50 Tahun, Jambi Kehilangan 73% Hutan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Jumat, 05 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sekitar 2,5 juta hektare tutupan hutan di Provinsi Jambi hilang dalam 50 tahun terakhir. Hilangnya tutupan hutan ini, menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, dipicu oleh perubahan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain, salah satunya untuk perkebunan sawit.
Dari data yang diolah tim GIS KKI Warsi, pada 1973 tutupan hutan Jambi tercatat 3,4 juta hektare. Namun pada 2023, tutupan hutan di Jambi hanya tinggal 922.891 hektare. "Dengan kata lain Jambi kehilangan 73% hutannya," kata Direktur KKI Warsi Adi Junaedi, Kamis (4/1/2024).
Kehilangan angka ini, pada awalnya disebabkan oleh perubahan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain. "Untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit,” kata Rudi Syaf Senior Advisor KKI Warsi.
Sementara itu, imbuh Rudi, kawasan hutan yang masih tersisa sebagian diberikan izin konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)--dulu disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam (IUPHHA dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Industri (IUPHHTI)
Rudi mengatakan, sejak 2011 Pemerintah Indonesia telah menyatakan untuk melakukan moratorium (penghentian) penerbitan izin baru di kawasan hutan. Moratorium itu dilaksanakan melalui Perpres No. 10 Tahun 2011, kemudian diperpanjang lewat Perpres No. 6 Tahun 2013, Perpres No. 8 Tahun 2015, dan terakhir Perpres No. 6 Tahun 2017. Namun, meski sudah ada moratorium, persoalan pengelolaan hutan masih banyak tantangan.
Faktanya, kerusakan hutan terus terjadi pada 2023. Direktur KKI Warsi Adi Junaedi mengungkapkan, sepanjang 2023, dalam analisis yang dilakukan KKI Warsi, terjadi pembukaan hutan dan lahan yang dapat terlihat nyata dari citra satelit Sentinel 2, dipadukan pengamatan dari Google Earth, citra Spot 6, SAS Planet. Dari analisis yang dilakukan, terlihat areal terbuka seluas 160.105 hektare di berbagai fungsi kawasan.
Adi menyebut, areal terbuka paling luas berada di areal penggunaan lain (APL) dengan luas 51.904 hektare, disusul di areal restorasi seluas 41.116 hektare, hutan tanaman industri (HTI) seluas 16.255 hektare. Pembukaan hutan juga terpantau di kawasan taman nasional seluas 13.097 hektare, dan hutan lindung seluas 1.725 hektare.
Pembukaan hutan dan lahan juga terpantau di daerah sempadan sungai. "Hampir semua wilayah anak-anak sungai di Provinsi Jambi juga mengalami persoalan akibat aktivitas penambangan emas dengan menggunakan alat berat,” ujar Rudi.
Dari analisis citra Satelit Sentinel 2 yang dilakukan KKI Warsi, dengan ditumpang susunkan dengan peta perizinan 2023, tercatat 48.140 hektare lahan terbuka yang diindikasikan sebagai kawasan tambang emas. Dari angka itu, hanya 1.884 hektare yang berada dalam wilayah pertambangan rakyat (WPR), sisanya 46.256 hektare berada di luar WPR alias ilegal.
“Keberadaan tambang di anak-anak sungai menyebabkan terjadinya sedimentasi atau aliran sungai menjadi dangkal. Ketika intensitas hujan tinggi, sungai tidak menampung,” katanya.
Rudi menyebut tambang batubara juga mencolok dan menjadi persoalan pelik di Jambi. Pada 2023, terdeteksi pembukaan lahan untuk tambang batubara yang teramati melalui tangkapan citra satelit Sentinel 2 dipadukan dengan Google Earth, SAS Planet, terdeteksi lahan terbuka 16.414 hektare, dengan pembagian 6.127 hektare berada dalam wilayah izin usaha pertambangan dan 10.287 hektare berada di luar areal wilayah izin usaha pertambangan.
“Sama halnya dengan tambang emas, batu bara juga menjadi penyumbang masalah ekologi. Total wilayah yang berada di luar areal wilayah izin usaha pertambangan mendekati 2 kali lipat dibandingkan dengan pertambangan yang berada dalam wilayah izin,” ujar Rudi.
Persoalan tambang, kata Rudi, tidak tercatat, bukan hanya karena pembukaan tambangnya, namun persoalan terparah adalah masalah angkutan batubara yang sangat mengganggu masyarakat umum. Kecelakaan truk tambang tak jarang menyebabkan korban jiwa dan pernah mengakibatkan kemacetan lalu litas hingga 22 jam. Hal ini juga yang mendorong Gubernur Jambi, Ketua DPRD, Kapolda dan Danrem 045 Garuda Putih menandatangani berita acara kesepakatan pelarangan angkutan batu bara menggunakan ruas jalan umum di Provinsi Jambi per 1 Januari 2023.
Menyelamatkan harapan pada 2024
Adi Junaedi mengatakan, tidak hanya dihadapkan dengan pembukaan lahan dan hutan untuk memenuhi tuntutan produksi untuk ekonomi, pada 2023 Indonesia juga dihadapkan dengan anomali cuaca. El Nino membuat musim kemarau menjadi lebih panjang, sehingga kehilangan hutan akibat kebakaran pun tidak dapat terhindarkan.
Adi mengungkapkan, total wilayah hutan yang terbuka akibat kebakaran pada 2023 seluas 6.556 hektare. Berita baiknya, luasan ini jauh lebih kecil dibandingkan kebakaran di masa El Nino 2019 yang menghanguskan 157.137 hektare.
Menurut Adi keberhasilan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan ini, sebagai bentuk upaya kolaboratif para pihak di Jambi, juga bisa dibandingkan dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi tetangga Sumatera Selatan. Dari data hotspot yang terpantau dari satelit Terra Aqua sebanyak 1.230 titik, jauh lebih besar dari Jambi yang hanya 60 titik untuk confident 30-80 %. Data SiPongi MenLHK lahan yang terbakar di Sumsel mencapai 109.461 hektare.
“Inilah yang menjadikan Jambi juga dilanda asap cukup parah pada bulan September,“ katanya.
Data ini, imbuh Rudi, menunjukkan bahwa kegiatan bersama dengan kolaborasi yang intensif mampu mencegah kerusakan hutan dan lingkungan. Pengendalian kebakaran hutan ini tidak terlepas dari upaya banyak pihak, pemerintah, non government organization (NGO), dan tentunya keterlibatan masyarakat. Komitmen yang dibangun bersama masyarakat mampu menyelamatkan hutan dari kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu meski dihadapkan pada banyak tindakan-tindakan yang mengancam hutan, kata Adi, harapan baik akan perubahan juga mulai terlihat. Dari analisis citra satelit, di daerah dampingan Warsi, tutupan hutan terbukti mampu tumbuh.
Dari 103,895 hektare daerah dampingan Warsi dengan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), baik yang ditetapkan dengan surat keputusan (SK) oleh bupati, berupa hutan adat, maupun mendapat SK Perhutanan Sosial oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menunjukkan pertumbuhan hutan yang semakin baik.
“Ada tren penumbuhan hutan di areal perhutanan sosial. Dan jumlahnya ini sejak tahun 2020 terus meningkat,” katanya.
Rudi Syaf menjelaskan, pada 2020 tutupan hutan areal PHBM sebanyak 59.498 hektare atau 57% dari areal PHBM, pertumbuhannya terlihat di 2023 yang menjadi 72.784 hektare atau 70%. Tumbuhnya hutan di kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat juga menjadi penyumbang pertumbuhan hutan.
Menurut data pada 2020, total luasan hutan 882.271 hektare meningkat pada 2021 menjadi 895.5670 hektare. Lalu pada 2022 menjadi 912.947 hektare, tren positif ini masih berlanjut hingga pada 2023 menjadi 922.891 hektare.
“Dengan melihat angka-angka ini, terbukti bahwa hutan yang dikelola masyarakat mampu untuk bertumbuh dengan baik. Untuk itu, dukungan pada program perhutanan sosial ini, menjadi bagian penting dalam pemulihan hutan,” kata Rudi.
Rudi berharap, dukungan kegiatan program perhutanan sosial ini, bisa lebih ditingkatkan. Sembari pula melakukan upaya untuk menuntaskan persoalan lingkungan lainnya.
Data ada menunjukkan bahwa pengelolaan hutan yang dilakukan bersama masyarakat mampu memulihkan hutan yang mengalami degradasi. Ekologi yang lebih baik untuk menunjang hidup hari ini dan masa depan generasi berikutnya, masih mungkin untuk diraih.
“Meskipun ada laju penumbuhan hutan, upaya ini tidak cukup jika di sisi lain masih terus terjadi pembukaan lahan dan hutan. Karena itu, harus ditindak tegas untuk pihak-pihak yang melakukan tindakan ilegal yang berpotensi mengancam terjadinya bencana hidrologi,” ucap Rudi.