Bencana Longsor dan Banjir di Sumbar Terencana

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Kamis, 04 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Longsor dan banjir yang menandai tutup tahun 2023 hingga memasuki awal 2024 terus terjadi di Sumatera Barat (Sumbar). Lembaga Bantuan Hukum Padang menilai bencana di Sumbar terencana dan terorganisir. 

Diki Rafiki, Koordinator Advokasi LBH Padang mengatakan, banjir dan longsor besar di sisi timur Provinsi Sumbar terjadi di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Solok. “Tanah longsor terjadi di 30 titik jalan penghubung Sumatera Barat-Riau lewat Pangkalan, dan di Nagari Koto Alam,” kata Diki saat dihubungi Rabu, 3 Januari 2024. Satu orang sudah tewas akibat bencana ini. 

Diki menjelaskan, menurut data indeks bahaya tanah longsor Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah Nagari Harau dan Nagari Pangkalan masuk dalam kategori wilayah dengan bahaya tanah longsor tinggi. Namun, “Sungguh mengejutkan dan patut publik pertanyakan adalah perlakuan pengurus Kabupaten Lima Puluh Koto dan Provinsi Sumatera Barat atas wilayah rawan bencana tersebut,” kata Diki. 

Tambang, ujarnya, justru merajalela di wilayah risiko tinggi ini. Karena itulah, bencana longsor dan banjir di Sumbar patut disebut direncanakan dan terorganisir. Faktanya, kerusakan akibat kegiatan ekstraktif ini bahkan terlihat di jalan raya berstatus Jalan Nasional di antara Nagari Harau dan Nagari Pangkalan yang rusak berat sepanjang lebih dari 20 kilometer atau lebih panjang dari jarak Kantor Gubernur Sumbar ke tanjakan Sitinjau Laut. Lalu, dari citra satelit, kata Diki, bentang alam di kiri kanan ruas jalan tersebut, terutama di Nagari Koto Alam, Nagari Manggilang dan Nagari Pangkalan, juga dalam keadaan rusak berat, sebagai akibat langsung dari operasi pertambangan.

Longsor di Kabupaten Lima Puluh Kota. Foto: BPBD Kab 50 Kota

Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar, terdapat 12 perusahaan tambang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pangkalan Koto Baru. Ini membuat Pangkalan jadi kecamatan paling masif dan paling banyak ditemukan izin tambangnya di Sumbar.

Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar mengatakan, Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) di Pangkalan seperti pertambangan sirtu, andesit, batubara, dan timah hitam, mencapai 1.799,41 hektare.

Wengki menyebut, pihaknya mengkhawatirkan aktivitas tambang di Pangkalan dan beberapa wilayah lain. Investasi memang penting, namun tata ruang dan perencanaan pembangunan harus berbasis mitigasi bencana.

“Percuma investasi besar jika menimbulkan kerugian terhadap lingkungan dan memicu bencana,” ungkap Wengki.

Ade Edward, Ahli Geologi dan Vulkanologi Sumbar mengatakan, secara geologi Kabupaten Lima Puluh Kota, seperti Kecamatan Maek, Suliki dan Mungka, rawan longsor. Ade menjelaskan, di wilayah tersebut bagian bawahnya batuan keras dan bagian atas tanah merah, jadi gampang sekali terjadi longsor jika resapan air kurang. 

“Sebetulnya sudah dipetakan di mana saja wilayah rawan longsor itu dan seharusnya dengan peta itu sudah terlihat risiko bencana,” ungkap Ade. "Jika rekomendasi di peta itu dilanggar, lahirlah bencana."

Diki menambahkan, cerita yang sama juga terjadi di sepanjang Jalan Nasional penghubung Sumatera Barat - Jambi via Solok. 

“Tanah longsor terjadi di wilayah Nagari Lolo, dan sempat memutus koneksi antar kedua provinsi,” kata Diki. 

Wilayah tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung, yang berstatus rawan bencana longsor dan banjir, dibebani dengan wilayah konsesi pertambangan mineral. 

“Kerusakan makin parah ketika operasi pertambangan meluas ke wilayah di sekitarnya, di sepanjang jalan dari Air Dingin hingga Nagari Lolo, di mana tercatat empat wilayah konsesi pertambangan yang berada di sisi jalan,” ungkapnya.

Pada 2022, ujar Diki, LBH Padang mengidentifikasi salah satu perusahaan tambang merusak kawasan hutan lindung di wilayah Nagari Lolo, yaitu PT Mineral Sukses Makmur (MSM).

Laporan LBH Padang mengemukakan pelanggaran atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021, dan besaran minimum biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk upaya menanggulangi kerusakan dari operasi tambang. Berdasarkan pedoman dalam lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Diki menyebut, pihaknya, LBH Padang mendesak Gubernur Sumbar mencabut Izin-izin tambang bermasalah yang menjadi masalah dan pemicu bencana. LBH Padang juga menuntut Gubernur Sumbar tidak lagi memberikan konsesi dan izin baru bagi industri tambang di daerah rawan bencana.

“Kami mendesak Gubernur Sumbar untuk menindak perusahaan tambang yang beroperasi dan bertanggung jawab dalam daerah rawan bencana. Dan, mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberi sanksi tegas kepada perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan lindung, khususnya wilayah Nagari Lolo, Kabupaten Solok,” ungkap Diki.