HAM Papua Jadi Topik Debat Capres, Ini Kata Masyarakat Sipil

Penulis : Gilang Helindro

Hari Hak Asasi Manusia 2023

Rabu, 13 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Hak asasi manusia (HAM) di Papua menjadi topik debat pertama calon presiden pada Selasa malam (12/12). Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, dalam wawancara sebelumnya, mengungkapkan di Papua represi terhadap HAM terus terjadi. Dari tindakan represif terhadap konstitusi hukum, yakni Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang nomor 34 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, hingga Peraturan Kapolri nomor 1 tentang 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Dalam laporan berjudul Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran, ujarnya, Pusaka menemukan 26 kasus sepanjang 2022 yang diduga melanggar hak atas kebebasan berekspresi yang terjadi meluas di berbagai daerah di Tanah Papua.

Aksi mahasiswa Papua di patung kuda Jakarta, mengecam tindak penganiayaan anak yang terjadi di Kabupaten Puncak, Papua. Dok: Pusaka.

Pusaka juga mencatat, terdapat tiga korban meninggal, 72 orang luka-luka, 361 ditangkap sewenang-wenang, 26 menjalani proses hukum dan 18 orang dikenakan Pasal Makar dengan ancaman penjara seumur hidup. Itu terjadi di berbagai daerah.

AMAN dan BPAN Kalimantan Barat: PT. Mayawana Persada Segera Angkat Kaki dari Wilayah Adat Kami. Foto: Istimewa

“Beberapa daerah itu seperti Jayapura, Merauke, Nabire, Wamena, Jayabaya, Manokwari, Kaimana, dan Sorong, sepanjang tahun 2022,” katanya saat dihubungi Selasa, 5 Desember 2023.

Franky menjelaskan, ada beberapa isu yang terkait dengan pelanggaran HAM di Papua antara lain:

Pertama, kekerasan dan konflik bersenjata. Konflik antara kelompok separatis dan pasukan keamanan Indonesia telah berlangsung selama bertahun-tahun di Papua. “Kekerasan ini sering kali berdampak pada warga sipil, menyebabkan korban jiwa, luka-luka, dan ketakutan dalam komunitas,” ungkap Frangky.

"Kedua, pembatasan kebebasan berpendapat," kata dia.

Ketiga, keterbatasan akses kemanusiaan. Beberapa daerah di Papua mengalami keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas kemanusiaan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh konflik bersenjata, kurangnya infrastruktur, dan akses yang terhambat ke wilayah-wilayah terpencil.

Franky mengatakan, pelanggaran HAM, hak atas kebebasan berekspresi paling serius dan berulang-ulang terjadi di Tanah Papua pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Tidak hanya di Papua

Pada bulan Juli 2023, perusahaan telah membuka lahan seluas 4.970 hektare, sebuah angka deforestasi tertinggi, yang lebih besar dari total luas lahan yang dibuka di konsesi dalam periode lima tahun yaitu tahun 2016 hingga 2020.

Secara total, Mayawana Persada telah mengubah kawasan hutan seluas 34.039 hektare atau separuh dari luas DKI Jakarta, sejak tahun 2016 dari luas total konsesinya yang mencapai 136.710 hektare.

Konsesi HTI Mayawana Persada juga tumpang tindih dengan wilayah leluhur Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyebut konsesi tersebut menempati 3.650 hektare wilayah adat suku Dayak.Tidak hanya merampas wilayah masyarakat adat di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, tetapi juga merampas habitat utama orangutan kalimantan.

Pembukaan hutan di konsesi HTI PT Mayawana Persada di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat tumpang tindih dengan habitat utama orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) terjadi selama periode bulan Januari – Agustus 2023, yang telah mengubah bentang alam hutan untuk menjadi tanaman monokultur kayu.

Deforestasi di dalam konsesi HTI PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat, antara Juli hingga Septemb

Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Barat mengecam banyaknya aksi perampasan wilayah adat yang dilakukan sejumlah perusahaan, yang disertai diskriminasi terhadap Masyarakat Adat.

AMAN Kalbar dan BPAN Kalbar merilis sejumlah kawasan wilayah adat yang dirampas. Diantaranya, Tonah Colap Torun Pusaka milik Masyarakat Adat Benua Kualan Hilir yang kini telah dirampas PT Mayawana Persada.

Tonah Colap Torun Pusaka atau yang disebut wilayah adat milik Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir ini mencakup Bukit Serangkang seluas 1600 hektar, Bukit Sabarbubu seluas 1200 hektar, dan Bukit Tunggal seluas 850 hektar.

Fransiskus Padma, pengurus BPAN Kalimantan Barat menyatakan kawasan wilayah adat selalu dijaga dan dilindungi oleh Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir, namun kini telah dirampas oleh Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Mayawana Persada. Akibatnya, Masyarakat Adat terancam kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alam di Tanah Colap Torun Pusaka yang telah mereka jaga dan lindungi sejak dulu.

“Saat ini, Masyarakat Adat Kualan Hilir berada dalam tekanan hebat, seiring dengan meningkatnya penetrasi kepentingan kapital dalam bungkus berbagai macam proyek atas nama investasi yang dijalankan oleh PT. Mayawana Persada,” ungkap Padma dalam keterangan resminya dikutip, Kamis 7 Desember 2023.

Pihaknya meminta kepada PT Mayawana Persada agar memperhatikan kesepakatan yang telah dibuat masyarakat melalui Lembaga Pemangku Adat Benua Kualan Hilir. Selain itu, PT Mayawana Persada juga harus menghargai segala bentuk kearifan lokal Masyarakat Adat Kualan Hilir dan dengan segera menghentikan segala bentuk kegiatan proyek di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka.

“Stop semua kegiatan PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Kita minta mereka segera angkat kaki dari tanah leluhur,” tegas Padma.

Padma menjelaskan bahwa sebelumnya, sudah pernah dilaksanakan penyelesaian perkara sengketa lahan dengan acara adat di gedung Serbaguna Gensaok pada tanggal 11 Mei 2020. Acara adat tersebut dihadiri pejabat Kepala Desa Kualan Hilir, Dewan Adat Dayak Simpang Hulu, dan Perwakilan Petinggi Adat dan Manajemen PT Mayawana Persada. Acara tersebut menghasilkan kesepakatan antara Masyarakat Adat dengan PT Mayawana Persada.

“Hasil kesepakatannya, lahan dikembalikan kepada Masyarakat Adat,” ujar Padma.

Dikatakannya, masyarakat juga sudah pernah mengirimkan surat pemberitahuan kepada pihak perusahaan dengan bunyi mereka menolak dan tidak menerima kehadiran PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Namun, perjanjian dan surat pemberitahuan tersebut tidak diindahkan oleh PT Mayawana Persada. “Mereka tetap merampas wilayah adat kami,” sambungnya.

Menurut Padma, tindakan PT Mayawana Persada telah melewati batas. Wilayah adat yang telah mereka lindungi dan jaga sejak lama, justru dirampas oleh perusahaan tersebut. “BPAN mengecam segala bentuk aktivitas perampasan wilayah adat,” ujarnya.

Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Barat, Dominikus Uyub juga menyebut, masuknya perusahaan PT Mayawana Persada ke kawasan Tonah Colap Torun Pusaka menjadi malapetaka bagi komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir.

Dikatakannya, perusahaan PT Mayawana Persada secara sepihak menguasai dan menghancurkan wilayah adat di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka yang berakibat muncul konflik. Padahal, selama ini kawasan tersebut dijaga oleh Masyarakat Adat secara turun temurun. “Kawasan wilayah adat tidak boleh diganggu atau dirusak untuk kepentingan industri apapun,” ujar Dominikus.

Dominikus mengatakan rusaknya wilayah adat di sekitar kawasan Tonah Colap Torun Pusaka atas ekspansi PT Mayawana Persada menimbulkan persoalan sosial baru dan rusaknya ekologi, serta menghancurkan atau menghilangkan entitas Masyarakat Adat atas wilayah adat.

Pemerintah harus menindak tegas PT Mayawana Persada, kata Padma, yaitu dengan mencabut izinnya karena diduga telah melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dominikus bilang, wilayah adat sebagai penyangga kehidupan, memiliki fungsi yang sangat besar dalam menentukan keberlanjutan makhluk hidup yang ada di bumi, sehingga kelestariannya harus selalu di jaga dalam setiap perkembangan zaman. Namun faktanya saat ini, upaya-upaya dalam menjaga kelestarian wilayah adat telah terhalangi oleh aktivitas ekspansi industri ekstraktif seperti yang dilakukan PT Mayawana Persada.

“Mereka telah secara nyata mengeksploitasi wilayah adat dan segala sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, dengan dalil untuk pembangunan,” ungkap Dominikus.

Semakin masifnya pengambil alihan secara paksa, penghancuran serta kapitalisasi wilayah adat bertolak belakang dengan spirit yang diperjuangkan oleh dunia Internasional terkait aksi kolektif bagi setiap negara untuk menekan laju degradasi dan deforestasi hutan. Hal itu sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis dalam menghadapi perubahan iklim yang saat ini telah menjadi bencana Internasional.

Dominikus menegaskan, Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menyepakati, baik itu resolusi, konvensi serta deklarasi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan mengevaluasi investasi yang ada di dalam negeri, terkhususnya pengusahaan di sektor kehutanan atau lingkungan hidup.

PT Mayawana Persada memegang IUPHHK-HTI dengan No: SK. 724/Menhutll/2010 pada 30 Desember 2010 seluas 136.710 Ha, dengan izin 60 tahun. Areal konsesi PT Mayawana Persada berada di Kabupaten Ketapang, Kecamatan Simpang Hulu, dan terletak di antara tiga desa yaitu Desa Sekucing Kualan, Kualan Hilir, dan Kampar Sebemban. PT Mayawana Persada terindikasi berafiliasi dengan Sumitomo Group.