Teknik Petik Ceri Pidato Presiden Jokowi di COP28
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Rabu, 06 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - WALHI Nasional mengkritisi pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada KTT iklim PBB atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Menurut organisasi yang mengadvokasi lingkungan tersebut, klaim Jokowi tentang capaian Indonesia terkait iklim berlebihan dan kontradiktif dengan kebijakan dan aksi iklim yang dijalankan pemerintah saat ini.
Jokowi menyampaikan pidato pada pembukaan COP28, Jumat, 1 Desember 2023. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengatakan Indonesia akan mencapai emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada 2060. Dia juga mengklaim berbagai keberhasilan mulai dari pengurangan emisi sebesar 42%, penurunan deforestasi, transisi energi, hingga transisi ekonomi berkelanjutan.
Kontradiksi penurunan emisi dan deforestasi
Pengkampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan target NZE pada 2060 atau lebih cepat tidak akan pernah terwujud dengan model ekonomi ekstraktif tinggi emisi yang selama ini dijalankan. Uli mengatakan, model ekonomi ekstraktif telah menyebabkan krisis iklim, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat, dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan masyarakat.
Salah satunya adalah hilirisasi pertambangan nikel masih akan dilanjutkan negara seperti terlihat dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. “Model ekonomi ekstraktif ini membuat target NZE pada 2060 atau lebih cepat nampak seperti mimpi di siang bolong,” kata Uli, Senin, 4 Desember 2023.
Uli mengatakan, emisi sektor energi di Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi selama 20 tahun terakhir. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada 2021, Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar ke sembilan di dunia. Ekstraksi pertambangan nikel juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektare dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat dengan adanya pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektare. Ini diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.
Kontradiksi kedua, ujar Uli, keberhasilan penurunan emisi sebesar 42% pada 2020-2022 dibandingkan business as usual (BAU) tahun 2015 adalah manipulasi angka melalui teknik petik ceri atau cherry picking.
Analisis WALHI mengungkap, emisi 2015 adalah emisi tertinggi pada rentang periode tahun 2000-2020. Sementara itu laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Linkgungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut emisi pada 2015 mencapai 2.339.650 Gigaton CO2e. Emisi tertinggi bersumber dari kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem gambut.
Menurut Uli, pada tahun-tahun berikutnya kecuali 2019, emisi berkisar pada angka di bawah 1,5 juta Gigaton CO2e. “Harusnya klaim pengurangan emisi didasarkan pada BAU tahun tanpa kebakaran hutan dan lahan terutama di ekosistem gambut. Pada 2020-2022 juga masuk dalam tahun pandemi yang menurunkan cukup signifikan emisi di beberapa sektor,” ujarnya.
Angka keberhasilan penurunan emisi yang harusnya dicapai pemerintah sesuai dengan dokumen komitmen iklimnya, Nationally Determined Contributions (NDC), sebesar 31% dengan upaya sendiri dan 43% dengan dukungan internasional, dalam jumlah emisi tahunan harus menjadi 890.000 gigaton CO2e dan 741.000 gigaton CO2e.
Kontradiksi soal mengurangi kemiskinan dan ketimpangan
Dalam pidatonya, Jokowi menyatakan agenda mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia. Menurut Pengkampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil, Parid Ridwanuddin, hal ini tidak akan terwujud pada 2060 jika tetap mempertahankan eksploitasi sumber daya alam sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Menurut Parid, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam rancangan akhir RPJPN 2025-2045 sebesar 6-7% justru melanggengkan kemiskinan masyarakat Indonesia. Pasalnya, ragam kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi memperburuk kehidupan masyarakat, terutama kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, dan masyarakat adat.
Kemiskinan nelayan desa-desa pesisir di Indonesia menggambarkan hal tersebut. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada 2022 mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jika penduduk miskin di Indonesia per September 2022 adalah 26 juta jiwa, maka kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68% dari total angka kemiskinan di Indonesia.
Pada masa yang akan datang, situasi ini akan memburuk akibat krisis iklim. Penelitian Litbang Kompas (2023) menyebut, sebanyak 926.492 nelayan dan petani akan meninggalkan pekerjaannya saat in akibat krisis iklim dan proyek iklim pada 2030. “Angka ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Indonesia sebagai negara bahari sekaligus kepulauan terbesar di dunia,” kata Parid.
Klaim terkait transisi energi
Dalam pidatonya, Jokowi menyebut dua hal terkait transisi energi yakni mempercepat penggunaan energi terbarukan dan menurunkan penggunaan batubara. Menurut Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI Nasional, Tri Jambore, ini adalah klaim yang tidak menginjak realita. Saat ini bauran energi terbarukan Indonesia berada di 12%, jauh dari target 23% pada 2025. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), bauran energi terbarukan Indonesia juga harusnya mencapai 60% pada 2030 jika ingin mencapai target iklim 1,5 derajat Celcius sesuai Perjanjian Paris.
“Klaim penurunan penggunaan batu bara di Indonesia juga bertolak belakang dengan kebijakan dan kenyataan yang ada,” kata Tri.
Tri mengatakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut kontrak panjang penggunaan batu bara dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru akan mencapai puncaknya pada 2035. Di sisi lain, produksi batu bara terus meningkat dari tahun ke tahun, termasuk untuk kebutuhan domestik.
Hal serupa terjadi dengan pengurangan PLTU batu bara. Meskipun ada aturan yang melarang pengembangan PLTU baru, laporan organisasi masyarakat sipil mengungkap pembangkit batu bara khusus industri atau PLTU Captive meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir, dari 1,4 gigawatt pada 2013 menjadi 10,8 gigawatt pada 2023.
“Ini masih akan bertambah hingga 14,4 gigawatt mengingat beberapa proyek masih sedang dalam tahap konstruksi dan pengusulan,” kata Tri.
Pengkampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI, Dwi Sawung, mengatakan platform pembiayaan dan mekanisme transisi energi Indonesia juga berisiko beban utang baru. Tahun lalu Indonesia menerima skema pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang, sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp300 triliun.
Namun, 99% dari komitmen pembiayaan transisi energi ini diberikan dalam bentuk utang. “Menerima skema pendanaan transisi yang dipenuhi skema utang akan berakhir menjadi beban berlapis bagi pemerintah,” kata Sawung.