Indonesia Masuk 10 Besar Penghasil Emisi Karbon Dunia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Polusi
Rabu, 06 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project menyebutkan Indonesia jadi salah satu dari sepuluh negara penghasil karbon terbesar di dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18.3% pada 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi.
Indonesia berada di peringkat enam menurut laporan tersebut, di bawah Cina, Amerika Serikat, India, Rusia, dan Jepang.
Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Sepanjang 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia.
Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada 1997 terjadi akibat kebakaran gambut.
Temuan ini disampaikan dalam Laporan Global Carbon Budget, yang disusun oleh lebih dari 120 ilmuwan internasional dan telah ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Para ilmuwan menyatakan, tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya.
Tanpa upaya untuk mengurangi emisi, ada 50% peluang kenaikan suhu 1,5ºC di atas pra-industrialisasi akan ditembus dalam jangka waktu tujuh tahun, beberapa tahun lebih cepat dari proyeksi Laporan IPCC.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan, posisi Indonesia sebagai salah satu emiten (penghasil emisi) terbesar sedunia merupakan peringatan bahwa Indonesia perlu mengambil andil dalam mengurangi jumlah emisi karbon yang dikeluarkan khususnya dari sektor energi dan lahan.
"Sebagai salah salah satu negara yang paling rentan akan perubahan iklim, penting bagi negara kepulauan ini untuk berupaya mengurangi emisi karbon dan menekan laju perubahan iklim serta mencegah dampak terburuknya demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya,” kata Iqbal, Selasa (5/12/2023).
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menambahkan, laporan Global Carbon Budget memperlihatkan bahwa ada kontradiksi antara data pemerintah dan ilmuwan. Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada transparansi data pemerintah yang disandingkan dengan data dari berbagian kajian global dan data yang dimiliki masyarakat sipil,” ucap Nadia.
Nadia melanjutkan, deforestasi masih terjadi mungkin juga karena Enhanced NDC masih memberikan “kuota” deforestasi sebesar 300 ribu hektare per tahun hingga 2030. Dari 128,7 ribu hektare deforestasi hutan alam yang terjadi pada 2020-2021, 62%-nya terjadi di wilayah izin dan konsesi.
"Penegakan hukum harus lebih tegas supaya angka deforestasi bisa lebih ditekan. Selanjutnya, Indonesia harus memperkuat komitmennya dalam menghentikan dan mengembalikan (halting and reversing) laju kehilangan hutan Indonesia sebagaimana yang telah dijanjikan pada Glasgow’s Leaders Declaration on Forest and land Use,” ujarnya.
Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia, berpendapat, Indonesia masih ketagihan batu bara, sehingga wajar bila emisi Indonesia masuk dalam 10 besar di dunia. Pada 2023, Indonesia memecah rekor, ketika awal Desember produksi batu bara telah mencapai 703,14 juta ton, melampaui target 694,5 juta ton.
Belum menimbang co-firing biomassa kayu, lanjut Novita, yang berdasarkan data Trend Asia dapat memperburuk 155,9 juta ton emisi dari deforestasi 240.622 hektare hutan alam. 43,59% angka emisi Indonesia berasal dari hutan dan lahan, yang menandakan buruknya perlindungan hutan.
"Akibatnya, dampak perubahan iklim yang dialami Indonesia akan semakin parah. Padahal Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, yang akan memperparah bencana hidrometeorologi yang saat ini saja sudah mendera kita," kata Novita.
Communication Specialist 350.org Indonesia, Firdaus Cahyadi menyebut, sangat jelas pada rencana umum energi nasional (RUEN) Indonesia, setidaknya sampai pada 2040 masih akan bergantung pada energi fosil terutama batu bara. Bahkan lebih parahnya diproyeksikan ekspor batu bara akan menurun, tetapi dengan konsumsi dalam negeri akan terus naik.
"Maka kondisi hari ini di mana konsumsi batu bara semakin besar dari tahun ke tahun, selain untuk produksi listrik pada jaringan listrik PLN, juga untuk pembangkit captive terutama industri mineral,” ujarnya.
Komitmen penurunan emisi karbon KTT Iklim COP 28
Masyarakat sipil kemudian menyoroti pernyataan Presiden COP28, Sultan Al Jaber, dalam sebuah diskusi She Changes Climate, pada 21 November 2023 lalu, yang menyatakan penghapusan bahan bakar fosil untuk pencapaian target iklim dunia “tidak berlandaskan sains”. Al Jaber bahkan menyatakan menghapus bahan bakar fosil akan mengirim dunia “kembali ke dalam gua”.
Penyangkalan Al Jaber, yang juga memimpin perusahaan minyak nasional Dubai, menandai keengganan dan konflik kepentingan industri fosil yang dapat merintangi upaya penanggulangan perubahan iklim. Temuan peneliti pada Laporan Sintesis IPCC AR6 yang dirilis Maret 2023 menunjukkan perlu mengurangi emisi CO2 sebesar 48% pada 2030 dan 99% pada 2050 untuk target 1,5 derajat C demi mencegah dampak perubahan iklim yang parah.
"Emisi global pada tingkat saat ini dengan cepat meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer kita, menyebabkan perubahan iklim tambahan dan dampak yang semakin serius dan meningkat,” kata Professor Corinne Le Quéré, Profesor Riset Royal Society di Sekolah Ilmu Lingkungan UEA.
Professor Corinne menilai semua negara perlu melakukan dekarbonisasi ekonomi mereka dengan lebih cepat dari yang sedang dilakukan saat ini untuk menghindari dampak-dampak terburuk dari perubahan iklim.
Novita menambahkan, Presiden COP 28 Sultan Al Jaber, yang seharusnya berperan dalam upaya melawan perubahan iklim, justru melakukan penyangkalan sains ketika yang bersangkutan berkepentingan sebagai bagian dari industri fosil.
"Indonesia, sebagai negara yang rentan akan perubahan iklim, perlu untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai landasan pengambilan keputusan, serta mengurangi target produksi batubara yang bombastis, bertekad bulat mengurangi emisi, dan segera menjalankan transisi energi yang berkeadilan,” ujar Novita.