#SayonaraFossilFuels: Jepang Diminta Setop Bahan Bakar Fosil

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 21 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kelompok aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Asia-Pasifik beramai-ramai mengirimkan surat terbuka kepada Perdana Menteri Jepang. Isi surat itu meminta Jepang memanfaatkan "peluang emas" KTT ASEAN-Jepang dan KTT Komunitas Emisi Nol Asia/Asia Zero Emission Community (AZEC), yang digelar di Tokyo, sebagai momentum untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.

Dalam rilisnya, masyarakat sipil Asia-Pasifik menyebut Jepang telah mempromosikan investasi dan pinjaman di dalam negeri dan di negara-negara Asia lainnya, yang akan memperpanjang umur bahan bakar fosil, melalui gas fosil, hidrogen/amonia/biomassa co-firing, dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon/carbon capture and storage (CCS).

Sehari sebelum KTT ASEAN-Jepang itu, pada 15 Desember, sekitar 40 peserta dari organisasi lingkungan di Jepang dan internasional dan anggota masyarakat berkumpul di Tokyo untuk menuntut agar Jepang mengakhiri dukungannya terhadap bahan bakar fosil dan memperkuat dukungannya terhadap energi terbarukan di seluruh kawasan Asia-Pasifik.

Aksi ini digelar dengan menampilkan topeng raksasa dari Perdana Menteri Kishida yang bergantung pada bahan bakar fosil. Peserta memakai gelang cahaya yang menyerupai borgol untuk protes terhadap Jepang yang mengikat negara-negara ASEAN ke bahan bakar fosil. Gelang juga mewakili tenaga angin dan surya, mengekspresikan harapan peserta untuk energi terbarukan.

Kelompok masyarakat sipil Asia-Pasifik menggelar aksi di Tokyo, Jepang, 15 Desember 2023. Mereka meminta Perdana Menteri Jepang mengambil "peluang emas" KTT ASEAN dan KTT AZEC untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Foto: Walhi

Pada hari yang sama, di bawah tagar #SayonaraFossilFuels, yang merujuk pada ketidakmampuan Jepang untuk berpisah dari bahan bakar fosil, kelompok masyarakat sipil merencanakan aksi di 10 negara Asia-Pasifik, yakni Jepang, Filipina, Vietnam, Indonesia, Bangladesh, India, Pakistan, Kanada, AS, Australia.

Aksi-aksi ini sangat keras menentang AZEC, yang juga dipromosikan oleh Perdana Menteri Kishida di Konferensi Pihak ke-28 (COP28) untuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Kelompok ini juga mengekspresikan penolakan dari berbagai daerah, termasuk dari Negara-negara ASEAN, terhadap dukungan Jepang terhadap bahan bakar fosil yang menunda dekarbonisasi.

Pada hari yang sama, 89 kelompok masyarakat sipil, baik dari Asia maupun negara-negara lainnya, secara bersama-sama mengirimkan surat terbuka kepada Perdana Menteri Kishida. Surat tersebut menyatakan kekhawatiran pengembangan teknologi berbasis bahan bakar fosil oleh Jepang akan menghambat transisi ke energi terbarukan di Asia Tenggara dan memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil.

Surat yang sama juga menyebutkan Asia Tenggara memiliki sumber daya energi terbarukan yang melimpah. Surat ini juga memperingatkan bahwa dengan mempromosikan proyek bahan bakar fosil di Asia Tenggara, Jepang akan semakin meningkatkan paparan terhadap komunitas yang sudah tinggal di salah satu wilayah paling rentan di dunia terhadap dampak perubahan iklim yang lebih parah.

Menurut kelompok tersebut, bagi konsumen listrik Asia Tenggara, ekspansi gas juga akan menjadi beban ekonomi besar. Karena harga pasar akan naik tajam sebagai respons terhadap fluktuasi harga gas, sehingga menghambat akses ke listrik yang stabil dan terjangkau.

Di sisi lain, surat tersebut menegaskan bahwa alih-alih memaksakan gas fosil dan teknologi berbasis bahan bakar fosil di Asia Tenggara, Jepang dapat menunjukkan persahabatan sejati kepada negara-negara ASEAN dan kepemimpinan nyata dalam memerangi perubahan iklim dengan mengalihkan US$10,6 miliar yang dihabiskannya untuk bahan bakar fosil setiap tahun ke energi terbarukan.

Surat ini mendesak Jepang untuk menggunakan “peluang emas” ini--sesuai slogan KTT yakni “Golden Friendship, Golden Opportunity/Persahabatan Emas, Peluang Emas"--untuk segera mengakhiri investasinya di semua gas fosil, hidrogen, amonia, dan biomassa co-firing, CCS, dan solusi palsu lainnya dan sebaliknya mengalihkan dukungannya ke energi terbarukan yang memenuhi kebutuhan komunitas dan tidak membahayakan mereka.

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eknas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rere Christanto, mengatakan sudah ada banyak bukti kerugian akibat penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia. Ratusan ribu orang dilaporkan telah meninggal akibat polusi udara yang disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara, kerugian dari kerusakan ini bisa mencapai USD210 miliar, 2 hektare hutan hujan ditebang sebagai area penambangan batu bara, dan ratusan hektar area permukiman tenggelam dalam lumpur akibat operasi pengeboran gas.

"Kami menolak menjadi tempat bermain bagi upaya Jepang untuk memperpanjang penggunaan energi fosil melalui penggunaan co-firing biomassa, hidrogen, amonia, CCS/CCUS, dan LNG," katanya, dalam keterangan yang disampaikan pada Selasa (19/12/2023).

Sementara itu, Lidy Nacpil, Koordinator Asian People’s Movement on Debt and Development menuturkan, KTT Tokyo memberikan kesempatan bagi Jepang untuk mulai memenuhi kewajiban historis mereka kepada warga negara mereka dan kepada masyarakat di Selatan. Namun, strategi energi mereka saat ini hanya menguntungkan kepentingan korporat dan bukan rakyat dan komunitas ASEAN.

"Strategi energi semacam ini hanya menyebabkan lebih banyak kerusakan dan bahaya dari dampak dan masa depan yang tidak pasti dari krisis iklim," ucapnya.

Komitmen Jepang untuk membantu ASEAN dalam perjalanannya menuju dekarbonisasi menyembunyikan sebuah realitas bahwa Jepang, sebagai pembiaya gas fosil terbesar kedua di Asia Tenggara, sedang mengarahkan wilayah ini menuju masa depan yang penuh bencana. "Dukungan finansialnya meluas ke proyek seperti terminal impor LNG Ilijan, yang sedang merusak ekosistem laut Selat Verde Island dan berdampak buruk pada mata pencaharian nelayan. Untuk benar-benar menghormati komitmennya, Jepang harus mengalihkan upayanya untuk menjadi pelopor transisi ke energi terbarukan di Asia Tenggara," kata Angelica Dacanay, Ketua Southeast Asia Just Energy Transition, Center for Energy, Ecology and Development.