Tafsir Capung sang Mantan Burung

Penulis : Kennial Laia

Biodiversitas

Sabtu, 23 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Muhammad Nazri Janra jatuh suka pada capung secara tidak sengaja. Pada 2017-2018, peneliti-akademisi di Fakultas MIPA Universitas Andalas ini memasuki hutan di Jambi untuk meneliti burung. Dalam prosesnya, Janra menebar jaring kabut untuk menangkap objek penelitian. Namun, di situ justru banyak capung yang terperangkap. 

“Saya memeriksa jaring kabut itu satu-dua jam sekali. Sembari menunggu, saya fotoin capungnya. Lama-lama kok asik,” ujar Janra sambil tertawa.

Pola dan warnanya yang unik membuat rasa penasaran ilmiah Janra tergugah. Dia iseng menjepret lalu melepas serangga tersebut, lalu memposting di Facebook dan banyak berdiskusi dengan komunitas, yakni Indonesia Dragonfly Society (IDS). Dia kemudian berubah haluan meneliti taksonomi capung untuk pendidikan S3 setelah bertahun-tahun meneliti burung. Di sisi lain, peneliti capung belum banyak, sehingga Janra merasa relung eksplorasinya terbuka lebar. 

Bagi Janra, capung adalah sesuatu yang unik. Salah satu hal favoritnya tentang capung adalah karena warna dan polanya menarik. Filosofinya juga capung bisa hidup di dua tempat yang berbeda tapi memberikan manfaat bagi keduanya. 

Copera imbricata. Dok Wahyu Sigit Rahadi

“Saya paling suka dari kelompok Aeshnidae karena ukuran dan polanya besar, jadi agak lebih muda dikenali. Bagian ujung abdomennya ada umbelan seperti umbai-umbai. Mereka juga sering masuk ke dalam rumah,” kata Janra. 

Bioindikator kualitas lingkungan

Dosen Ekologi pada Program Studi Ilmu Biologi Universitas Islam Negeri Mataram, Lombok, Muhammad Zulhariadi mengatakan, capung pada umumnya hidup di kawasan dengan kualitas lingkungan yang masih asri. 

Secara khusus hidup capung bergantung pada perairan, seperti sungai, danau, atau kolam. 

Secara umum, limfa atau larva capung dapat bertahan di air yang bersih karena sifatnya yang sensitif. “Jika melihat larva capung di bebatuan sungai, maka sudah bisa dipastikan itu air bersih,” kata Zulhariadi. 

Rhyothemis phyllis, spesies dengan julukan pengepak bergaris kuning. Dok iNaturalist

“Karena itu keberadaan capung bisa menjadi bioindikator apakah sebuah lingkungan masih asri atau tidak,” ujar Zulhariadi. 

Namun, ada beberapa jenis capung yang dapat bertahan di perairan yang tercemar. Sebagai contoh, Janra menerbitkan makalah sederhana tentang Agriocnemis femina, salah satu spesies capung kecil ​yang hidup di parit dekat rumahnya. Berdasarkan hasil laboratorium, kandungan pencemar di air itu tinggi dari limbah rumah tangga. 

Namun, capung tersebut dapat bertahan. Janra menghitung populasi capung terdapat 30 hingga 90 individu. Dalam pengamatannya, capung kecil itu berbiak sepanjang comberan. 

“Meski populasinya fluktuatif, ini mungkin mendobrak asumsi bahwa capung hanya butuh perairan bersih,” kata Janra. 

Namun ada jenis capung tidak bisa menolerir air kotor. Jenis Chlorocyphidae, misalnya, membutuhkan air yang mengalir dan bersih. Kemudian kelompok Aeshnidae membutuhkan air yang sangat bersih untuk berbiak. 

Heliocypha vantoli. Dok Diagal Wisnu Pamungkas

Predator dalam rantai makanan

Capung memiliki peran predator dalam rantai makan ekosistem. Hewan ini memakan nyamuk, lalat, atau serangga yang dianggap hama oleh manusia. Menurut Janra, berbeda dengan serangga lainnya, capung dewasa membutuhkan makanan yang banyak. Sebagai contoh, satu ekor capung dewasa bisa memakan sekitar 100 ekor nyamuk. 

“Saya pernah menyaksikan capung menghabisi kumpulan nyamuk. Ini keren buat saya. Bayangkan kalau dalam jumlah banyak maka dia sudah bisa mengendalikan populasi nyamuk di sekitar kita,” kata Janra. 

Umur capung ketika sudah dewasa relatif pendek, yakni enam bulan. Namun dalam fase limfa dapat mencapai empat tahun di air. Di tahap ini, larva tetap membutuhkan makanan, dan mengincar larva nyamuk. Ini juga salah satu mengapa capung disebut sebagai salah satu pengendali populasi nyamuk. 

Sensitif dan anggun

Zulhariadi mengatakan, capung adalah hewan yang sensitif. Dus, ketika sedang dalam pencarian, harus hati-hati melangkah. Terkadang dia harus merayap untuk mendekati capung untuk mendapatkan sudut yang tepat untuk dokumentasi. “Harus benar-benar hati-hati agar capungnya tidak kabur,” kata Zulhariadi. 

Neurobasis florida. Dok Diagal Wisnu Pamungkas

Selain keingintahuan ilmiah, Zulhariadi mengagumi capung karena keanekaragaman jenisnya, masing-masing dengan corak khasnya. Diketahui saat ini Indonesia memiliki 1.126 spesies capung berdasarkan catatan Indonesia Dragonfly Society pada 2019. 

Salah satunya adalah Rhyothemis phyllis, yang dikenal sebagai pengepak bergaris kuning. Spesies capung ini dari keluarga Libellulidae, yang tersebar luas di Asia Tenggara, termasuk Kamboja, Tiongkok, India, dan Indonesia. 

“Ini salah satu capung favorit saya, karena sangat cantik. Sayapnya seperti batik, dan arah terbangnya itu berbeda, anggun dan seperti menari,” ujar Zulhariadi. 

Keunikan capung lainnya

Daur hidup capung terbagi dalam tiga tahap, yaitu telur, larva atau limfa, dan dewasa. Pada dua fase pertama hidupnya, capung membutuhkan air, seperti sungai, danau, kolam. Ketika dewasa, capung bisa terbang dan berpindah untuk selanjutnya melakukan reproduksi. 

Namun, terkadang capung bisa salah menaruh telurnya. Diagal Wisnu Pamungkas dari Indonesia Dragonfly Society mengatakan, terkadang induk capung meletakkannya di kaca mobil atau lantai keramik. “Ini salah satu sifat capung yang cukup lucu dan membuat penasaran,” katanya. 

Tyriobapta torrida. Dok Wahyu Sigit Rahadi 

Keunikan lainnya adalah warna capung akan berubah ketika memasuki fase akhir hidupnya. Berbeda dengan warna kupu-kupu yang bertahan saat mati, warna capung akan berubah menjadi hitam.

Menurut Janra, ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa banyak yang enggan meneliti capung. Sebab, jika ingin mempertahankan warnanya, maka peneliti harus proaktif untuk memindai spesimen hidup-hidup. Sementara saat ini penelitian capung di Indonesia masih rendah, sehingga alat dan pendanaan cenderung sedikit. Padahal, keberagamaan capung menandakan tingginya biodiversitas di Indonesia. 

“Namun saya bisa katakan bahwa dalam 10 tahun terakhir penelitiannya berkembang, terutama sejak ada komunitas seperti Indonesia Dragonfly Society,” kata Janra. */** 

RALAT: Muhammad Zulhariadi semula ditulis sebagai Dosen teknik lingkungan Universitas Islam Negeri Mataram, Lombok, diperbaiki menjadi Dosen Ekologi pada Program Studi Ilmu Biologi Universitas Islam Negeri Mataram. Mohon maaf atas kekeliruan tersebut. Terima kasih.