Para Pencari Capung

Penulis : Kennial Laia

Biodiversitas

Selasa, 19 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Di tengah pandemi global pada 2020, tim ekspedisi Indonesia Dragonfly Society (IDS) berangkat ke Nusa Kambangan, Jawa Tengah, untuk survei capung. Selama Agustus 2020-Februari 2021, mereka mengemban misi konservasi: melanjutkan pencarian Rhinagrion tricolor, capung jarum atau damselfly yang muncul kembali setelah ‘tiarap’ selama 59 tahun.  

Pencarian itu berawal ketika kelompok penelitian mahasiswa dari Program Studi Biologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tidak sengaja menemukan kembali spesies ini pada 2017. Saat itu mereka sedang menyurvei pohon endemik dan langka Dipterocarpus littoralis, namun turut mengidentifikasi tujuh individu R. tricolor di pulau tersebut. 

“Ekspedisi kami menemukan total 48 individu capung jarum di 17 lokasi di Nusa Kambangan, dengan komposisi 44 jantan dan 4 betina. Hasilnya sudah kami terbitkan dalam jurnal sederhana,” kata Diagal Wisnu Pamungkas, peneliti dan anggota IDS yang menjadi bagian dari ekspedisi tersebut, Kamis, 14 Desember 2023. 

Rhinagrion tricolor termasuk dalam famili Megapodagrionidae yang endemik di Jawa. Ia masuk dalam daftar merah IUCN karena kekurangan data pada 2009. Pertama kali ditemukan di Jawa pada 13 September 1935 oleh M. Bartels di Cipandak. Catatan lain dibuat di Jawa antara tahun 1935 dan 1958 di Cipandak, Cidaun, Cipunage, Cidamar, Kalipucang, Sindangbarang, dan Ujung Kulon. Namun pada survei odonata (capung) 2010-2014 jejaknya tidak ditemukan. 

Anggota Indonesia Dragonfly Society saat sedang melakukan survei lapangan untuk mencari capung. Dok Diagal Wisnu Pamungkas

Temuan itu menjadi bukti bahwa saat ini ada kekayaan biodiversitas yang belum cukup digali, terutama pada spesies capung kita. Pada 2019, terdapat 1.126 spesies capung di Indonesia. Data ini sendiri berasal dari pencatatan IDS sejak 2009. 

Sayangnya, capung tidak dianggap memiliki nilai ekonomi sehingga penelitian terhadapnya sangat sedikit. "Di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), satu-satunya peneliti dengan minat khusus pada capung hanya satu orang, yakni Pungki Lupiyaningdyah," kata Diagal. 

Padahal capung memiliki fungsi yang sangat penting bagi ekosistem. Mereka merupakan predator pada rantai makanan, yang mengendalikan populasi nyamuk. Capung dewasa berukuran besar memakan nyamuk, dan pada tingkat larva, mengonsumsi larva nyamuk. 

Namun itu tidak menjadikan minat terhadapnya sama sekali nol. Muhammad Zulhariadi, dosen yang membidangi ilmu lingkungan di Universitas Islam Negeri Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, mulai menaruh minat pada capung pada 2020. Dia mengaku dirinya adalah peneliti pemula untuk capung, dan sudah menerbitkan buku pada 2021, publikasi pertama tentang capung di Nusa Tenggara Barat.

Rhinagrion tricolor, jenis capung jarum endemik Nusa Kambangan, yang ditemukan kembali pada 2017, setelah 59 tahun tidak terdeteksi. Dok Muhammad Nu’manuddin/IDS

Selama penelitiannya itu, Zulhariadi mengaku harus memasuki hutan dan menjajal jalan terjal di sungai atau danau. Ini karena hewan tersebut berhabitat di air dengan kualitas lingkungan yang masih asri. Dalam siklus hidupnya, capung menaruh larva atau limfa di air, sebelum nanti menjadi capung. Ketika dewasa, dia bisa terbang dan berpindah. 

Zulhariadi mengatakan, larva odonata yang habitatnya di air tawar merupakan bioindikator yang baik bagi kesehatan lingkungan dan konservasi lingkungan.

“Karena itu capung dan limfanya menandakan lingkungan yang masih asri. Meskipun ada jenis capung tertentu yang bertahan di kondisi lingkungan tercemar, tapi pada umumnya mereka menyukai lingkungan yang asri,” kata Zulhariadi. 

Kecintaannya pada capung membuat Zulhariadi menggunakan waktu luang di luar kesibukan akademis. Kadang, dia menemukan spesies baru di pulau itu tanpa sengaja. Pada awal September lalu, misalnya, ketika sedang mengikuti kegiatan mahasiswa, Zulhariadi menemukan jenis capung yang baru ditemukan di kawasan Pantai Malimbu, Lombok Utara. 

Setelah melalui proses identifikasi dan konsultasi dengan jaringan di grup percakapan WhatsApp, Capung Indonesia, termasuk di dalamnya IDS, Zulhariadi meyakini bahwa capung itu baru ditemukan di Lombok, namun sudah ada di wilayah lain di Indonesia. Mereka adalah Acisoma panorpoides dan Xiphiagrion cyanomelas (Rambur, 1842). Masing-masing berukuran 3 cm dan kurang dari 3 cm. 

Acisoma panorpoides, jenis capung baru yang ditemukan di pulau Lombok, namun telah ada di sejumlah wilayah di Indonesia. Capung ini ditemukan di kawasan Pantai Malimbu, Lombok Utara. Dok Muhammad Zulhariadi

“Keduanya merupakan catatan baru penemuan capung di pulau Lombok,” ujar Zulhariadi. 

Bagi Zulhariadi, banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan dari penelitian tentang capung. Salah satunya adalah potensi ekowisata, termasuk didalamnya untuk edukasi masyarakat. 

Pada publikasi bukunya itu, Zulhariadi meneliti 14 spesies capung jarum dengan enam famili. Beberapa di antaranya endemik NTB, misalnya subspesies khas Lombok yang hidup di pedalaman hutan dengan air yang dingin yakni Euphaea lara lombokensis (McLachlan, 1898). Lalu ada dua spesies capung jarum yang habitatnya pada air bersuhu sedang dan hanya ditemukan di dua tempat di pulau Lombok yaitu Libellago lineata (Burmeister, 1839) dan Pseudagrion microcephalum (Rambur, 1842). 

Sementara itu terdapat satu capung yang belum diketahui spesiesnya karena berbeda tampilan morfologi dan diperkirakan merupakan spesies baru dari genus Rhinocypha

Sumber daya ini, kata Zulhariadi, berpotensi untuk pengembangan ekowisata sekaligus konservasi capung. Sayangnya, keberadaan capung endemik terancam punah karena alih fungsi lahan dan deforestasi deforestasi. 

Xiphiagrion cyanomelas, jenis capung baru yang ditemukan di pulau Lombok, namun telah ada di sejumlah wilayah di Indonesia. Dok Muhammad Zulhariadi

“Ada satu pembangunan bendungan yang sedang berlangsung, dan merupakan proyek nasional. Proyek ini telah mengubah habitat karena mengurangi lahan hutan,” kata Zulhariadi.

“Selain itu banyak alih fungsi lahan menjadi perkebunan oleh masyarakat. Ini menimbulkan kekhawatiran terhadap punahnya sejumlah spesies. Ditambah peningkatan suhu permukaan,” ujar Zulhariadi. 

Zulhariadi menyayangkan penelitian capung yang saat ini masih sangat kurang. Menurutnya masih banyak yang belum teridentifikasi. “Banyak peluang terhadap capung untuk ditemukan jenis baru. Tapi peminatnya sangat sedikit. Di NTB yang saya tahu ada dua orang, termasuk saya,” kata Zulhariadi. 

Akademisi Universitas Andalas, Padang, Muhammad Nazri Janra, mengatakan melempemnya penelitian capung di Indonesia karena dianggap “tidak termasuk sebagai salah satu organisme hot (tenar, red)”. Meskipun ada alokasi dana untuk penelitiannya di Kementerian Riset dan Teknologi, nilai jual capung di mata penilai proposal rendah, kalah dari kupu-kupu atau satwa dilindungi lainnya. 

Janra sendiri sejak 2017 menaruh minat pada capung, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S3 dengan fokus taksonomi capung. Seperti Zulhariadi, Janra mengunjungi berbagai lokasi, seperti Gunung Marapi dan Gunung Talamau di Sumatra Barat. Tetapi bahkan dia bisa menemui capung di belakang kampus. 

Orthetrum schneideri, famili Libellulidae, yang ditemui di Bengkulu. Jenis ini baru saja dipisah dari Orthetrum pruinosum complex. Namun 'kurang diakui' keberadaannya di Indonesia. Dok Muhammad Nazri Janra

Beberapa kali Janra menemukan capung yang dia curigai endemik ataupun baru, namun karena berbagai hambatan, Janra mengurungkan niat untuk melanjutkannya. Salah satunya ketersediaan dana, karena dia harus melakukan tes DNA yang biayanya tidak sedikit. 

Selain itu Janra mengaku pernah mengalami kejadian unik dengan salah satu jenis yang menurut literatur jarang ditemui, yakni Haliaeschna uninervulata, anggota famili Aeshnidae. Awalnya dia pikir itu jenis yang lebih umum yang sering masuk ke rumahnya. Namun setelah diidentifikasi, dia meyakini bahwa itu adalah Haliaeschna uninervulata

“Dia jarang ditemui, tapi malah sowan ke rumah saya,” kata Janra. 

Kejadian-kejadian ini membuat Janra bercita-cita ingin menciptakan aplikasi untuk memulai perlindungan dan identifikasi yang lebih luas terhadap capung, bekerja sama dengan pihak lainnya. 

“Karena saya yakin banyak orang yang bertemu capung tertentu atau rumahnya kedatangan capung. Mungkin diacuhkan dan malah mungkin dibunuh. Ketika seharusnya mereka bisa menjepret dan melaporkannya via aplikasi,” kata Janra. 

Haliaeschna uninervulata, jenis capung yang jarang ditemui, namun justru ditemukan terbang ke dalam rumah salah seorang peneliti-pecinta capung di Padang, Sumatra Barat. Dok Muhammad Nazri Janra

“Tapi harapan paling utama capung dijadikan salah satu kelompok yang dilindungi oleh undang-undang. Saat ini masih melingkupi jenis kupu-kupu dan mungkin beberapa serangga lain, tapi tidak ada capung,” kata Janra. 

“Pemerintah kan pemangku kebijakan. Jadi dengan memasukkan kelompok satwa ini ke dalam satu payung perlindungan hukum, rasanya akan menimbulkan lebih banyak ketertarikan orang untuk meneliti,” kata Janra. 

Diagal mengatakan pihaknya terus melakukan inventarisasi terhadap capung. Secara historis, capung yang tercatat sekitar 900 spesies di Indonesia. Kini IDS mencoba merekapitulasi ulang jenis-jenis capung ditambah dengan temuan-temuan terbaru. Di Jawa, misalnya, sekitar 113 jenis telah terdata dari sebelumnya 142 jenis.  

“Tapi tidak mungkin kami sendiri. Harapannya universitas, mahasiswa atau dosen, semakin banyak terlibat. Ini bukan tentang kami, tapi tujuannya adalah riset capung itu berkembang,” kata Diagal. 

“Sembari itu kami terus melakukan edukasi kepada masyarakat di desa-desa dekat habitat capung, agar menjaga lingkungan dan capung itu sendiri,” kata Diagal. 

IDS melakukan lokakarya edukasi capung bagi anak-anak di salah satu desa di dekat habitat capung, 2022. Dok Diagal Wisnu Pamungkas