Deforestasi, Biang Bencana di Tano Batak
Penulis : Aryo Bahwono
Deforestasi
Selasa, 12 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bencana, dari banjir bandang hingga longsor, yang datang bertubi-tubi di sekitar Danau Toba menunjukkan kritisnya ekosistem di Tano Batak. Deforestasi diduga berada di balik bencana ini.
Setidaknya tiga bencana tercatat di rentang November hingga Desember 2023 di kawasan sebelah selatan Danau Toba. Bencana itu antara lain banjir bandang di Bakkara hingga Simangulampe Kabupaten Humbang Hasundutan pada awal Desember, banjir bandang di Sihotang Kabupaten Samosir pada pertengahan November, dan Longsor di Desa Siabal Abal III di Tapanuli Utara pada awal Desember.
Di Kenegerian Sihotang, hujan selama 2 jam sudah membuat Sungai Binanga Godang dan Binanga Sitio-Tio meluap. Desa Sihotang dan empat desa lainnya, yaitu Desa Simarsoit Toba, Desa Hariarapohan, Desa Parmahanan, dan Desa Dolok Raja, pun kebanjiran. Satu warga meninggal dan sekitar 80 persen lahan pertanian hancur..
Di lembah Bakkara mengalami hal serupa. Pemukiman dan persawahan empat desa, yakni Marbun Tonga Dolok (Martodo), Marbun Toruan, Siunong-Unong Julu (Sinju), dan Simamora terkena limpasan air dan lumpur.
Sedangkan di Desa Simangulampe di Humbahas dan Desa Siparendean, Sipahutar, Tapanuli Utara mengalami banjir bandang terparah dengan korban jiwa dua orang dan 10 orang belum ditemukan.
Ketua Aliansi Tutup Toba Pulp Lestari (TPL), Anggiat Sinaga, mengungkap benca itu merupakan dampak deforestasi hutan dan Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba. Ia menyebutkan lokasi banjir bandang di Kenegerian Sihotang persis di bawah Hutan Sihotang, tempat terdapatnya dua aliran sungai, yakni Binanga Sitio-tio dan Binanga Godang.
“Di hulu Tombak Sihotang, yang merupakan DAS kedua sungai tersebut, terlihat melalui tangkapan kamera drone, terjadi penebangan pohon secara masif di wilayah Hutagalung, yang merupakan areal konsesi Toba Pulp Lestari (TPL) sektor Tele. Dari pengukuran jarak dengan menggunakan aplikasi Avenza maps, lokasi banjir bandang hanya berjarak sekitar 3.5 km dari batas konsesi perusahaan tersebut,” ucapnya melalui rilis pers pada Senin (11/12/2023).
Aktivitas yang sama juga terjadi di lembah Bakkara. Sungai Aek Silang, yang meluap, berlokasi di proyek Food Estate yang mengalir ke Desa Ria-ria. Pada kawasan itu terdapat pembangunan masif dan merupakan lokasi pembangunan PLTA.
Anggiat menyebutkan penyebab paling mendasar diduga adalah penebangan pohon di wilayah Hutagalung yang menjadi hulu Sungai Aek Silang dan menjadi wilayah operasi PT TPL.
“Kerusakan hutan yang terjadi di DAS Aek Silang sejak kehadiran perusahaan tersebut tidak bisa dipungkiri, di mana hutan-hutan alam yang tadinya menjadi hulu Aek Silang tepatnya di Kecamatan Pollung saat ini hampir seluruhnya berubah menjadi tanaman monokultur eukaliptus yang mewajibkan deforestasi di setiap panen raya,” jelasnya.
Simangulampe juga korban dari aktivitas yang serupa. Aek Sibuni-buni yang meluap berhulu di Dolok Sibuni-buni. Penelusuran menggunakan drone menunjukkan aktivitas penebangan di kawasan hulu. Bahkan terlihat hamparan tanaman monokultur eukaliptus seluas sekitar 15,6 hektar yang baru dipanen, dan log-log kayu eukaliptus yang tidak diangkut.
Di beberapa titik banjir bandang di Simangulampe juga ditemukan banyak potongan kayu eukaliptus yang hanyut terbawa air dan lumpur. Belum lagi melihat bahwa dalam tahap pemanenan, juga dilakukan pembukaan jalan yang merusak anak-anak sungai. Beberapa anak sungai yang ada di sekitar areal eukaliptus tersebut tertutup oleh log-log kayu eukaliptus.
Peneliti Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), Leorana Sihotang, mengungkap kondisi hulu yang kritis mengakibatkan sungai dan kawasan di hilir tidak lagi mampu menahan curah hujan sedang berintensitas tinggi. Tiga hari sebelum banjir bandang, Desa Simangulampe sudah diguyur hujan dengan curah hujan sedang menurut data BMKG.
Menurutnya temuan ini merupakan fakta memprihatinkan karena seharusnya bisa dicegah. Pemerintah dengan segala aparatus dan kewenangan harusnya bisa secara tegas menindaklanjutinya, walau sudah terlambat. Untuk menikmati lingkungan hidup yang baik, adalah hak yang diamanatkan konstitusi untuk dipenuhi negara.
“Reorientasi pembangunan tidak lagi bisa ditunda. Selama ini, pembangunan pada pelaksanaannya hanya mempertimbangkan kepentingan segelintir, dan membiarkan rakyat banyak menjadi korban ketika rentetan bencana terjadi,” kata dia.
Mereka pun menuntut pemerintah daerah maupun pusat menindak tegas pelaku-pelaku perusakan hutan di Kawasan Danau Toba. Izin usaha perusahaan tersebut harus dicabut.
Selain itu pemerintah Kabupaten di Kawasan Danau Toba harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim secara partisipatif yang menjadikan masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai subyek