Tanggul Laut Pantura Solusi Palsu, Ini Penjelasan Ekomarin

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Senin, 15 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) menyoroti rencana percepatan pembangunan tanggul laut (Giant Sea Wall) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), terutama di pantai utara Jawa (Pantura). Koordinator Ekomarin, Marthin Hadiwinata,  mengatakan proyek tersebut tidak menyelesaikan masalah kritis, tetapi hanya menjadi solusi palsu.

Giant Sea Wall seolah menjadi satu-satunya jawaban solusi yang mutlak harus dilakukan oleh Pemerintah. “Padahal masalah isu baik sosial-ekonomi dan teknis lingkungan proyek tersebut tidak menyelesaikan masalah kritis, tetapi hanya menjadi solusi palsu untuk mengeruk keuntungan ekonomi,” kata Marthin, Kamis, 11 Januari 2024.

Marthin menyebut, ada enam catatan kritis terhadap PSN tanggul laut yang akan menimbulkan banyak masalah baru ketika dijalankan.  

Pertama, penyebab land subsidence harus diselesaikan lebih dahulu. Menurut Marthin, penurunan muka tanah di wilayah Jakarta terjadi bervariasi, tidak terjadi sama antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya.

Potret Udara Kampung nelayan Muara Angke, Kamis, 3 Agustus 2023. Foto: Gilang/Betahita

Data yang ada juga masih menggunakan data tahun 2014, kata Marthin, yang melihat laju rata-rata penurunan muka tanah mencapai 7,5 cm/tahun, sehingga 40 persen elevasi daratan di Jakarta lebih rendah daripada muka air laut pasang.

“Kita dapat berkaca dari pengalaman negara lain seperti Jepang di Tokyo dan Thailand di Bangkok. Penurunan muka tanah dapat berangsur berkurang dengan penghentian sama sekali penggunaan air tanah. Pengalaman Tokyo dimulai sejak 1950 selama dua dekade hingga 1970 menghentikan penggunaan air tanah berhasil menurunkan rerata land subsidence,” ungkap Marthin.

Kedua, flushing dan sendimentasi. Marthin menjelaskan, akan ada perubahan pola sedimentasi akibat perubahan garis pantai, hidrologi dan potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi. Di sisi lain, meningkatnya kecepatan arus akan meningkatkan tekanan terhadap ekosistem di Kepulauan Seribu akibat meningkatnya transport material termasuk bahan pencemar dan sedimen.

“Dampak lain yang diterima karena sifat dinamisnya laut adalah pertumbuhan karang di Kepulauan Seribu akan terganggu akibat tekanan bahan pencemar dan sedimen,” kata Marthin.

Ketiga, pencemaran air di wilayah tertutup tanggul laut. Dia menjelaskan tanggul laut sebagai upaya untuk menopang reklamasi baik dalam fase konstruksi dan operasional tentunya akan dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas air.

Mengutip Widjo Kongko, peneliti Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT), Marthin mengungkap akan terjadi penurunan kualitas air di dalam perairan wilayah tanggul laut.

“Penurunan kualitas air ditandai dengan perubahan signifikan parameter lingkungan, seperti kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved oxygen (DO) lebih dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen,” ungkap Martin.

Keempat, privatisasi dan akses air perpipaan. Sebagaimana diketahui bersama, permasalahan akses air bersih disebabkan oleh adanya privatisasi pengelolaan air bersih di DKI Jakarta.

Kelima, politik dagang pemerintah Kerajaan Belanda untuk mendukung perusahaan Belanda.

Marthin menduga proyek tanggul laut yang bertajuk NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) di Teluk Jakarta menjadi salah satu PSN yang disponsori oleh Belanda.

“Perencanaan proyek tanggul laut ini awalnya bernama JCDS sebagai bantuan dari Kerajaan Belanda namun berganti menjadi sarana untuk memfasilitasi perdagangan jasa untuk korporasi multinasional asal Belanda. Yang kemudian akan mendapatkan keuntungan dari pembiayaan jasa pengerukan dan reklamasi,” kata Marthin.

Keenam, permasalahan sosial-ekonomi wilayah perairan tangkap nelayan di Teluk Jakarta. Pasalnya, wilayah Teluk Jakarta menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di pesisir Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan.

“Perkampungan nelayan sudah berdiri lama dan kehidupan mereka bergantung pada laut di Teluk Jakarta. Pembangunan tanggul laut akan berdampak kepada nelayan kecil yang mengelola sumber daya laut di Teluk Jakarta,” ungkap Marthin.

Rois Akbar, salah satu nelayan tradisional dari Muara Angke, Jakarta Utara, mengaku keberatan dengan adanya rencana melanjutkan pembangunan tanggul laut ini. “Sering terjadi pendangkalan di Muara Angke. Dan kini pasang air laut lebih sulit diprediksi dari sebelumnya,” kata Rois, Kamis, 11 Januari 2024.