyusun RAD-PPM. Percepatan penyusunan RAD-PPM tidak menunjukkan progres dan hasil yang signifikan—kalau tidak mau dibilang jalan di tempat. Soalnya, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK, hingga November 2023, yang menerbitkan Pergub RAD-PPM baru Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Riau, Jambi, Maluku Utara, Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau.

Adapun delapan kabupaten yang sudah menerbitkan Perbup RAD-PPM adalah Lombok Barat, Sumbawa Barat, Sumbawa, Gorontalo Utara, Kulonprogo, Minahasa Utara, Kuantan Singingi, dan Halmera Selatan, serta Kota Palangkaraya.

Masih sedikitnya pemerintah daerah yang telah menyusun RAD-PPM perlu dicermati. Evaluasi harus dilakukan. Badan yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi soal ini salah satunya adalah Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa (P3E Jawa)  KLHK, yang telah melakukan kajian terhadap 13 Kabupaten dan kota yang ada di Pulau Jawa pada 2023. Ke 13 kabupaten dan kota tersebut adalah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, dan Jember di Jawa Timur; Kabupaten Bogor, Bandung, Bekasi, dan Cianjur di Jawa Barat; Kabupaten Tangerang, Serang, dan Kota Tangerang Selatan di Banten; dan dua kota lainnya adalah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan di Jakarta.

Hasil evaluasi terhadap ke-13 kabupaten dan kota itu menemukan, kota di DKI Jakarta dan Kabupaten Bekasi telah menyusun RAD-PPM, namun berupa draf. Adapun  10 kabupaten dan kota lainnya hingga saat pengkajian belum menyusun draf. Alasannya macam-macam.

Delapan kabupaten dan kota menyatakan RAD-PPM terkendala oleh keterbatasan anggaran. Faktor dominan lainnya, yakni belum memahami cara penyusunan RAD-PPM dan kesulitan menentukan data baseline, disampaikan tujuh kabupaten dan kota. Adapun soal SDM dikeluhkan enam kabupaten dan kota.

Sejatinya, berbagai kandala tersebut mengerucut pada satu hal penting, yakni komitmen pemerintah daerah. Manakalah pemerintah daerah mengganggap RAD-PPM ini penting untuk dilakukan karena dampak serius dari merkuri, berbagai kandala di atas dapat diatasi. Pertanyaanya, sudahkan RAD-PPM menjadi komitmen pemerintah daerah?   

Berangkat dari hasil evaluasi P3E Jawa, ada beberapa rekomendasi yang layak dipertimbangkan para pengambil kebijakan, baik di pusat maupun daerah, agar segera menyusun RAD-PPM.  Pertama, perlunya penguatan komitmen, koordinasi dan kerja sama antar instansi di tingkat pemda kabupaten dan kota, provinsi, pemerintah pusat, dunia usaha dan Masyarakat, untuk menyusun dokumen dan melaksanakan RAD-PPM. Kedua, pentingnya dukungan sumber daya baik SDM maupun anggaran untuk penyusunan dan pelaksanaan RAD-PPM.

Ketiga, meningkatkan pemahaman pemda dan masyarakat terhadap kebijakan dan peraturan merkuri serta Rencana Aksi Pengurangan dan Penghapusan Merkuri melalui sosialisasi dan pembinaan. Keempat, pendampingan dalam penyusunan RAD-PPM di daerah.

Terakhir, dan ini penting, penguatan koordinasi KLHK dengan Kemendagri untuk dukungan surat percepatan penyusunan dokumen RAD-PPM. Hal ini penting karena secara teknis, organisasi pemerintah daerah berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam memobilisasi pemerintah daerah, KLHK dapat mencontoh langkah pengaturan tentang pengelolaan sampah yang diundangkan oleh Menteri Dalam Negeri sehingga efektif dan diadopsi oleh seluruh pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota.