Debat Cawapres Masih Jauh dari Isu Krusial Agraria

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Selasa, 26 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap debat para calon wakil presiden (cawapres) Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pada Jumat (22/12/2023) masih belum menyentuh isu krusial dan struktural, terutama yang berkaitan dengan tema ekonomi kerakyatan dan infrastruktur. KPA memberikan beberapa catatan mengenai pembahasan masing-masing kandidat dalam debat tersebut.

"Pertama, pada konteks tema investasi, masing-masing kandidat terlalu berfokus pada upaya memastikan datangnya investasi ke Indonesia," kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, dalam pernyataan yang dirilis Sabtu (23/12/2023).

Padahal, Dewi menguraikan, rekam jejak kebijakan investasi oleh pemerintah terutama di bidang agraria selama ini adalah tingginya praktik-praktik perampasan tanah rakyat akibat investasi yang telah melahirkan ribuan konflik agraria disertai kekerasan dan intimidasi bagi rakyat. Periode 2015-2022, KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.710 letusan konflik agraria di berbagai sektor.

"Tren ini ke depan diprediksi akan semakin meningkat akibat pemerintah memaksakan pengesahan UU Cipta Kerja yang telah banyak ditolak berbagai kalangan," kata Dewi.

Peringatan Hari Tani Nasional ke-62 bertemakan "Tegakkan Konstitusionalisme Agraria untuk Kedaulatan dan Keselamatan Rakyat" pada Selasa (27/9/2022).

Catatan kedua, lanjut Dewi, dalam konteks pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) para kandidat hanya fokus pada narasi pemerataan ekonomi seperti yang dikatakan Cawapres nomor 2 dan pada bagaimana strategi mendatangkan investasi. Sementara itu, menurut Dewi, isu krusial dan struktral lainnya tentang pembangunan IKN adalah bagaimana pusat pemerintahan baru ini dibangun melalui pendekatan yang sarat dengan praktik-praktik perampasan tanah, akibat klaim sepihak pemerintah yang melahirkan konflik agraria dan memperparah ketimpangan penguasaan tanah di IKN.

Menurut Dewi, dari sisi kebijakan, revisi UU IKN yang dilakukan memberikan kemudahan hak atas tanah bagi investor melalui HGU dan HGB dalam siklus 190 dan 180 tahun. Kebijakan ini, imbuhnya, mencerminkan gelap mata pemerintah untuk mengundang investor dengan mengobral tanah-tanah di IKN. Hal ini, kata Dewi, telah mengkhianati konstitusi dan UUPA 1960 yang memberikan amanah bahwa tanah negara dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selain itu, masih kata Dewi, revisi ini telah menerabas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus di muka. Putusan tersebut menyatakan pemberian tanah sekaligus di muka (perpanjangan dan pembaruan) berupa 95 tahun HGU, 80 tahun HGB, dan 70 tahun hak pakai melanggar UUD 1945.

"Bahkan kebijakan ini lebih buruk dari UU agraria kolonial Belanda yang memberikan hak konsesi perkebunan paling lama 75 tahun," ujar Dewi.

KPA, kata Dewi, menganggap pemerataan ekonomi bukan hanya sekedar berbicara pemerataan antar wilayah. Namun persoalan ketimpangan kelas yang semakin menukik tajam. Data BPS, katanya, menyebut 1 persen kelompok masyarakat Indonesia menguasai hampir 68 persen tanah di Indonesia.

Dewi melanjutkan, hal ketiga mengenai sektor pertanian. Persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini bukan hanya sekedar kebutuhan hilirisasi pertanian seperti yang disebutkan cawapres nomor 2. Isu yang lebih struktural yang tengah dihadapi saat ini adalah tingginya konversi tanah akibat pembangunan dan menurunnya jumlah petani. Data BPS 2020 menunjukkan rumah tangga tergolong miskin di Indonesia berasal dari sektor pertanian yang mencapai 46,30 persen.

Kemiskinan tersebut, kata Dewi, salah satunya akibat semakin menyempitkan lahan yang dimiliki para produsen pangan tersebut. Bahkan sensus pertanian BPS terbaru menyatakan jumlah petani gurem naik mencapai 17,24 pada 2023 dari 14,62 juta hektare pada 2013. Selain itu, laporan BPS juga menyebutkan periode 2014-2018 konversi tanah pertanian mencapai 100 ribu hektare per tahunnya.

Yang keempat pada tema perkotaan. Menurut KPA, lanjut Dewi, masing-masing kandidat luput membahas hal struktural dan krusial lainnya. Persoalan struktural dan krusial yang terjadi di wilayah perkotaan selama ini adalah tingginya angka urbanisasi yang mengakibatkan membeludaknya penduduk di wilayah perkotaan.

"Sebab desa tidak lagi berdaya secara ekonomi akibat sumber-sumber agraria terus dikeruk untuk kebutuhan pertambangan, perkebunan dan industri kehutanan. Selain itu, masalah pembangunan kota-kota di Indonesia selama ini sarat pelanggaran HAM melalui praktik-praktik penggusuran dan diskriminasi terhadap kaum rentan di perkotaan," kata Dewi.

Kelima, pada tema infrastruktur, masing-masing kandidat luput membahas proses pembebasan tanah yang sarat dengan praktik-praktik perampasan tanah yang menyebabkan tingginya angka letusan konflik agraria. Selama periode 20150-2022, KPA mencatat sedikitnya terjadi 477 letusan konflik agraria. Sementara proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang digadang-gadang pemerintah menyebabkan 111 letusan konflik agraria hanya dalam empat tahun saja (2020-2023).

"Situasi tersebut terjadi akibat proses pengadaan tanahnya yang kerapkali menggusur dan merampas tanah rakyat, diikuti kekerasan serta intimidasi melalui mobilisasi aparat," ucap Dewi.

Dewi menerangkan, proses pembebasan tanahnya juga dilakukan secara sepihak, tidak transparan dan tidak partisipatif, serta abai dalam menghormati dan melindungi hak konstitusional warga terdampak. Pemerintah cenderung menempatkan masyarakat sebagai obyek ketimbang subyek pembangunan. Selain itu, kata Dewi, pemerintah juga luput mempertimbangkan dampak lanjutan dari berbagai aspek yang akan merugikan masyarakat secara sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Pengabaian semacam ini, imbuh Dewi, akhirnya terus-menerus melahirkan perlawanan di pihak masyarakat yang bereskalasi menjadi letusan konflik agraria. Dewi bilang, tidak mengherankan beberapa tahun terakhir begitu banyak terjadi konflik agraria di wilayah target pembangunan PSN.

"Bukannya melakukan evaluasi dan menghentikan cara-cara tersebut, pemerintah justru semakin mengakomodasinya dengan memberi kemudahan pembebasan tanah melalui ragam regulasi dan kebijakan," katanya.

Contohnya, kata Dewi, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) turunannya seperti PP No.42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, PP No.64/2021 tentang Bank Tanah, PP No.19/2021 tentang Pengadaan Tanah (revisi atas UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum), dan PP No.18/2021 tentang Hak Pengelolaan. Sejumlah beleid itu, menurut Dewi, semakin memperlemah posisi petani terhadap hak atas tanah yang telah mereka garap dan kuasai selama puluhan tahun.

Dewi menambahkan, persoalan pembangunan infrastruktur bukan hanya berbicara seberapa besar investasi yang datang atau seberapa besar berdampak terhadap pembangunan ekonomi. Namun di dalamnya terdapat isu-isu krusial seperti pelanggaran HAM dan perampasan tanah yang terus terjadi.

Catatan KPA selanjutnya, yang keenam, soal isu ketimpangan ekonomi dan penguasaan tanah yang terkonsentrasi pada segelintir kelompok akibat tidak berjalannya reforma agraria. Pada kesempatan tanya jawab, kata Dewi, cawapres nomor 1 sempat melontarkan isu mengenai ketimpangan ekonomi dan penguasaan tanah yang terkonsentrasi pada segelintir kelompok akibat tidak berjalannya land reform dan redistribusi tanah.

Dewi menerangkan, selama hampir 1 dekade terakhir, pemerintah mengklaim telah melegalisasi dan meredistribusi tanah seluas 1,67 juta hektare dari 9 juta hektare yang sudah ditargetkan. Tapi klaim tersebut patut disanksikan, sebab bercampur dengan klaim legalisasi asset atau sertifikasi tanah.

"Klaim cawapres nomor tiga yang mengatakan Presiden Joko Widodo telah menjalankan reforma agraria melalui sertifikasi tidaklah benar. Sebab sertifikasi bukanlah reforma agraria," kata Dewi.

Bukti kegagalan reforma agraria, kata Dewi, bisa dilihat dari capaian redistribusi tanah yang berasal dari usulan rakyat. Sebanyak 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang diusulkan KPA sebagai objek reforma agraria atau wilayah lokasi konflik agraria struktural yang merupakan target reforma agraria, hanya 21 yang diredistribusikan kepada petani, buruh tani, nelayan dan perempuan di pedesaan.

Lebih fatal lagi, imbuh Dewi, presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan tidak berani dan gagal membebaskan desa-desa, tanah pertanian, perkampungan, serta wilayah adat dari klaim-klaim Negara oleh PTPN, Perhutani, aset pemerintah daerah, konsesi hutan tanaman industri, dan tanah register.

Tak hanya itu, Dewi mengatakan, pelepasan klaim hutan untuk diredistribusikan pun kepada rakyat yang berhak juga gagal total. Dari janji 4,1 juta hektare reforma agraria yang berasal dari klaim hutan negara, hanya terealisasi 351.367 hektare atau hanya 8,57 perseb, itu pun hanya berupa pemukiman saja, sementara kebun-kebun dan tanah pertanian masyarakat tidak kunjung dimerdekakan dari klaim negara.

Capaian yang terlampau minimalis tersebut, menurut Dewi, seharusnya tidak terjadi, jika saja usulan-usulan obyek dan subjek reforma agraria yang diusulkan rakyat dari bawah (bottom-up process) dan telah diperjuangkan selama berpuluh tahun, seperti LPRA betul-betul dikerjakan oleh pemerintah. Tuntutan LPRA seluas 1,7 juta hektare dari KPA bersama anggota organisasi rakyat sejak 2016 tidak mendapat perhatian serius Presiden Jokowi dari sisi eksekusinya.

"Fakta lain yang menunjukkan kegagalan stagnasi reforma agraria presiden Jokowi adalah semakin luasnya konsesi dan pengadaan tanah untuk investasi dan badan usaha besar," ujarnya.

Dewi mencontohkan sektor sawit, dalam 2 periode Jokowi kebun sawit meluas hingga 6,05 juta hektare, dimana pada 2014 sawit seluas 10,75 juta hektare dan menjadi 16,38 juta hektare pada 2022 (Kementan, 2022). Kemudian sektor lainnya seperti tambang dan hutan seluas 3,1 juta hektare yang beropeasi secara ilegal justru dilegalkan.

Fakta selanjutnya, hasil sensus pertanian BPS terbaru menyatakan jumlah petani gurem naik mencapai 17,24 pada 2023 dari 14,62 juta hektare pada 2013. Selain itu, laporan BPS juga mengatakan periode 2014-2018 konversi tanah pertanian mencapai 100 ribu hektare per tahunnya.

Bukti kegagalan reforma agraria Jokowi lainnya adalah melonjaknya angka letusan konflik agraria selama periode kepemimpinannya. Sepanjang 2015-2022 KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.710 letusan konflik agraria di Indonesia.

Letusan konflik tersebut disertai dengan kasus kekerasan dan kriminalisasi, akibatnya 69 tewas, 38 tertembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang dikriminalisasi hingga divonis, karena mempertahankan tanahnya dan sumber kehidupannya.

"Jika Jokowi menjalankan reforma agraria secara konsekuen sesuai mandat UUPA 1960, maka krisis agraria di atas tidak akan terjadi. Sebab reforma agraria ditujukan untuk menyelesaikan konflik, mengurai ketimpangan penguasaan tanah, dan meredistribusikan tanah bagi petani," ucap Dewi.