KPA Minta Pemerintah Terpilih Jalankan 4 Agenda Pembaruan Agraria

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Jumat, 15 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Isi visi misi para kandidat calon presiden (capres) - calon wakil presiden (cawapres) yang berebut suara di Pemilu 2024 mendapat kritik dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terutama mengenai reforma agraria. KPA menyebut ada 4 agenda pembaruan agraria yang harus dijalankan oleh pemerintahan terpilih nanti.

"Kami mengingatkan kembali bahwa Presiden-Wakil Presiden dan DPR terpilih ke depan penting menempatkan agenda reforma agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional," kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Senin (11/12/2023).

Dewi menuturkan, perlu memastikan pengalokasian tanah dan kekayaan alam yang senafas dengan cita-cita kemerdekaan, konstitusi dan UUPA menjadi komitmen negara, dalam hal ini pemegang kekuasaan untuk menghadirkan keadilan sosial, di mana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Ada empat agenda pembaruan agraria yang menurut KPA harus dijalankan. Agenda pertama, meluruskan dan mengoreksi paradigma kebijakan praktik reforma agraria di nasional. Ada beberapa poin yang menjadi catatan KPA dalam agenda pertama ini. Dewi menguraikan pardigma, konsep, kebijakan dan praktik menyimpang reforma agraria yang diklaim sudah dijalankan harus diluruskan. Dari konsepsi ekonomi liberal "asset reform atau plus akses reform" menjadi land reform yang disempurnakan.

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

"Yang berarti proses pemenuhan, pemulihan dan pengakuan hak atas tanah bagi rakyat secara penuh dilakukan bersamaan dan terintegrasi dengan proses penguatan basis ekonomi, produksi, distribusi dan konsumsi rakyat sebagai satu kesatuan operasi reforma agraria yang sejati," ujar Dewi.

Poin selanjutnya, memperbaiki kebijakan dengan menghapus dualisme rezim pertanahan, pesisir dan kelautan (hutan dan non-hutan), menjadi sistem pertanahan nasional tunggal sebagaimana prinsip UUPA. Hal ini penting untuk menghilangkan sektoralisme di dalam pemerintahan itu sendiri.

Kemudian, menyusun dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria dan PP Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan usulan Gerakan Reforma Agraria, sebagai landasan terobosan hukum pelaksanaan Reforma Agraria secara nasional, utuh dan sistemik untuk sebesar-besarnya kepentingan petani, buruh, tani, masyarakat adat, nelayan, rakyat miskin tak bertanah dan kelompok marjinal di pedesaan dan perkotaan.

Lalu, mengevaluasi dan mencabut perizinan SDA dan hak atas tanah berupa HGU/HGB/Hak Pakai atau pun bentuk baru hak pengelolaan (HPL) yang terbukti menimbulkan konflik agraria, ketimpangan, kemiskinan dan kerusakan ekologis.

Selanjutnya, menjalankan mandat TAP MPR XI/2001 terutama melakukan evaluasi, koreksi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait agraria-SDA yang senafas dengan UUPA dan Konstitusi, dan poin terakhir mengubah perspektif dan tolak ukur pemerintah terhadap hasil pembangunan yang sangat kuantitatif menjadi kualitatif sesuai dengan nilai dan prinsip sosial-ekologis masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, perempuan dan kaum marjinal di perkotaan.

Agenda kedua, reformasi kelembagaan di bidang agraria-sumber daya alam. Sama seperti yang pertama, dalam agenda kedua ini beberapa poin disampaikan oleh KPA, yakni menata-ulang kelembagaan yang berwenang untuk mengatur masalah Agraria-SDA dengan menyatukan lembaga planologi kehutanan, informasi geospasial, tata ruang, hak atas tanah baik di darat maupun laut dalam satu kelembagaan di Kementerian ATR/BPN. Sementara KLHK berwenang penuh untuk menjaga fungsi-fungsi ekologis kehutanan dan daya dukung lingkungan.

Membentuk BORA yang dipimpin langsung oleh Presiden sebagai pelaksana reforma agraria secara nasional dan penyusun kebijakan agraria-SDA, Lembaga ini penting untuk memastikan bahwa reforma agraria dijalankan secara cepat, tepat, untuk menciptakan kesejahteraan bagi petani, masyarakat adat, nelayan, buruh, perempuan dan masyarakat miskin.

Mengharmonisasi kelembagaan dan program pada Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Kementerian KKP, Kemenkop, BUMN sehingga selaras dalam pelaksanaan dan pengembangan reforma agraria.

"Mengembalikan independensi KPK dengan membebaskan dari pengaruh dan pelemahan oleh pemerintah, melalui revisi dan mengembalikan KPK ke Undang-Undang KPK," ucap Dewi.

Poin terakhir, kata Dewi, mengembalikan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan tujuan awalnya sebagai penjaga konstitusi. Menghentikan praktik pelanggaran etik, korupsi, konflik kepentingan, intervensi oleh Pemerintah dan DPR, serta praktik-praktik yang merusak prinsip dan tujuan Mahkamah Konstitusi.

Berikutnya, agenda ketiga, reformasi sistem administrasi tanah dan SDA untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-SDA baik di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil. Agenda ketiga ini, kata Dewi, mencakup pembuatan sistem pendaftaran tanah secara nasional dan pro-aktif sesuai mandat UUPA, tanpa dualisme pertanahan, serta menghapus pendekatan clear and clean.

Membangun sistem keterbukaan informasi atas: Hak atas Tanah seperti HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Milik); izin lokasi dan izin usaha seperti HTI dan IUP; serta hak pengelolaan (HPL), melakukan koreksi menyeluruh atas klaim-klaim sepihak negara atas nama kawasan hutan atau hutan (milik) negara, melalui penataan batas ulang kehutanan untuk mengeluarkan puluhan ribu desa, perkampungan, wilayah adat, kebun masyarakat, persawahan, wilayah tambak masyarakat dan lumbung-lumbung pangan nasional milik rakyat.

"Dan memperkuat, melindungi dan menegaskan kadaster laut, pesisir dan kelautan, akses ke laut dan wilayah tangkap, perkampungan nelayan dan budaya bahari masyarakat sehingga hak-hak dasar masyarakat di sekitarnya terpenuhi," sebut Dewi.

Agenda terakhir, yang menurut KPA harus dijalankan adalah penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya di berbagai landscape agrarian (daratan, tanah, wilayah adat, perairan/laut, pesisir, pulau kecil).

Agenda ini termasuk mengoreksi dan mencabut pasal-pasal yang digunakan oleh pengusaha, pemerintah dan penegak hukum untuk mengkriminalisasi masyarakat, melanggar kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi UU Konservasi, UU P3H, UU Perkebunan, UU Minerba, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, UU ITE dan UU KUHP.

Mengevaluasi dan mereformasi TNI-POLRI agar tidak lagi menjadi penjaga perusahaan yang merepresi masyarakat yang mempertahankan dan memperjuangkan hak atas tanah. Mencabut UU ASN yang memperbolehkan TNI-POLRI memasuki lembaga publik dan bisnis. Termasuk menghentikan model-model perampasan tanah atas nama pembangunan fasilitas militer dan keamanan berkedok bisnis;

"Mengoreksi RUU Konservasi untuk memastikan masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan dan masyarakat lain di sekitarnya tidak terdiskriminasi dan terusir dari wilayah dan tanahnya," katanya.

Mengintegrasikan Standar Norma Pengaturan HAM tentang Tanah dan SDA ke dalam seluruh kebijakan dan aturan tentang Agraria dan SDA. Hal ini penting agar setiap kebijakan pemerintah selaras dengan upaya pengakuan dan perlindungan HAM di Indonesia.

Terakhir, memperkuat struktur dan kewenangan lembaga dan komisi negara seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Informasi Publik, Komisi Kejaksaan RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sehingga tercipta lembaga pelindung masyarakat yang bebas dari kontrol elit politik dan pemodal serta menjadi bagian dari pendukung pelaksanaan reforma agraria sejati bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat.