Kue dan Permen, Korban Perubahan Iklim Setelah Harga Gula

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Minggu, 14 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Perubahan iklim, yang memicu krisis iklim, sebelumnya diidentifikasi sebagai ancaman untuk kopi dan minuman fermentasi. Kini dampaknya meluas ke kesenangan hidup lainnya: kudapan. 

Ini karena harga gula global yang melonjak ke tingkat tertinggi sejak 2011. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran akan rendahnya tingkat produksi di India, yang mengalami musim kemarau ekstrem yang mengancam tanaman pangan, dan Thailand, yang menghadapi kekeringan parah. Kedua negara tersebut merupakan eksportir gula terbesar, setelah Brasil.

Meningkatnya suhu global – tahun 2023 diperkirakan akan dikonfirmasi secara luas sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat – memicu kekeringan dan cuaca ekstrem lainnya yang mempengaruhi hasil pangan, termasuk gula. Kenaikan harga sudah mulai meluas ke cokelat, permen, dan makanan penutup lainnya.

Konsumen Amerika Serikat merasakan kenaikan harga gula dan permen sebesar 8,9% pada 2023 dan diperkirakan akan terjadi kenaikan sebesar 5,6% pada tahun ini yang, menurut Departemen Pertanian AS, jauh di atas rata-rata historis. November tahun lalu, Mondelēz, sebuah bisnis besar yang mencakup merek Cadbury, Oreo, dan Toblerone, memperingatkan kenaikan harga produk-produknya.

Ilustrasi petani yang sedang bekerja di perkebunan tebu. Dok Adobe Stock Image

Harus ada “kenaikan harga secara langsung” bagi konsumen karena tingginya harga gula dan kakao, kata Dirk Van de Put, CEO Mondelēz, seperti dilaporkan Bloomberg pada November 2023. 

Gernot Wagner, ekonom iklim di Fakultas Bisnis Columbia University, mengatakan perusahaan besar memiliki beragam motivasi untuk menaikkan harga produknya. Namun, ancaman mendasar yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tidak dapat disangkal.

“Cuaca ekstrem mempengaruhi pangan – setahun yang lalu alpukat, sekarang gula,” kata Wagner dikutip Guardian. “Flasi iklim kini semakin buruk. Sangat mudah bagi pemilik Oreo untuk merujuk pada perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan harga, tetapi hal ini juga dapat dimengerti.”

Permasalahan dalam produksi gula diperparah oleh ancaman pembatasan ekspor dari negara-negara produsen gula. Ini adalah upaya menjaga stok komoditas gula mereka sendiri, dan kemacetan pelabuhan di Brasil, yang menghambat ekspor.

Harga dan impor gula ke AS dipengaruhi oleh berbagai peraturan. Artinya dampak dari tingginya harga gula akan lebih kecil dibandingkan di beberapa negara lain. Dampak paling parah akan dirasakan oleh negara-negara berkembang dan petani subsisten, menurut Joseph Glauber, peneliti senior di International Food Policy Research Institute.

“Tidak ada keraguan bahwa harga gula saat ini sangat-sangat tinggi dan akan tetap tinggi sampai kita melihat El Niño mereda,” kata Glauber, mengacu pada peristiwa iklim berkala yang diperkirakan akan semakin mempercepat suhu global pada tahun ini.

“Masalahnya adalah keterjangkauan. Di AS dan negara-negara berpendapatan tinggi lainnya, akan terjadi peningkatan biaya pangan yang akan dirasakan oleh rumah tangga, khususnya rumah tangga yang lebih miskin. Namun lain ceritanya jika negara-negara yang 40% pengeluarannya adalah untuk makanan, hal ini akan sangat terdampak,” ujar Glauber.

Bagaimana dengan Indonesia? Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pernah menyampaikan, konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang utama PDB. Perekonomian Indonesia, ujarnya dalam konferensi pers pada Senin (6/11/2023), masih didominasi komponen pengeluaran rumah tangga yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia yaitu sebesar 52,62 persen.

Menurut Glauber, ada kekhawatiran mengenai dampak perubahan iklim dalam jangka panjang, terkait dengan perpindahan area tanam dan volatilitas harga pangan seperti beras dan gula. 

Penelitian menunjukkan bahwa pemanasan global akan sangat menghambat kemampuan negara-negara seperti Tiongkok untuk menanam padi dengan volume yang ada saat ini. Para peneliti juga menemukan bahwa produksi jagung global dapat merosot sebesar 24% pada 2030. Di sisi lain, perubahan suhu dan pola curah hujan dapat membantu tanaman seperti gandum tumbuh subur di tempat seperti Rusia dan Kanada, yang saat ini suhunya terlalu dingin untuk tumbuh.

Secara keseluruhan, inflasi pangan di seluruh dunia bisa mencapai 3% per tahun pada 2030-an akibat krisis iklim jika upaya adaptasi besar-besaran tidak dilakukan, demikian yang dinyatakan dalam Bank Sentral Eropa tahun lalu.

Guncangan harga gula yang terjadi saat ini merupakan pengingat bahwa asumsi-asumsi sebelumnya mengenai produksi pangan harus dibuang, kata Wagner.

“Tanaman pangan kita pada dasarnya dioptimalkan untuk kondisi cuaca selama 10.000 tahun terakhir – iklim yang relatif stabil yang sekarang kita tinggalkan,” katanya. “Kita meninggalkan rentang suhu Goldilocks dan hal ini akan memberikan tekanan pada ketersediaan dan harga pangan.

“Beberapa tanaman pangan utama tidak akan mengalami penurunan secara linear ketika suhu meningkat – mereka akan jatuh drastis akibat cuaca ekstrem. Saya tidak begitu khawatir mengenai konglomerat makanan besar yang akan membuat harga Oreo lebih mahal dibandingkan dengan saya sebagai konsumen yang hidup di pinggiran dan para petani miskin yang kehidupan dan penghidupannya akan musnah,” ujarnya.