Perhutanan Sosial 6,3 Juta Ha, KPA: Itu Bukan Reforma Agraria

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Rabu, 03 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Realisasi Perhutanan Sosial (PS), program yang digadang-gadang untuk menyelesaikan permasalahan penguasaan lahan melalui legalisasi akses kelola hutan oleh masyarakat, diklaim telah mencapai angka 6,3 juta hektare (ha). Namun, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), program tersebut bukanlah bentuk pemulihan hak masyarakat atas tanah, yang menjadi semangat reforma agraria.

"Perhutanan Sosial bukanlah reforma agraria, sebab antara reforma agraria dan Perhutanan Sosial berbeda secara ideologi dan prinsip," kata Benny Wijaya, Kepala Departemen Kampanye, KPA, Selasa (2/1/2024).

Benny menguraikan, reforma agraria adalah proses penyelesaian konflik agraria dan perombakan struktur penguasaan tanah yang timpang. Sementara, PS secara ideologi adalah kebijakan pemerintah yang meminjamkan tanah negara kepada masyarakat yang berada di pinggir kawasan hutan.

Yang menjadi persoalan selama ini, kata Benny, banyak lokasi konflik agraria akibat klaim sepihak Negara atas kawasan hutan di atas pemukiman dan kampung-kampung masyarakat, dipaksakan masuk dalam skema Perhutanan Sosial, sehingga tidak berhasil memulihkan hak masyarakat atas tanah.

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Harusnya, kata Benny, lokasi-lokasi tanah garapan, pemukiman, dan desa yang selama ini berkonflik dengan klaim kawasan hutan itu dilepaskan untuk diredistribusikan hak dan penguasaannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, menurut Benny, pemerintah telah menyimpangkan makna reforma agraria karena mengklaim PS sebagai bagian dari reforma agraria.

Benny melanjutkan, pelaksanaan reforma agraria dapat dikatakan berhasil atau tidak, jika telah menjawab beberapa indikator keberhasilan reforma agraria. Yang pertama, berkurangnya ketimpangan struktur agraria melalui redistribusi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Kedua, imbuh Benny, terselesaikannya konflik agraria struktural di seluruh wilayah Indonesia. Yang ketiga, masyarakat miskin menjadi sejahtera melalui basis-basis ekonomi produktif agraria pedesaan pasca-redistribusi tanah.

"Keempat, pulihnya fungsi dan keseimbangan ekologi melalui penatagunaan tanah dan pengelolaan sumber agraria secara berkelanjutan. Berdasarkan 4 parameter inilah, kita dapat menyimpulkan apakah reforma agraria yang dijalankan oleh Jokowi itu berhasil atau tidak," ujarnya,

Secara proses, Benny melanjutkan, pelaksanaan reforma agraria dikatakan ideal apabila ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan adanya keterlibatan penuh secara substantif masyarakat yang menjadi objek dari reforma agraria itu sendiri. Termasuk adanya data yang lengkap dan akurat tentang situasi agraria sehingga RA yang dijalankan mampu menyasar target, yakni penyelesaian konflik dan merombak ketimpangan.

Selama hampir satu dekade pemerintahan Jokowi, katanya, dari target 9 juta hektare pemerintah hanya melegalisasi dan mendistribusikan tanah seluas 1,67 juta hektare. Redistribusi tanah yang dilakukan jauh lebih rendah dari capaian legalisasi aset yang merupakan proses sertifikasi tanah biasa.

Legalisasi dan distribusi tanah yang dilakukan pun berada di area-area non-konflik agraria, bukan pula ditujukan untuk mengkoreksi ketimpangan penguasaan tanah. Lebih fatal lagi, Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan tidak berani dan gagal membebaskan desa-desa, tanah pertanian, perkampungan serta wilayah adat dari klaim-klaim Negara oleh PTPN, Perhutani, asset pemda, HTI, tanah register.

"Pelepasan klaim hutan untuk diredistribusikan pun kepada rakyat yang berhak juga gagal total. Dari janji 4,1 juta ha RA yang berasal dari klaim hutan negara, hanya terealisasi 351.367 ha atau hanya 8,57 %, itu pun hanya berupa pemukiman saja, sementara kebun-kebun dan tanah pertanian masyarakat tidak kunjung dimerdekakan dari klaim Negara," tutur Benny.

Capaian yang terlampau minimalis tersebut, lanjut Benny, seharusnya tidak terjadi, bila saja usulan-usulan obyek dan subyek reforma agraria yang diusulkan rakyat dari bawah (bottom-up process) dan telah diperjuangkan selama berpuluh tahun, seperti Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) betul-betul dikerjakan oleh pemerintah.

"Tuntutan LPRA seluas 1,7 juta hektare dari KPA bersama anggota organisasi rakyat sejak 2016 tidak mendapat perhatian serius Presiden Jokowi dari sisi eksekusinya," ujarnya.

Benny menjelaskan, petunjuk kegagalan reforma agraria, dapat dilihat pula dari semakin luasnya konsesi dan pengadaan tanah untuk investasi dan badan usaha besar. Contohnya sektor sawit, dalam dua periode Jokowi kebun sawit meluas hingga 6,05 juta hektare, yang mana pada 2014 sawit seluas 10,75 juta hektare dan menjadi 16,38 juta hektare pada 2022.

Kemudian sektor lainnya seperti tambang dan hutan seluas 3,1 juta hektare yang beroperasi secara ilegal justru dilegalkan. Akibat ekspansi bisnis lapar tanah di atas petani gurem bertambah 1,56 juta keluarga selama sembilan tahun terakhir, hal ini diperparah dengan cepatnya konversi sawah yang mencapai 1 juta hektare atau sekitar 108.333 hektare sawah per tahunnya.

Menurut survei terbaru BPS, tambah Benny, terjadi kenaikan angka petani Gurem dari 14 juta pada 2013 menjadi 16,89 juta pada 2023. Terakhir, meningkat letusan konflik agraria dalam satu dekader terakhir, di mana terdapat 2.701 letusan konflik.

"Angka-angka ini adalah bentuk atau cerminan kegagalan dari program reforma agraria Jokowi," ucapnya.

Perhutanan Sosial capai 6,3 juta hektare

Sebelumnya, dalam acara Refleksi KLHK 2023 yang digelar 28 Desember 2023 kemarin, KLHK menyebut Program Perhutanan Sosial telah mencapai akses kelola sebesar 6.371.773,42 hektare dalam 9.642 unit surat keputusan (SK) dan memberikan manfaat langsung bagi 1.287.710 kepala keluarga (KK). Selain itu, penetapan hutan adat seluas 250.971 hektare, melibatkan 131 unit SK, memberikan kontribusi positif bagi 75.785 KK.

KLHK menyatakan Program Perhutanan Sosial merupakan sebuah inisiatif pemerintah yang menjadi Program Prioritas Nasional, terus menjadi fokus utama dalam upaya pemanfaatan hutan lestari demi kesejahteraan rakyat. Sesuai pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai jaminan hak dan akses tanah melalui Perhutanan Sosial, menjadi landasan bagi program ini untuk menyelesaikan permasalahan penguasaan lahan melalui legalisasi akses kelola hutan oleh masyarakat.

”Tujuannya sangat mulia, affirmative policy, yang pertama adalah mengenai kesenjangan keadilan akses, dulu sebelum pada 2015 akses banyak dikelola oleh swasta BUMN proporsinya masyarakat tidak lebih dari 4%, sekarang dengan Perhutanan Sosial itu akan dengan 12,7 juta hektare akan menjadi 30% untuk mengelola hutan yang ada di Indonesia” ujar Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bambang Supriyanto, Kamis (28/12/2023).

Bambang menjelaskan, Program Perhutanan Sosial adalah sebuah sistem pengelolaan hutan lestari dimana kelompok masyarakat atau masyarakat hukum adat itu menjadi pelaku utama untuk mengelola hutan negara atau hutan adat untuk kesejahteraan masyarakat dalam tata kelola sinergi antara ekonomi, ekologi dan sosial dalam 5 skema, yakni Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat.

Perhutanan Sosial, katanya, bukan hanya sekadar solusi untuk persoalan tenurial, tetapi juga diharapkan menjadi katalisator untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Program ini diantisipasi dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan, serta menciptakan sentra ekonomi lokal dan daerah. Saat ini, sudah terbentuk 10.249 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial, yang mencakup berbagai kelas seperti Platinum, Gold, dan Silver, dengan total transaksi ekonomi mencapai Rp1,08 Triliun.

Keberhasilan Perhutanan Sosial, masih kata Bambang, juga tercermin dalam berbagai model pengelolaan, termasuk pola agroforestry, silvofishery, dan silvopastura. Selain memberdayakan masyarakat melalui sektor hasil hutan, program ini juga berhasil menangani 570 kasus tenurial yang terjadi, menunjukkan perannya sebagai solusi konflik lahan di tingkat tapak.