ED: Yang Diinjak-injak dan Ditembak Demi Hak untuk Hidup

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hari Hak Asasi Manusia 2023

Sabtu, 09 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tubuh Gijik dan Taufik seketika tersungkur menghantam tanah, di perkebunan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), tak lama setelah letusan senjata api terdengar, 7 Oktober 2023 lalu. Tubuh mereka kemudian diseret untuk dievakuasi oleh warga lain.

Dada bagian kanan Gijik berlubang tertembus timah panas. Timah yang sama pula yang diduga membuat punggung Taufik terluka. Keduanya, menurut temuan Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal, diduga terkena tembakan senjata api yang dilepaskan aparat kepolisian yang melakukan pengamanan di perkebunan sawit itu.

Sabtu siang itu, Gijik dan Taufik, bersama ratusan warga Desa Bangkal lainnya memang sedang memperjuangkan haknya untuk hidup. Sudah beberapa pekan mereka menggelar aksi menuntut realisasi plasma kepada PT HMBP--anak usaha Best Group Plantation, yang selama 13 tahun tak kunjung terealisasi. Namun nahas, perjuangan itu harus Gijik bayar mahal dengan hilangnya nyawa.

"Berdasarkan keterangan saksi yang dihimpun, pada saat gas air mata tengah berlangsung, terdengar juga suara tembakan senjata api. Saat yang bersamaan, Gijik dan Taufik Noor Rohman yang sedang menghadap belakang (seperti posisi berlari) terlihat jatuh tersungkur ke tanah pada waktu hampir bersamaan," kata Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal, dalam laporan berjudul Temuan Awal Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terhadap Masyarakat di Desa Bangkal, 7 Oktober 2023.

Stop kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat Air Bangis. Foto: Gilang/Betahita

Tim Advokasi menduga terdapat dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dari tewasnya Gijik dan terlukanya Taufik akibat peluru yang ditembakkan. Lebih lanjut adanya bentrokan yang terjadi antara warga dan pihak kepolisian juga dapat diduga terjadi sebagai “ekses” dari adanya pengerahan aparat secara berlebihan di lapangan.

"Gijik termasuk pejuang lingkungan. Karena kematiannya akibat mempertahankan wilayah yang harusnya Gijik dan warga lainnya miliki. Ia memperjuangkan Hak untuk Hidup," kata Roni Saputra, Direktur Hukum, Yayasan Auriga Nusantara, Kamis (7/12/2023).

Hak untuk Hidup yang disebutkan Roni itu diatur dalam UUD 1945 Pasal 28A yang berbunyi setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, dan Pasal 9 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang berbunyi (ayat 1) setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, (ayat 2) setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, dan (ayat 3) setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pejuang lingkungan adalah pejuang HAM

Tim Advokasi WALHI Sumbar serahkan laporan terkait isu pelanggaran ham di Air Bangis, Pasaman Barat.

Pelanggaran HAM, lanjut Roni, tak hanya terjadi di Bangkal saja. Sejak 2014 hingga awal Desember 2023, sedikitnya tercatat 128 kasus kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap pejuang lingkungan terjadi di Indonesia.

"Kriminalisasi sebanyak 79 kejadian, ancaman fisik sebanyak 31 kejadian, dan ancaman psikologis sebanyak 18 kejadian," ujar Roni.

Secara umum, imbuh Roni, setidaknya ada 2 bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di sektor lingkungan hidup dan agraria, termasuk pemanfaatan sumber daya alam, yaitu tindakan negara, dan pembiaran yang dilakukan oleh negara. Tindakan negara dimaksud bisa dalam bentuk kriminalisasi pejuang lingkungan. Sedangkan pembiaran, terjadi dalam bentuk negara tidak hadir ketika pejuang lingkungan dibunuh, dianiaya, digusur, dan ditangkap tanpa alasan dan prosedur.

Roni menguraikan, pejuang lingkungan adalah salah satu pejuang HAM yang diakui dunia internasional. Bahkan pada 9 Desember 1998 PPB mengesahkan Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia. Berdasarkan perkembangan HAM, persoalan lingkungan hidup masuk menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari HAM.

Lingkungan hidup, imbuhnya, merupakan irisan yang ada dalam setiap perkembangan HAM, dan paling tegas disebut dalam generasi ketiga HAM, yang lebih menekankan pada program pembangunan yang pelaksanaannya berdampak pada terabaikannya hak-hak sosial lainnya. Sehingga melahirkan aliran-aliran pemikiran lingkungan, dimulai dari eco facism hingga eco development (aliran yang mengeksploitasi lingkungan demi keuntungan).

Mengacu pada konteks pembela HAM, maka di lingkungan hidup kemudian dikenal sebutan environmental defender (pembela lingkungan hidup). Environmental defender ini adalah individu atau sekelompok individu yang secara sukarela maupun profesional bekerja untuk melindungi lingkungan hidup, tanah serta sumber daya alam (SDA) lainnya dari kerusakan atas bisnis berskala besar seperti pertambangan, ekspansi perkebunan, reklamasi, dan konsesi hutan.

Individu tersebut dapat saja merupakan pemimpin masyarakat adat, petani, nelayan, aktivis lingkungan hidup, mahasiswa, pengacara, jurnalis dan profesional lainnya yang memiliki perhatian khusus terhadap keselamatan lingkungan hidup. Sementara menurut Global Witness, kata Roni, pembela lingkungan adalah individu atau kelompok yang aktif dalam upaya melindungi hutan, air, dan sumber daya alam lainnya.

"Mereka bisa saja aktivis komunitas, masyarakat adat, pengacara, jurnalis, ataupun anggota lembaga swadaya masyarakat," kata Roni.

Dalam pembuatan kebijakan, khususnya sektoral, pertimbangan HAM tidak begitu terlihat.

Roni menjelaskan, HAM, sebagai hak dasar dan konstitusional memang menjadi salah satu ketentuan yang wajib dipertimbangkan oleh pembuat regulasi di Indonesia. Namun di Indonesia, dalam pembuatan kebijakan, khususnya sektoral, pertimbangan HAM tidak begitu terlihat.

Misalnya kebijakan di sektor pertambangan, hak-hak masyarakat adat sering diabaikan, bahkan prinsip-prinsip umum yang berlaku juga jarang dipertimbangkan. Selain itu, dalam pembangunan (PSN, PEN, dan lain-lain), juga sama. Biasanya isu HAM akan terpinggirkan apabila berhadapan dengan investasi dan kepentingan ekonomi.

"Potret penerapan Undang-Undang (UU) HAM saat ini jelas buram, tidak terlihat jelas. UU HAM seolah-olah hanya menjadi penghias di rak-rak buku pembentuk regulasi. Fakta bahwa banyaknya korban pelanggaran HAM di 2023 sebagai buktinya," ujar Roni.

Tingginya kasus, menurut Roni, menjadi fakta bahwa pemerintah tidak terlalu menaruh perhatian pada perlindungan bagi para pembela lingkungan, belum lagi ketidakjelasan aturan yang memberikan perlindungan. Di sisi lingkungan, dengan disahkannya UU Cipta Kerja, semakin memperkuat analisa Auriga bahwa pemerintah hanya menempatkan SDA sebagai komoditi semata, dan seolah-olah melupakan bahwa SDA menjadi pendukung utama untuk penyelamatan lingkungan.

Aduan pelanggaran HAM terkait lingkungan tinggi

Sementara itu, sepanjang Januari 2020 hingga Oktober 2023, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menerima dan memproses pengaduan dugaan pelanggaran HAM terkait dengan isu lingkungan sebanyak 231 aduan. Dilihat dari lokasinya, tiga terbanyak berasal dari Jawa Barat (32 aduan), Sumatera Utara (10 aduan), dan Jawa Timur (18 aduan).

Dari 231 aduan yang masuk dalam rentang waktu 4 tahun itu, paling banyak masuk di 2020, sebanyak 72 aduan. Sementara di 2023, sampai dengan Oktober, aduan yang diterima Komnas HAM sebanyak 29 aduan.

Dilihat dari isu yang diadukan, isu lingkungan hidup menjadi yang terbanyak, yakni sebanyak 194 aduan. Dengan rincian, gangguan lingkungan tempat tinggal sebanyak 87 aduan, gangguan terhadap kawasan lindung 22 aduan, pembuangan limbah ke lingkungan tempat tinggal 29 aduan, pencemaran sumber mata air 36 aduan, dan pencemaran udara 19 aduan.

Selain lingkungan, aduan terkait isu agraria juga banyak diterima Komnas HAM. Sepanjang 2020-Oktober 2023, terdapat total 30 aduan yang masuk. Aduan tentang lahan, pertambangan dan perkebunan menjadi yang terbanyak, dengan masing-masing berjumlah 15, 8 dan 5 aduan.

Kemudian, kategori korban yang paling banyak mengalami dugaan pelanggaran HAM adalah Kelompok-Masyarakat sebanyak 176 aduan. Terbanyak kedua adalah Individu-Orang Seorang sebanyak 38 aduan. Sementara untuk pihak yang diadukan, paling banyak adalah korporasi sebanyak 111 aduan dan pemerintah daerah sebanyak 46 aduan.

Hak yang paling banyak diadukan adalah Hak untuk Hidup.

Komnas HAM RI mencatat, hak yang paling banyak diadukan adalah Hak untuk Hidup sebanyak 137 aduan. Kemudian Hak atas Kesejahteraan 65 aduan, Hak atas Rasa Aman 18 aduan, Hak Memperoleh Keadilan 4 aduan, Hak Turut Serta dalam Pemerintahan 4 aduan, Hak atas Kebebasan Pribadi 1 aduan, dan 2 aduan tanpa keterangan hak.

HAM dan lingkungan

Amnesty International menegaskan, HAM dan lingkungan saling terkait. HAM tidak dapat dinikmati tanpa lingkungan yang aman, bersih dan sehat, dan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan tidak dapat diciptakan tanpa pembentukan dan penghormatan terhadap HAM. Hak atas lingkungan yang sehat telah diakui dan dilindungi dalam lebih dari 100 konstitusi berbagai negara.

Hak lingkungan, menurut Amnesty International, terdiri dari hak substantif (hak dasar) dan hak prosedural (alat yang digunakan untuk mencapai hak substansial).

Bila diuraikan, substantif adalah lingkungan yang memiliki pengaruh langsung terhadap keberadaan atau penikmatan hak itu sendiri. Hak substantif terdiri dari hak sipil dan politik, seperti hak untuk hidup, kebebasan berserikat dan kebebasan dari diskriminasi; hak-hak ekonomi dan sosial seperti hak atas kesehatan, pangan dan standar hidup yang layak; hak budaya seperti hak untuk mengakses situs keagamaan; dan hak-hak kolektif yang terkena dampak degradasi lingkungan, seperti hak-hak masyarakat adat.

Sedangkan hak prosedural menentukan langkah-langkah formal yang harus diambil dalam menegakkan hak hukum. Hak prosedural mencakup tiga hak akses mendasar, yakni akses informasi, partisipasi publik, dan akses keadilan.

HAM yang berhubungan dengan lingkungan hidup, yakni hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak atas standar hidup layak, hak atas air dan sanitasi, hak atas perumahan yang layak, dan hak atas pembangunan.

Ada beberapa HAM yang berhubungan dengan lingkungan hidup, yakni hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak atas standar hidup layak, hak atas air dan sanitasi, hak atas perumahan yang layak, dan hak atas pembangunan.

Amnesty International juga menyebut berbagai persoalan akan muncul apabila hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat dilanggar. Seperti terjadinya krisis iklim yang mengancam keberlangsungan makhluk hidup dan ekosistem di bumi, krisis kesehatan saat kesehatan publik terancam, dan konflik agraria yang bisa menyebabkan masyarakat kehilangan sumber penghidupan.

"Sektor yang paling banyak menyumbang konflik dengan luas lahan konflik terluas adalah sektor perkebunan, disusul hutan produksi, pertambangan, hutan konservasi, hutan lindung, pesisir dan laut, pangan dan energi, transmigrasi, kawasan industri, dan infrastruktur energi listrik," tulis Amnesty International dalam sebuah artikel.

Sekelompok masyarakat sipil membentangkan spanduk yang isinya menyerukan lingkungan hidup yang baik

Menurut standar HAM internasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia. Aturan ini menyatakan setiap manusia memiliki hak yang melekat pada mereka sebagai manusia-termasuk hak atas makanan, tempat tinggal yang layak, akses ke air bersih, sanitasi, dan kesehatan.

Selain itu, ada juga Perjanjian Paris, perjanjian internasional yang mengikat secara hukum dan telah diadopsi oleh 196 pihak perjanjian dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 (COP 21) di Paris pada 12 Desember 2015 dan berlaku sejak 4 November 2016. Tujuannya adalah membatasi peningkatan suhu secara global di bawah 2 derajat hingga 1,5 derajat Celsius dibandingkan pada masa pra-industri.

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur tentang pengelolaan lingkungan secara sistematis, mulai dari perencanaan, instrumen pengendalian, hingga sanksi hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, sejalan dengan UU PPLH, karena mengatur tentang industri hijau.