Walhi: Dari Krisis Politik Menuju Krisis Ekologi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Rabu, 17 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, tiga kali putaran debat kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah dilakukan, namun belum ada kandidat yang memperlihatkan gagasan dan komitmen mengenai perlindungan dan pemulihan lingkungan di Indonesia. Ketiga pasangan capres dan cawapres dinilai menunjukkan secara gamblang keberpihakan mereka pada paradigma ekonomi yang bertumpu pada sektor ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan.

"Model ekonomi ekstraktif yang ditopang oleh kebijakan politik menjadi sumber berbagai kerusakan lingkungan, krisis iklim dan konflik sosial di berbagai tempat di Indonesia," kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Walhi Nasional, dalam keterangan resmi, 11 Januari 2024 kemarin.

Walhi menguraikan, selama kurang lebih 10 tahun terakhir, kewenangan kekuasaan tidak dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup. Kekuasaan justru dipergunakan sebagai alat mengotak-atik regulasi yang memberi kelonggaran bagi investasi dan kegiatan usaha ekstraktif.

Sementara itu, Walhi melanjutkan, instrumen hukum dipergunakan sebagai alat menindas bagi mereka yang berjuang untuk lingkungan. Sebaliknya, hukum memberikan impunitas bagi pelaku kejahatan lingkungan.

Aktivitas pembukaan lahan areal hutan terlihat dari udara di kawasan Pasaman, Sumatera Barat./Foto: Antara.

Otoritas pemegang kekuasaan, kata Walhi, juga menerbitkan atau merevisi berbagai peraturan guna memastikan kemudahan investasi dengan melemahkan instrumen lingkungan hidup dan penegakan hukum. Beberapa peraturan tersebut di antaranya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, revisi UU Mineral dan Batubara, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Ibu Kota Negara, UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Walhi mencatat, pada akhir 2023 lalu, Presiden Joko Widodo memberikan kado buruk melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Melalui Perpres ini, imbuh Walhi, pemerintah bermaksud mempercepat proses perampasan tanah rakyat demi menggenjot pembangunan berbagai proyek strategis nasional.

Walhi melihat dalam dua periode rezim pemerintahannya, Joko Widodo menutup ruang partisipasi publik dalam fase pembentukan Undang-Undang mulai dari perencanaan, pembahasan hingga penetapan. Gelombang protes atas berbagai produk kebijakan yang berdampak buruk pada rakyat dan lingkungan justru direspons dengan represi dan kriminalisasi.

"Walhi mencatat sepanjang rezim Jokowi sebanyak 827 warga negara mengalami kriminalisasi dan kekerasan. 145 orang ditangkap, 28 orang tersangka, 620 orang mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat, dan 6 orang meninggal dunia," ujar Uli.

Bukan hanya kriminalisasi dan kekerasan yang dialami oleh rakyat, krisis politik menyebabkan bencana ekologis serta krisis iklim. Walhi juga mencatat dari 2015 hingga 2022, Indonesia mengalami puluhan ribu bencana, yang 90 persen di antaranya merupakan bencana ekologis. Alih-alih menangani krisis iklim dengan mengurangi secara drastis pelepasan emisi, justru pemerintah menyelenggarakan serangkaian “solusi palsu” penanganan iklim seperti perdagangan karbon, carbon capture storage (CCS), hilirisasi nikel dan program transisi palsu energi lainnya.

Krisis ekologis ini juga mengancam keselamatan rakyat di Sumatra. Menurut data Walhi, Pulau Sumatra telah dibebani oleh Hak Guna Usaha (HGU) sawit seluas 2.326.417 hektare. Sedangkan luasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 2.434.661 hektare. Luas izin di sektor kehutanan mencapai 5.670.700 hektare.

Eksploitasi pulau Sumatra ini mengakibatkan seluas 119.626 hektare deforestasi hutan di Sumatra dan setidaknya seluas 141.522 hektare hutan dan lahan gambut di Sumatra terbakar di sepanjang 2023. Bukan hanya karhutla, bencana ekologis, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), konflik agraria, proyek-proyek strategis nasional serta kriminalisasi rakyat, juga menjadi bukti gagalnya pengurus negara melindungi rakyat dan lingkungan di Sumatra.

"Tantangan pada tahun ini tentu lebih keras dan berat. Kontestasi elektoral membuat kerentanan meningkat," tutur Uli.

Selain tidak banyak gagasan-gagasan baru untuk memulihkan krisis dan menjamin keadilan ekologis, Walhi melanjutkan, para kandidat beserta tim pemenangannya lebih fokus menemukan dukungan logistik, mengobral janji, dan saling berebut suara rakyat.

Pasca-Pemilu 2024, juga terdapat ruang transisi yang cukup panjang, ruang yang berpotensi disalahgunakan untuk menancapkan landasan investasi. Asumsi ini tentu berdasar, karena publikasi Walhi pada 2019 dan 2022 menunjukkan tahun jelang dan pasca-Pemilu merupakan ruang pertumbuhan izin paling tinggi.

Walhi Region Sumatra memberikan beberapa agenda politik lingkungan yang harus menjadi agenda utama bagi para kandidat yang berkontestasi, dan presiden terpilih untuk. Yang pertama, menjadikan agenda evaluasi seluruh perizinan yang saat ini berada di kawasan lindung, kawasan konservasi, kawasan ekosistem esensial dan wilayah Kelola rakyat.

Kedua, membentuk peradilan khusus (ad hoc) kejahatan lingkungan hidup dan menyelesaikan seluruh kasus-kasus lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, menjadikan agenda pengakuan dan perlindungan wilayah Kelola rakyat baik di darat ataupun pesisir Indonesia menjadi agenda utama.

Yang keempat, menghentikan proyek-proyek pembangunan yang rakus ruang dan mengeksklusi rakyat dari ruang hidupnya. Kelima menjadikan pengetahuan dan praktik lokal masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai dasar aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

"Keenam menata ulang tata ruang wilayah berorientasi pada keadilan ekologis dan mitigasi bencana. Terakhir, Presiden terpilih berkomitmen dan menjalankan pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja," kata Uli.