Jalesveva Jayamahe Masih Jauh dari Laut dan Pesisir

Penulis : Gilang Helindro

Hari Hak Asasi Manusia 2023

Jumat, 08 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tak lagi muda, Khalil masih cekatan menyiangi hasil melautnya. Tapi, ujarnya, pagi itu ia seharusnya tidak di sana. "Harusnya pagi ini melaut," kata dia, "Tapi cuaca tidak mendukung."

“Dalam cuaca bagus saja, kita cukup jauh untuk melaut, apalagi dalam cuaca buruk yang tidak bisa ditebak ini,” celetuk Khalil sambil terus merapikan udang yang sedang dijemur. “Udang ini mau diolah jadi terasi, Mas. Biar awet. Kalau segar sulit untuk disimpan lama,” ungkapnya ketika ditemui di Kampung Nelayan Muara Angke, Selasa, 5 Desember 2023.

Sambil terus bekerja, Khalil bercerita, sebelum ada reklamasi hasil sehari bisa dapat tiga juta. Sekarang dapat tiga ratus ribu paling banyak. Ditambah lagi jika aturan zonasi nanti diterapkan pemerintah, ia membayangkan hidupnya akan makin susah. "Nelayan butuh pemimpin yang memikirkan hak asasi manusia para nelayan," ujar dia. “Kalau sekarang, pemerintah menyempitkan usaha dan pendapatan nelayan kecil” kata Khalil.

Khalil, salah satu nelayan dari Muara Angke, Jakarta Utara, mengaku keberatan dengan adanya rencana untuk melanjutkan pembangunan permukiman di Pulau G. Dia bercerita, penghasilan nelayan menurun semenjak reklamasi Pulau G dilakukan. Menurutnya, penghasilan nelayan tradisional di Muara Angke bisa turun 70-100 persen.

Khalil, salah satu nelayan dari Muara Angke, Jakarta Utara, merasa keberatan dengan adanya rencana melanjutkan pembangunan permukiman di Pulau G. Foto:Gilang/Betahita.id

“Pesisir pantai Jakarta yang diuruk itu ya mengganggu, menyusahkan nelayan kecil, sampai nelayan banyak yang bangkrut. Penghasilan nelayan menurunnya sangat drastis, belum lagi menghitung faktor kondisi air laut,” katanya.

Soal kondisi laut memang perlu dipelajari nelayan. Mulai dari memahami arah mata angin, karakteristik ombak, hingga titik-titik strategis di mana kerang dan ikan sering berkumpul. “Semenjak cuaca tidak menentu, sulit untuk melaut, belum lagi ada tanggul laut, ikan sulit didapatkan, ditambah bersaing dengan kapal besar yang menggunakan jaring,” ungkap Khalil.

Khalil berharap, pemerintah memperhatikan masyarakat pesisir dan nelayan kecil. “Bukan menelantarkan kami yang kecil ini,” kata dia. 

Minim HAM di Laut

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional mengatakan, pemenuhan HAM  masyarakat pesisir, nelayan tradisional dan nelayan kecil, maupun pulau kecil di Indonesia, masih minim. Padahal, ini amanat konstitusi. Prinsip dasar yang ada pada Undang-Undang Dasar 45 pasal 28 h berbunyi setiap warga negara berhak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. 

“Kita lihat, di sini ada dua definisi HAM. Pertama yang sifatnya substantif, kedua prosedural,” kata Parid, Senin, 4 Desember 2023. Pertama definisi HAM substantif, di mana nelayan harus mendapat laut yang sehat, tidak tercemar, tidak ada kerusakan lingkungan. Kedua, definisi HAM prosedural, di mana nelayan dan masyarakat pesisir mendapatkan ruang dalam pengambilan keputusan.

Saat ini, kata Parid, potret pemenuhan HAM nelayan sangat buruk sekali di Indonesia. “Mulai dari hak mendapatkan lingkungan yang sehat, kemudian pemenuhan dan ruang partisipasi nelayan tidak dilaksanakan pemerintah,” ungkap Parid. 

Parid mencontohkan, pemenuhan prosedur, dalam pengaturan tata ruang, dalam perumusan Integrasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemukiman, nelayan terabaikan sama sekali. “Bayangkan, pemukiman nelayan sangat kecil sekali dan tidak pernah dilibatkan,” kata Parid.

Parid mengatakan, sebagai negara kepulauan yang sudah 78 tahun merdeka, belum ada satupun definisi dalam Undang-undang yang mengakui wilayah tangkap nelayan tradisional dan nelayan kecil. “Menurut saya negara abai akan pemenuhan HAM pada nelayan tradisional dan nelayan kecil, juga tidak ada definisi yang mengakui perikanan skala kecil merupakan sistem pangan di Indonesia,” kata Parid.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, jumlah nelayan di Indonesia sebanyak 1,27 juta orang hingga 2022. Jumlah ini berkurang 5,22 persen dibanding tahun 2021 sebanyak 1,34 juta orang.

Sebagai catatan, jumlah nelayan dalam data ini dihitung berdasarkan kolom profesi saat pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Pelanggaran HAM juga menimpa para anak buah kapal (ABK) Indonesia.

Bukan hanya pada nelayan kecil, HAM jadi persoalan. Pelanggaran HAM juga menimpa para anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing.

Menurut catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), sejak September 2014 hingga Juli 2020 saja terdapat 338 aduan terkait kerja paksa di laut yang dialami ABK Indonesia di kapal ikan asing. Pada 2020, jumlah pengaduan yang masuk sebanyak 104, meningkat dibanding tahun 2019 sebanyak 86 pengaduan.

Selasa, 26 September 2023 lalu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM). Stranas BHAM, harapannya menjadi acuan tentang kewajiban negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab pelaku usaha, serta hak korban pelanggaran HAM untuk mendapat akses atas pemulihan yang “efektif, sah, dapat diakses, memberi kepastian, adil, transparan, dan akuntabilitas, baik melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial.”

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa inisiasi pemerintah dalam mengeluarkan Stranas BHAM perlu mendapatkan apresiasi karena dapat menjadi rujukan tentang tanggung jawab perusahaan, pemerintah, dan hak-hak dari pekerja yang dieksploitasi oleh pengusaha.

“Ironisnya, Stranas BHAM dikeluarkan tidak lama setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan cacat formil atas UU Cipta Kerja dan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia di tengah proyek strategis nasional,” kata Abdi, dalam keterangan resminya, dikutip Selasa, 5 Desember 2023.

Namun, Stranas BHAM tidak dapat menjadi solusi satu-satunya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi atau menjadi label dalam menentukan siapa perusahaan yang bersih. “Bisnis dan HAM perlu dipandang sebagai tanggung jawab perusahan untuk mengorbankan sebagian dari keuntungan untuk meningkatkan standar-standar perlindungan pekerjanya dan lingkungan tempat sebuah perusahaan beroperasi” kata Abdi. Selain itu, Stranas BHAM tidak akan terlaksana apabila pemerintah terus melanjutkan kebijakan pro-pembangunan dan melanggengkan impunitas bagi pelaku usaha.

HAM di pesisir

Baru saja, 7 Desember lalu, Daniel Frits Maurits, aktivis pesisir Karimunjawa, Jawa Tengah, ditahan Polres Jepara. Daniel dibawa polisi karena menyuarakan keluh kesah masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup di Karimunjawa, Jawa Tengah, akibat adanya tambak udang. 

Daniel dilaporkan petambak udang yang tidak terima dengan komentar Daniel di media sosial pada 12 November 2022 lalu. Dia terancam UU ITE, karena mengekspresikan kekhawatirannya. 

Menurut cerita Daniel, masyarakat menduga buangan limbah tambak udang mengakibatkan permukaan laut di pesisir kotor dan berbusa, sehingga menguarkan bau tak sedap. Keberadaan limbah di laut juga memicu tumbuhnya lumut di perairan Karimunjawa. Padahal, Karimunjawa merupakan tempat banyak masyarakat menggantungkan hidup. Mulai dari warga yang membudidayakan rumput laut, nelayan ikan, hingga warga yang memberikan jasa pariwisata bagi pelancong. Tanpa itu, kata Daniel, sulit bagi masyarakat Karimunjawa bertahan hidup. ”Ini ada masalah lebih besar dan penting. Semua bergantung pada masalah tambak udang,” kata Daniel kepada Jaring.id, 17 Oktober 2023 lalu.

Balai Taman Nasional Karimunjawa punya data kerusakan ini. Balai mencatat sedikitnya 33 titik tambak udang berada di Karimunjawa. Terdiri dari 238 petak tambah seluas 42 hektar. 

Kepala TN Karimunjawa, Widyastuti pada Maret 2023 lalu pernah menyatakan bahwa pipa-pipa tambak udang yang menjulur ke laut telah merusak terumbu karang. “Pipa tersebut ada yang diikat dengan bambu pancang, ada yang diikat dengan ban, ada juga yang diikat dengan batu karang. Ini sangat mengkhawatirkan keberlangsungan ekosistem laut Karimunjawa,” kata Widyastuti seperti dikutip dari jatengprov.go.id.

Bias Perspektif Darat

Miftahul Choir, Peneliti DFW Indonesia mengatakan Stranas BHAM tetap perlu dicermati secara kritis agar dapat diimplementasikan dengan baik. “DFW melihat Stranas BHAM belum mencakup konteks industri kelautan dan perikanan,” ujarnya, Selasa, 5 Desember 2023.

Destructive Fishing Watch (DFW Indonesia) mencatat terdapat tiga hal yang perlu dikritisi dari Stranas BHAM, khususnya dari sektor kelautan.

Pertama, bias perspektif darat. Dalam lampiran Stranas BHAM, tertulis bahwa dasar penyusunan berdasarkan kajian baseline dalam tiga sektor yaitu perkebunan, pertambangan dan pariwisata, industri perikanan tangkap yang juga dipenuhi pelanggaran HAM hingga potensi kerja paksa justru tidak terwakilkan dalam kajian tersebut.

Industri perikanan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan industri darat.

Padahal, kata Miftah, industri perikanan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan industri darat. Pengawasan sulit dilakukan terhadap kapal-kapal perikanan yang melakukan operasi penangkapan ikan di laut Indonesia selama berbulan-bulan. Akibatnya, tidak ada yang mengetahui secara jelas bagaimana kondisi awak kapal perikanan (AKP) dan bagaimana memperlakukan pekerja-pekerjanya. Dalam kata lain, pengusaha dapat lebih leluasa melakukan pelanggaran terhadap hak asasi pekerjanya.

Berbeda dengan pekerja daratan yang memiliki kontrak tetap dan gaji bulanan, AKP memiliki kontrak yang tidak pasti, berjangka pendek, dan sistem gaji bagi hasil. Artinya, upah yang diterima oleh AKP bergantung pada berapa banyak tangkapan yang dihasilkan dari sekali tangkapan, bukan berdasarkan upah minimum regional. Bekerja selama 9-5 juga tidak berlaku bagi pekerja perikanan yang harus bekerja selama belasan jam dan tanpa istirahat untuk mempersiapkan dan melempar jaring, menempatkan ikan, hingga membersihkan jaring.

Jika pekerja daratan mendapat lowongan pekerjaan dari kanal-kanal pencari kerja serta berbagai persyaratan, perekrutan AKP dipenuhi oleh penipuan dan intimidasi calo. Alih-alih membekali AKP dengan kontrak dan kompetensi, calo justru membebani AKP dengan hutang.

Akibat kontrak berjangka pendek, jam kerja yang panjang, keterbatasan finansial dan logistik, AKP sulit untuk berserikat dan bersolidaritas seperti pekerja daratan. Padahal, pekerja yang berserikat adalah syarat terpenting dalam implementasi Stranas BHAM.

Kedua, mengikuti jejak HAM perikanan. Jauh sebelum Stranas HAM, Pemerintah telah memiliki sertifikasi HAM Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 35 tahun 2015. Namun, hingga saat ini KKP belum menerbitkan sertifikat HAM bagi industri perikanan tangkapan dan pelanggaran HAM terus terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Stranas BHAM dapat memberikan perbedaan terhadap implementasi sertifikat HAM Perikanan.

“Pelaku usaha masih enggan untuk mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan sertifikat HAM” kata Abdi.

Di satu sisi, pemerintah juga belum memberikan penghargaan kepada pengusaha untuk melakukan penilaian HAM pada perusahaan. Padahal, kepemilikan sertifikat HAM dapat menjadi nilai jual bagi pelaku usaha dan mendorong industri perikanan tangkap Indonesia yang tertinggal dari negara tetangga.

Sertifikat HAM? Pelaku usaha lebih tertarik menggunakan Sertifikat Keahlian Awak Kapal Perikanan dan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan. 

Dibandingkan sertifikat HAM perikanan, pelaku usaha lebih tertarik menggunakan Sertifikat Keahlian Awak Kapal Perikanan dan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan yang tertuang pada PP No. 27 tahun 2021, turunan UU Cipta Kerja. Kedua sertifikat tersebut hanya mengatur keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan AKP, bukan tanggung jawab perusahaan dalam melindungi pekerjanya dan memperbaiki cara perusahaan melakukan bisnis.

Ketiga, pengawasan. Saat ini kata Miftah, Stranas BHAM memang hanya akan berdurasi selama tiga tahun dan berfokus pada pengembangan kapasitas, penyadartahuan, evaluasi atas regulasi, dan perumusan peraturan teknis.

Nantinya, pemerintah harus menjamin peraturan teknis mengatur mekanisme pengawasan, pihak yang bertanggungjawab dan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Stranas BHAM, serta pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi. Hal tersebut penting untuk memaksa pelaku usaha untuk mematuhi Stranas BHAM dan pemerintah dapat menagih tanggung jawab pelaku usaha.

Berdasarkan hal tersebut diatas, DFW Indonesia menemukan bias perspektif darat menjadi isu utama dalam Stranas BHAM dan akan berimplikasi pada aspek-aspek lainnya mulai dari perlindungan pekerja hingga mekanisme pengawasan.

DFW Indonesia menuntut pemerintah untuk memastikan Peraturan Menteri, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Hukum dan HAM memuat perspektif industri perikanan tangkap. Menjamin akan adanya pengawasan dan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar hak asasi manusia. Memastikan pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas antara kementerian dan satuan tugas BHAM.