Abaikan Deklarasi Djuanda, Pulau Kecil Terus Digerus

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Kamis, 14 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Memperingati 66 Tahun Deklarasi Djuanda, lembaga masyarakat sipil Ekomarin, PBHI, KORAL menggelar Diskusi Kebijakan dengan tema, “Refleksi 66 Tahun Deklarasi Djuanda: Tambang di Pulau Kecil Dibolehkan, Hak Asasi Nelayan dan Rakyat Pulau Kecil Dirampas”. Deklarasi Djuanda merupakan bagian dari sejarah nasional Negara Kepulauan. 

Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional Ekomarin menyebut, konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa sumber daya kepulauan dikuasakan kepada negara untuk dipergunakan secara berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

“Disayangkan, momen 66 tahun Deklarasi Djuanda itu bertolak belakang dengan paradigma ekstraktif yang kian menggerus pulau-pulau kecil,” kata Marthin dalam keterangan resminya, Rabu, 13 Desember 2023. 

Marthin menjelaskan, pelaku usaha berupaya meretas jalan guna melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil. Perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) menggugat Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai terdaftar dalam Perkara Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XII/2023. Menurut Marthin, upaya ini bertujuan agar MK menafsirkan kedua pasal dalam UU No. 27/2007 tersebut menjustifikasi kegiatan pertambangan di wilayah yang berada dalam kategori Pulau Kecil. 

Lokasi tambang PT GKP di Pulau Wawonii. Sumber: Jalan Kotor Kendaraan Listrik - Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan di Balik Gurita Bisnis Harita Group/Jatam.

“Jika gugatan PT GKP dikabulkan MK, maka sekitar 13.466 pulau kecil atau lebih dari 90% pulau Indonesia dengan mayoritas tidak berpenghuni terancam hancur dan tenggelam. Juga publik perlu mengingat pengalaman Pulau Nipa di Kepulauan Riau yang tenggelam karena ditambang.” tegas Marthin. 

Annisa Zahra, Perwakilan Tim Advokasi Anti-Pertambangan di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Demi Kemanusiaan (Terpukau) menyebutkan, Mahkamah Konstitusi telah memutus Uji Materil terhadap UU 27/2007 yang telah mengakui hak-hak asasi nelayan dan masyarakat atas pulau kecil dan perairan sekitarnya yang harus dihormati. 

Annisa menyebut, juga adanya Putusan MA No. 57 P/HUM/2022 tertanggal 22 Desember 2022 telah menyatakan bahwa kegiatan pertambangan adalah abnormally dangerous activity serta kegiatan pertambangan yang selama ini terjadi mengakibatkan adanya perampasan hak asasi nelayan dan rakyat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau kecil. 

“Sehingga Uji materil PT GKP harus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.,” kata Annisa 

Selanjutnya Harimuddin dari Integrity Law Office selaku kuasa hukum Idris dkk sebagai pihak terkait langsung dalam Uji Materil UU 27/2007 tersebut menjelaskan, “Putusan Mahkamah Agung telah menyatakan tambang di Pulau Wawonii tidak bisa dilanjutkan. Kemudian, tidak hanya persoalan putusan MA tersebut, perizinan PT GKP juga bermasalah, di antaranya IPPKH yang juga sudah dibatalkan oleh PTUN Jakarta meskipun belum berkekuatan hukum tetap.” 

Penggiat sejarah JJ Rizal menjelaskan Deklarasi Djuanda sebagai proklamasi ketiga setelah Sumpah Pemuda 1928 sebagai Negara Bangsa, Proklamasi Kemerdekaan RI 1945 dan Deklarasi Djuanda 1958. 

Menurut Rizal, pulau kecil adalah artefak sejarah yang hidup karena sejarah panjang Indonesia sebagai Negara Laut bertaburan pulau. Jika membolehkan pertambangan di pulau kecil terjadi, maka itu adalah sebuah pengkhianatan proklamasi Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia memiliki sejarah dan budaya kelautan mulai dari pertempuran melawan kolonial yang terjadi di perairan laut yang menjadikan pulau kecil tersebut sebagai benteng pertahanan melawan kolonial. 

Deklarasi Djuanda adalah proklamasi yang menyatukan tanah dan air sebagai satu kesatuan yang terhubung dimana laut utama beserta pulau-pulaunya sebagai gerbang terdepan adalah paradigma. 

“Membolehkan pertambangan di pulau kecil seakan pengulangan sejarah kolonialisme, dimana perusahaan tambang mengeruk dan menghisap sumber daya yang kemudian menggusur dan mengusir rakyat di pulau kecil,” jelas Rizal. 

Mida Saragih, Koordinator Sekretariat KORAL mengatakan, terhadap pulau-pulau kecil, negara secara tegas menunjukkan keberpihakan dan kehati-hatian dalam pengelolaan. Sebab, pulau kecil selain memiliki potensi biodiversitas, juga merupakan ruang hidup bagi petani, nelayan dan masyarakat pesisir. Pulau-pulau kecil juga memiliki kerentanan ekologis. Mengeruk pulau kecil beserta sumber dayanya adalah sama saja dengan merusak ekologi pulau kecil, melemahkan perekonomian petani dan nelayan. 

“Sudah tidak dapat ditawar bahwa MK harus pertahankan pulau-pulau kecil dengan melarang secara mutlak penambangan di pulau-pulau kecil, demi menjaga keutuhan Negara Kepulauan sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi Djuanda dan Konstitusi RI,” ungkap Mida. 

Deklarasi Djuanda diadopsi melalui UU No. 4/PRP/ 1960 tentang Perairan Indonesia. Implikasinya adalah NKRI yang sepenuhnya berdaulat, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Kemudian luas wilayah Republik Indonesia bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2. Dengan dasar perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar, maka tercipta garis maya batas mengelilingi Indonesia sepanjang 8.069,8 mil laut. Perjuangan Indonesia untuk mendapatkan status Negara Kepulauan berlangsung selama 25 tahun yakni dengan diterimanya “Negara Kepulauan” dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.