Awak Kapal Perikanan: Objek Kerja Paksa dan Perdagangan Orang

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Senin, 11 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Di balik performa industri perikanan tangkap Indonesia, terdapat darah dan keringat awak kapal perikanan (AKP) dan pekerja pengolahan perikanan yang dipaksa untuk terus mengeruk hasil laut Indonesia. Miftachul Choir, Human Rights Manager Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengatakan, dalam kurun waktu 2020-2023 National Fisher Centre (NFC) mencatat terdapat 123 aduan pelanggaran hak-hak tenaga kerja yang terjadi diatas kapal.

“Tidak jarang aduan tersebut dapat dikategorikan sebagai kerja paksa hingga perdagangan orang,” kata Miftah, Minggu, 10 November 2023. 

Dari jumlah aduan tersebut kata Miftah, NFC mencatat terdapat 325 korban. Jumlah ini terdiri 54,92 persen AKP domestik dan 45,08 persen AKP migran. "Angka tersebut tentunya hanya segelintir dari ratusan kasus yang dialami oleh AKP setiap tahunnya," ujarnya.

Berdasarkan jumlah aduan tersebut 47,1 persen aduan ditujukan kepada agen penyalur tenaga kerja atau calo, diikuti dengan perusahaan pemilik kapal sebesar 28,9 persen dan pemilik kapal perseorangan sebesar 18,2 persen. 

Nelayan mengumpulkan ikan tanjan hasil tangkapan di Desa Lombang, Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Senin (13/3/2023). Foto: Antara Foto/Dedhez Anggara/foc

Miftah menjelaskan, sebanyak 50 agen penyalur kerja dilaporkan paling banyak oleh AKP migran, sedangkan 30 pemilik kapal paling banyak dilaporkan oleh AKP domestik. Sebanyak 58,7 persen dari total kasus telah diselesaikan sedangkan 40,5 persen kasus sedang dalam proses rujukan. 

“Wilayah paling banyak menerima aduan adalah Sulawesi Utara dengan 49 aduan, Jawa Tengah 30 aduan, dan Jawa Barat 12 aduan,” ungkap Miftah.

Miftah mengatakan, seiring dengan keterbukaan pasar perikanan Indonesia, eksploitasi terhadap AKP dipastikan akan terus berlanjut, bahkan dapat mengalami peningkatan. Untuk itu, DFW merekomendasikan 6 langkah kepada pembeli, pemerintah, dan pelaku usaha demi menghindari eksploitasi awal kapal perikanan.

  1. Mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Tenaga Kerja untuk segera merumuskan panduan tata kelola termasuk sistim pengawasan Awak Kapal Perikanan dan Pekerja di Unit Pengolahan Ikan sehingga dapat memberikan jaminan perlindungan kerja yang holistik bagi pekerja perikanan Indonesia.
  2. Perbaikan regulasi tata kelola AKP yaitu melalui revisi Peraturan Menteri  Kelautan dan Perikanan nomor 33 tahun 2021 dengan membuat ketentuan tentang sistem rekruitmen yang adil, sistem pengawasan AKP dan kepastian status AKP sebagai pekerja dengan hak-hak normatif.
  3. Mendorong pemerintah untuk melakukan inspeksi dan pemeriksaan kondisi kerja diatas kapal, dan kelengkapan sertifikasi dan kompetensi. Pemeriksaan tersebut meliputi aspek  aspek K3, keikutsertaan jaminan sosial bagi pekerja perikanan, BST, Buku Pelaut dan Perjanjian Kerja Laut bagi setiap awal kapal perikanan.
  4. Mempertimbangkan sistem pengupahan berbasis upah minimum provinsi di industri perikanan dan mendorong pelaku usaha untuk transparan dalam menetapkan upah AKP
  5. Memperkuat peran peran pemerintah provinsi dalam melakukan pengawasan kondisi kerja awak kapal perikanan dan kondisi kerja di Unit Pengolahan Ikan pada sentra-sentra perikanan
  6. Mendorong pembentukan, konsolidasi dan penguatan Serikat Pekerja Perikanan dalam skala nasional sebagai sarana perjuangan pekerja perikanan dalam melakukan perundingan dengan pemerintah dan pelaku usaha perikanan.