Apa kabar El Nino pada 2024? 

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Kamis, 04 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  El Nino masih akan berlanjut hingga awal 2024. Dibandingkan intensitas tahun lalu yang memicu kenaikan suhu, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena alami tersebut diprediksi akan berada pada fase rendah-sedang.  

El Nino merupakan peristiwa iklim alami ketika terjadi pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal di Samudra Pasifik. Ini memengaruhi iklim di seluruh dunia, dengan kecenderungan anomali iklim kering.

“Saat ini fenomena El Nino masih berlangsung, tetapi dampaknya sudah selesai dengan masuknya musim hujan November lalu,” ujar Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, melalui percakapan telepon kepada Betahita, Rabu, 3 Januari 2024. 

Menurut Ardhasena, saat ini El Nino berada pada fase moderat. Namun secara bertahap akan menurun hingga lemah dan netral menjelang pertengahan tahun. 

Satgas pemadaman Karhutla di Riau. Foto: Istimewa/mediacenter.riau.go.id

“Jadi ekspektasi kita tahun 2024 ini iklimnya akan normal. Artinya, akan ada musim hujan dan musim kemarau, termasuk di dalamnya kita harus mewaspadai karhutla saat musim kemarau,” kata Ardhasena. 

Ardhasena mengatakan, kemarau tahun ini diprediksi tidak sekering 2023. “Namun tetap perlu diwaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan di tahun 2024”. 

Secara khusus kebakaran diperkirakan terjadi pada bulan Februari untuk wilayah pesisir Sumatera bagian timur, seperti Aceh dan Riau. Kemudian periode kemarau periode kedua mulai Mei 2024 untuk wilayah lainnya yang rawan karhutla. Di antaranya Jambi dan Sumatera Selatan, lalu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. 

Dalam Refleksi Kinerja Tahun 2023 Desember lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) mencatat luas kebakaran hutan dan lahan hingga Oktober 2023 mencapai 994.313,18 hektare.

KLHK mengklaim angka tersebut lebih rendah 30,80% dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. 

Sementara itu Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, terdapat peluang namun kecil bagi fenomena La Nina berkembang, yang merupakan pemicu anomali iklim basah. Demikian juga dengan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) yang merupakan penyebab gangguan iklim dari Samudra Hindia, diprediksi akan berada pada fase netral dari awal hingga akhir 2024.

Berdasarkan dinamika atmosfer tersebut, maka jumlah curah hujan tahunan pada 2024 secara umum berkisar pada kondisi normal. Namun, terdapat beberapa wilayah yang diprediksi dapat mengalami hujan tahunan di atas normal.

Wilayah ini meliputi sebagian kecil Aceh, Sumatera Barat bagian selatan, sebagian kecil Riau, sebagian kecil Kalimantan Selatan, sebagian kecil Gorontalo, sebagian kecil Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat bagian utara, sebagian kecil Sulawesi Selatan, sebagian kecil Papua Barat dan Papua bagian utara.

Selain itu, terdapat juga daerah yang diperkirakan akan mengalami hujan tahunan di bawah normal yaitu sebagian Banten, sebagian kecil Jawa Barat, sebagian kecil Jawa Tengah, sebagian Yogyakarta, sebagian kecil Jawa Timur, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, dan Papua bagian selatan.

"Meskipun kemarau 2024 diprediksi berlangsung dengan normal, namun terdapat wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan karena secara iklim memang memiliki curah hujan yang rendah,” kata Dwikorita. 

Wilayah tersebut meliputi sebagian Lampung, sebagian Jawa, sebagian Bali, sebagian Nusa Tenggara Barat, sebagian Nusa Tenggara Timur dan Papua bagian selatan.  

Ardhasena mengatakan, pada akhir tahun Indonesia perlu mewaspadai curah hujan yang tinggi. Demikian juga pada akhir Januari-Februari, curah hujan diperkirakan tinggi. Ini berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor. 

Dalam Climate Outlook 2024 atau Pandangan Iklim 2024 yang dirilis pekan ini, BMKG merekomendasikan pemerintah untuk melakukan langkah antisipatif baik terkait bencana hidrometeorologi maupun kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.

Di antaranya meningkatkan optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air pada wilayah urban atau yang rentan terhadap banjir, seperti penyiapan kapasitas pada sistem drainase, sistem peresapan dan tampungan air. Selain itu juga perlu dipastikan keandalan operasional waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya untuk pengelolaan curah hujan tinggi saat musim hujan dan penggunaannya di saat musim kemarau.