Kuy, Rem Laju Pemanasan Global dengan Pola Makan Vegan!

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Jumat, 05 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Awal Hidayat telah menjadi vegetarian selama empat tahun. Saat memulainya pada awal 2020, guru di salah satu sekolah swasta di Jakarta ini telah berbekal informasi yang didapatkan dari sejumlah riset mandiri. Banyak faktor yang memengaruhi keputusannya beralih ke pola makan nabati, namun lingkungan dan perubahan iklim menjadi alasan utama. 

“Aku menyadari bahwa peternakan hewan itu jauh lebih ekstraktif dibandingkan pertanian untuk tumbuhan, sehingga jejak karbonnya lebih tinggi,” kata Awal kepada Betahita, Rabu, 3 Januari 2023. 

Dalam prosesnya, Awal menjalani pola makan sebagai vegan (sama sekali tidak mengonsumsi produk turunan hewani, termasuk susu dan telur); lalu menjadi vegetarian (menghindari daging dan makanan laut, tetapi masih bisa memakan telur dan produk turunan susu). Kesadaran ini timbul karena penggunaan air dan lahan-hutan yang masih untuk peternakan. 

Mulai pertengahan 2023, dia menjadi peskatarian karena alasan pribadi. Peskatarianisme adalah vegetarian atau mereka yang tidak memakan daging tetapi mengonsumsi ikan dan hewan laut lainnya. 

Ilustrasi Bumi. Dok. Unsplash

Awal menyadari bahwa menjadi vegetarian tidak serta merta mengatasi bencana iklim. Dia percaya krisis iklim yang tengah terjadi saat ini membutuhkan sistem yang lebih luas lantaran pemicu perubahan iklim utamanya dari energi fosil dan penggunaan lahan secara masif untuk industri seperti perkebunan kelapa sawit dan bisnis kehutanan.

“Tapi saya masih percaya bahwa aksi kecil individu, jika dilakukan secara kolektif bisa berdampak juga. Tetapi tetap harus diiringi sinkronisasi kebijakan pemerintah, industri, dan rumah tangga,” ujar Awal. 

Secara global, sistem pangan mewakili sepertiga emisi gas rumah kaca. Jika tidak dikendalikan, emisi ini mungkin akan memicu pemanasan tambahan, sehingga suhu rata-rata bumi melampaui kenaikan rata-rata 1,5C pada 2060-an. 

Hal ini bisa dihindari dengan mengubah pola makan kita. Aksi kolektif, seperti disebut Awal, dapat mengurangi emisi yang menghangatkan planet bumi, serta mendatangkan berbagai macam manfaat, termasuk kesehatan tubuh. 

Pola makan vegan dan emisi karbon

Sebuah studi yang terbit tahun lalu menunjukkan bahwa pola makan vegan menghasilkan 75% lebih sedikit emisi pemanasan iklim, polusi air, dan penggunaan lahan dibandingkan pola makan yang mengonsumsi lebih dari 100 gram daging sehari. Pola makan vegan juga mengurangi kerusakan satwa liar sebesar 66% dan penggunaan air sebesar 54%. 

Penelitian yang lebih baru, diterbitkan di jurnal Nature Communications, mengungkap bahwa beralih ke pola makan yang lebih sehat dan lebih mengutamakan bahan nabati (plant-based) dapat mencegah lebih dari 236,000 kematian dini di seluruh dunia.

Para peneliti mengaitkan hal ini dengan kualitas udara. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, terdapat 4 juta kematian dini akibat polusi udara luar ruangan pada 2019. Pertanian bertanggung jawab atas seperlima kematian tersebut dengan produksi polusi berlebihan dari peternakan hewan. 

“Kami mempelajari apa yang akan terjadi pada kualitas udara jika masyarakat di seluruh dunia beralih ke pola makan yang lebih sehat dan lebih baik bagi lingkungan. Hal ini mencakup pola makan fleksibel dengan lebih sedikit daging, pola makan vegetarian tanpa daging, dan pola makan vegan tanpa produk hewani,” tulis para peneliti. 

“Hasil kami menunjukkan bahwa peralihan ke pola makan nabati dapat mengurangi polusi udara secara signifikan,” tulis para peneliti. 

Jika permintaan dan produksi menurun, daerah dengan banyak ternak, seperti Belgia, Belanda, Italia bagian utara, Tiongkok bagian selatan, dan Amerika Serikat bagian barat tengah, akan mengalami penurunan konsentrasi partikel halus yang sangat nyata.

Kualitas udara yang lebih baik menghasilkan kesehatan yang lebih baik. Para peneliti menemukan bahwa lebih dari 100.000 kematian dini dapat dicegah secara global dengan menerapkan pola makan fleksibel. Keuntungan kesehatan dari udara yang lebih bersih menambah manfaat yang diperoleh dari pola makan yang lebih seimbang.

Manfaat kesehatan ini meningkat seiring dengan berkurangnya konsumsi produk hewani. Misalnya, jika semua orang menjadi vegan, jumlah kematian dini akibat polusi udara bisa turun lebih dari 200.000. Di Eropa dan Amerika Utara, menerapkan pola makan vegan dapat mengurangi kematian dini akibat polusi udara sekitar 20%.

Indonesia sendiri bukan negara pengkonsumsi banyak daging dibandingkan negara lainnya. Data 2022 dari Organization of Economic Cooperation and Development, konsumsi daging ayam di dalam negeri berada di 8,1 kilogram per kapita pada 2021. Angka ini masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 14,9 kilogram per kapita. 

Untuk konsumsi sapi, Indonesia berada di 2,2 kilogram per kapita, dibandingkan rata-rata dunia sebesar 6,4 kilogram per kapita. Sementara itu warga Indonesia memakan daging domba jauh lebih sedikit, tercatat 0,4 kilogram per kapita dibandingkan rata-rata dunia 1,3 kilogram per kapita. 

Selanjutnya untuk konsumsi daging babi tercatat 1 kilogram per kapita, di bawah rata-rata dunia sebesar 10,8 kilogram per kapita. 

Menurut OECD, konsumsi daging dapat dikaitkan dengan standar hidup, pola makan, dan produksi hewan ternak. Meningkatnya permintaan daging dapat menjadi penanda untuk pendapatan suatu negara meningkat. 

Di sisi lain penganut vegan dan vegetarian tumbuh stabil di Indonesia. Survei Euromonitor International pada 2018 menyebut bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan vegetarianisme tertinggi ketiga di dunia. Data tersebut menemukan bahwa masyarakat perkotaan kelas menengah-atas di Indonesia mulai beralih ke pola makan nabati yang lebih sehat dan hanya sesekali mengubahnya demi mengonsumsi daging. Faktor pilihan ini diantaranya untuk kesehatan dan lingkungan.