MK Diharapkan Tolak Uji Materiil UU tentang Pulau Kecil

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Jumat, 08 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masyarakat sipil berharap Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) yang memeriksa Pengujian Materiil Undang-Undang (UU) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), tidak kehilangan akal sehat. Tanggapan tersebut disampaikan anggota Komisi III DPR RI, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), serta pakar hukum tata negara dalam sidang permohonan Uji Materiil UU PWP3K di MK, Selasa (5/12/2023) kemarin.

Dalam sidang itu, mereka menyatakan wilayah pesisir dan pulau kecil harus dilindungi dari aktivitas ekstraktif pertambangan seperti yang ditetapkan di UU PWP3K.

Adalah perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana yang menggugat pasal 35 huruf k UU PWP3K. Motifnya agar dapat terus menambang nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Karena gugatan itu, Idris warga Wawonii dan advokat yang mendampingi warga Wawonii, salah satunya TAPaK (Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil), merasa terancam. Sidang Pengujian Materiil itu membahas larangan aktivitas pertambangan mineral yang terkandung dalam Pasal 35 huruf K di UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Masyarakat Wawonii memagar lahannya. Pemagaran tersebut dilakukan karena perkebunan jambu mete mereka barus saja digusur PT GKP. Foto: Istimewa.

Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto mengatakan, PT GKP tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi syarat kerugian dalam Pasal 51 ayat 1 dari UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil, katanya, memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan penyangga kedaulatan bangsa.

"Terkait Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU No. 27 Tahun 2007, perlu melihat norma pengaturan dalam UU a quo," kata Wihadi, dalam sebuah rilis, Rabu (6/12/2023).

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sosial Pedesaan IPB Rilus A. Kinseng menyampaikan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil masih menghadapi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, marjinalisasi, penggusuran dan konflik sosial. Tak jarang sumber penghidupan mereka terganggu akibat berbagai kegiatan pembangunan, termasuk kegiatan yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan. Oleh sebab itu, akses dan kontrol komunitas pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap SDA sangat perlu dijaga dan dilindungi.

Rilus menyontohkan, kegiatan pertambangan di pesisir ada di Balikpapan, Kalimantan Timur, Tumpang Pitu Banyuwangi Jawa Timur,  dan Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Pembatalan Pasal 23 dan Pasal 35 UU PWP3K tersebut, katanya, akan menciptakan praktik-praktik penggusuran dan penindasan warga komunitas lokal, termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal. Ia menegaskan, Pasal 35 huruf k harus tetap dipertahankan, tidak boleh dibatalkan.

Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Charles Simabura menyebutkan, Pasal 23 dan Pasal 35 UU PWP3K sudah tegas menyebutkan hal yang diprioritaskan dan kegiatan yang dilarang. Kedua hal itu harus dibaca sebagai satu kesatuan.

Charles berpendapat, beleid tersebut sebaiknya lebih tegas melarang pertambangan mineral, sehingga kata 'apabila' dalam Pasal 35 huruf K UU PWP3K harus dihapuskan. "Mahkamah bisa mempertegas larangan pertambangan di undang-undang ini (UU No. 27 Tahun 2007)," tutur Charles.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sekaligus pengacara dari TAPaK menuturkan, MK tidak boleh kehilangan akal sehat saat berhadapan dengan korporasi tambang Harita Group, termasuk dalam memutus perkara ini. MK, imbuhnya, harus bebas dari intervensi atau pesanan pihak manapun.

"Sebab, jika gugatan GKP tersebut dikabulkan oleh MK, Indonesia memasuki masa kebrutalan ekstraktivisme, menempatkan pulau kecil beserta seluruh kehidupan di dalamnya sebagai wilayah penaklukan tambang. Ujungnya adalah penciptaan eco genosida masyarakat lokal dan adat pulau kecil," ucap Jamil.

Selain bertentangan dengan mandat konstitusi, gugatan PT GKP yang menginginkan adanya wilayah pertambangan di pulau kecil, khususnya Pulau Wawonii, juga bertentangan dengan seruan dunia internasional yang sedang bergerak menyelamatkan pulau-pulau kecil dari ancaman kenaikan air laut akibat krisis iklim.

Karena itu, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi menekankan bahwa pulau kecil, termasuk masyarakat yang tinggal di dalamnya, merupakan wilayah dan kelompok rentan yang akan terdampak buruk krisis iklim. Pertambangan di pulau-pulau kecil, tambah Parid, akan menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat yang hidup di pulau kecil terhadap krisis iklim.

"Pasalnya, pertambangan akan menghancurkan daya dukung dan daya tampung ekologi, menghancurkan kemampuan adaptasi, serta memaksa masyarakatnya menjadi pengungsi iklim pada masa yang akan datang,” kata Parid.

Secara internasional hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan terbebas dari berbagai bentuk krisis telah ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), khususnya pasal 25 dan prinsip 1 Deklarasi Stockholm (1972).

Parid menambahkan, jika pertambangan di pulau kecil tidak dihentikan, maka Indonesia akan menjadi pasar bencana ekologis dan bencana iklim bahkan ribuan pulau di Indonesia akan hilang pada masa yang akan datang. Gugatan yang diajukan oleh PT GKP ini, menurut Parid, adalah upaya untuk melemahkan perlindungan lingkungan hidup dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan di pulau-pulau kecil.

"Untuk itu, persidangan ini harus kita kawal sampai gugatan PT GKP dikalahkan. Sebab, gugatan yang dilakukan oleh PT GKP ini akan menjadi ancaman bagi pulau kecil yang lain yang sedang mengalami hal serupa dengan Wawonii,” kata Parid.

Wildan Siregar, Pengampanye Trend Asia dan pengacara dari TAPaK menambahkan, korporasi hanya datang untuk menghabisi ruang hidup masyarakat tanpa jeda. Setelah masyarakat menderita atas kerusakan lingkungan, korporasi pergi begitu saja dan mencari tempat lain untuk dieksploitasi.

Wildan mengatakan, menjaga pulau untuk tetap utuh artinya menjaga masyarakat dan ekosistem di dalamnya. Sehingga Hakim Mahkamah Konstitusi harus berorientasi pada penyelamatan pulau-pulau kecil bukan malah membuka pintu untuk eksplorasi.

"Mahkamah Konstitusi harus melihat perlindungan masyarakat dan ekologi di pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman pertambangan secara komprehensif,” ucap Wildan.

Lainnya, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menekankan MK harus memutus perkara ini seadil-adilnya untuk melindungi keberlanjutan masyarakat beserta ekosistem yang ada di pulau-pulau kecil. Pertambangan di pulau-pulau kecil seperti di Pulau Wawonii hanya bermanfaat kepada segelintir orang dan kerusakan sosial ekologi yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan.

Pasalnya, lanjut Susan, akan ada 2,3 juta nelayan dan 3,9 juta perempuan nelayan yang akan dikorbankan akibat kehilangan akses ke ruang hidup (darat) dan ruang kelola (laut) mereka. Hal itu karena pertambangan di pulau kecil tidak hanya merusak daratnya saja, tetapi juga merusak laut.

“TAPaK sebagai Pihak Terkait yang mewakili suara masyarakat pulau kecil Wawonii sangat mengharapkan kembalinya marwah MK sebagai Guardian of Constitution. MK harus menolak Pengujian Materiil Pasal 23 dan Pasal 35 untuk menjaga keberlanjutan 13.466 pulau kecil di Indonesia beserta masyarakat dan ekosistem yang ada di dalamnya," ujarnya.