UU Anti Deforestasi Uni Eropa Ancam Petani Sawit
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Rabu, 17 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dinilai akan berdampak negatif terhadap sawit rakyat di Indonesia. Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI), hal ini disebabkan petani yang masih menghadapi sejumlah persoalan, termasuk keterlacakan.
Ketua Departemen Kajian Strategis SPI, Mujahid Widian Saragih, mengatakan Uni Eropa merupakan salah satu pasar ekspor yang besar bagi Indonesia. Karena itu kebijakan yang mulai berlaku Mei tahun lalu itu akan berdampak terhadap Indonesia, termasuk petani sawit.
“Saat ini memang belum terlihat. Tapi ketika undang-undang ini berlaku secara komprehensif, petani sawit akan dirugikan, karena akan mengurangi target pasar Indonesia,” kata Mujahid dalam diseminasi hasil penelitian, Kamis, 11 Januari 2024.
Pengurangan target pasar tersebut berpotensi mengurangi penerimaan sawit dari kebun petani ke pabrik kelapa sawit atau penurunan harga. “Ketika target ekspor berkurang, pasti akan terjadi penurunan harga di tingkat nasional. Sebelum kebijakan ini terjadi pun, petani belum mendapat harga yang layak karena selalu menggunakan tengkulak,” kata Mujahid.
Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) resmi berlaku pada 16 Mei 2023. Tujuannya, memastikan produk yang masuk pasar Uni Eropa berasal dari sumber yang legal dan bebas deforestasi. Saat ini pengujian masih dilakukan, seperti di Indonesia dan Malaysia, sehingga belum dilaksanakan secara menyeluruh.
Luas sawit rakyat di Indonesia mencapai 6,21 juta hektare atau 40,51% dari total perkebunan kelapa sawit nasional pada 2022. Dari segi produksi, petani sawit menghasilkan lebih dari 16 juta ton minyak sawit yang diserap industri, dari total minyak sawit sebesar 46,82 juta ton.
Hasil survei SPI terhadap 300 petani di dua kabupaten mengungkap, petani sawit di Indonesia tidak mengetahui aturan terbaru Uni Eropa tersebut. Termasuk standar dan ketentuan yang wajib dipenuhi ketika undang-undang itu mulai berlaku.
Ini ditunjukkan dengan petani sawit di Asahan, Sumatra Utara, dan Pasaman Barat, Sumatra Barat. Survei SPI menemukan bahwa petani di dua kabupaten tersebut sama sekali tidak mengetahui kebijakan baru dari Uni Eropa ini.
Kondisi petani saat ini, kata Mujahid, masih menghadapi sejumlah persoalan, termasuk legalitas lahan dan sertifikat. Ketentuan seperti keterlacakan otomatis akan menyulitkan petani karena mereka belum memiliki dokumen untuk membuktikan hasil panennya.
Demikian juga dengan persoalan sawit dalam kawasan hutan. Saat ini masih banyak lahan yang digarap petani sejak lama masuk dalam kawasan hutan negara. Menurut Mujahid, saat ini masih petani anggota SPI masih memperjuangkan haknya melalui mekanisme reforma agraria atau penyelesaian konflik agraria.
Mujahid mengatakan, lahan yang digarap oleh seluruh anggota SPI saat ini statusnya masih “diperjuangkan”. Dia pun menilai kondisi petani di Asahan dan Pasaman Barat mewakili apa yang dialami mayoritas petani sawit di Indonesia, dalam hal ini yang mengelola lahan seluas 0-2 hektare.
“Otomatis ketika suatu kebijakan mengenai keterlacakan yang jadi syarat EUDR, tidak akan bisa dipenuhi karena ini masih menjadi masalah utama di akar rumput,” kata Mujahid.
“Tidak hanya EUDR, tapi RSPO dan ISPO juga memberikan standar. Tapi belum ada penyelesaian yang menyentuh petani arkyat, termasuk dalam konteks kawasan hutan,” ujarnya. “Sehingga bicara mengenai status legal formal itu masih diperjuangkan.”