Rencana Industri Mobil Listrik Indonesia Nihil Roadmap

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Kamis, 07 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Konsorsium Green Justice Indonesia, Nexus3, dan Debt Watch Indonesia melakukan riset scooping tentang pemetaan regulasi, aktor, dan skema pendanaan untuk mineral yang mendukung kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) seperti nikel, bauksit, tembaga, mangan, lithum, dan kobalt. Hasilnya, sebanyak 73 regulasi terkait pertambangan mineral EV yang lahir setelah 2009 tak menunjukkan aturan yang lebih spesifik dari hulu ke hilir.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan, menyebutkan nihilnya regulasi terpadu ini menimbulkan pertanyaan, apakah pilihan membangun industri EV dan infrastrukturnya merupakan jalan terbaik mengurangi emisi. Menurutnya pemerintah belum memiliki roadmap terkait EV ini karena masih ada beberapa yurisdiksi.

"Belum tahu siapa memegang koordinasinya karena masing-masing kementerian masih berjalan sendiri. Aturan terkait sudah banyak tapi sering berubah dan ini akan jadi potensi masalah dalam penegakan hukum nantinya. Begitupun rencana pembangunan terkait kendaraan listrik masih belum menyeluruh. Roadmap EV ini harus transparan, karena publik berhak mengaudit," katanya.

Peta jalan ini sangat penting karena menyangkut  rangkaian rantai pasok hulu dengan fokus pertambangan, rantai pasok antara dengan fokus smelter, dan rantai pasok hilir dengan fokus produk baterai bagi EV.

Tiga orang bocah melihat aktivitas tambang nikel di Morowali. Sumber Foto: Green Justice Indonesia

Program Officer Green Justice Indonesia, Halim Sembiring, mengatakan pemerintah seharusnya mengambil pelajaran dari kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Konawe, Morowali dan Kepulauan Sangihe dan lainnya. Jika tidak maka potensi pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan hidup masih akan terjadi. 

Pemerintah seharusnya mengambil pelajaran dari kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Konawe, Morowali dan Kepulauan Sangihe.

"Dari 73 aturan itu banyak membahas tentang penerbitan izin, perpajakan, keuangan, dan lain sebagainya," katanya.

Senior Advisor Nexus3, Yuyun Ismawati, menyoroti ambisi pemerintah untuk menjadi pemain utama EV di tengah masih banyaknya aturan yang belum sinkron. Faktanya, Indonesia tidak memiliki cadangan litium yang merupakan salah satu komponen penting bahan baku EV. Tanpa mineral itu, lanjut Yuyun, nikel tidak bisa dipakai untuk EV.

Selain itu potensi untuk impor limbah baterai bekas pun menyisakan masalah baru. Limbah baterai yang memiliki kandungan logam berat membutuhkan pengelolaan yang tepat agar tidak menjadi sumber pencemaran lingkungan.

"Aturan yang kita punya masih mismatch. Litium kita tidak punya, ada potensi impor limbah baterai bekas, ini bukan tanpa masalah," katanya.

"Aturan yang kita punya masih mismatch," kata Yuyun Ismawati.

Program Officer Nexus3, Annisa Maharani mengatakan, nikel di Indonesia mayoritas digunakan untuk stainless steel. Sementara untuk menjadikannya baterai EV masih sangat sedikit. Untuk membuat baterai EV dibutuhkan grade lebih tinggi maka industri nikel harus mengurus izin, tidak merusak lingkungan, dan menjaga keanekaragaman hayati. 

"Misalnya air limbah harus di-treatment, setelah polutan berbahaya hilang, baru dibuang. Pemerintah harus make sure bikin makmur warga yang di daerah industri," katanya.

Konsorsium ini pun merekomendasikan pembuatan regulasi yang efektif, jelas, akuntabel dan terintegrasi antar kementerian/lembaga (K/L). Regulasi ini juga dilingkupi oleh roadmap EV yang terintegrasi, transparan dan akuntabel, sehingga membuka peluang kontrol dari publik. 

Selain itu skema pendanaan dan perjanjian yang akan dibentuk untuk pembangunan rendah karbon tidak boleh memanfaatkan kelemahan hukum di Indonesia dan di institusi peminjam. Regulasi dan perjanjian yang mengikat aktor-aktor terkait harus selaras dan akuntabel dengan peraturan internasional, termasuk yang terkait lingkungan dan HAM.