29 Warga Wawonii Dikriminalisasi karena Menolak Tambang Nikel

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 19 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Eksploitasi pulau-pulau kecil oleh pertambangan tak hanya memperparah kerentanan alami yang dihadapi masyarakat pesisir, semisal krisis iklim dan bencana alam, tetapi juga hampir selalu diwarnai pelanggaran Hak Asasi Manusia, praktik kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara misalnya, tercatat ada 29 warga yang dikriminalisasi dalam persoalan tambang nikel.

Dalam laporan terbarunya yang berjudul Nestapa Pulau Kecil di Indonesia: Alam Dijarah, Penduduknya Dimiskinkan dan Dikriminalisasi, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menguraikan, kriminalisasi terhadap warga Wawonii terjadi dengan berbagai tuduhan dan terjadi dalam rentang waktu 2018 hingga 2023.

Pada 2018, nelayan penolak tambang Wawonii, dijerat Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) setelah yang bersangkutan melakukan aksi penolakan tambang melalui postingan di media sosial. Nelayan tersebut dikenakan tuduhan membuat narasi menghasut. Sejauh ini statusnya sudah dijadikan tersangka, dan sudah dilakukan pemanggilan serta pemeriksaan.

Kemudian pada 2019, 3 warga Wawonii ditetapkan sebagai tersangka, dengan menggunakan Pasal 162 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Mereka bertiga dipidana karena menghalang-halangi aktivitas pertambangan. Padahal ketiganya tengah mempertahankan hak tas tanah yang diserobot oleh PT GKP--perusahaan tambang nikel yang beroperasi di pulau kecil tersebut.

Dari ketinggian tampak kondisi Pulau Wawonii akibat pertambangan nikel. Foto: Jatam Nasional.

Di tahun yang sama, sebanyak 21 warga dikriminalisasi menggunakan Pasal 333 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka dilaporkan oleh PT GKP karena melakukan penghadangan alat berat yang akan masuk ke pulau dan lahan pertanian warga. Mereka semua telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Selanjutnya di 2023 ada 4 orang yang dikriminalisasi. Mereka dilaporkan ke Polda Sultra dengan tuduhan yang tidak jelas. Dengan bukti surat panggilan dilaporkan oleh humas pihak perusahaan PT GKP," kata Muh. Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional, Selasa (16/1/2024).

Jumlah warga Wawonii yang dikriminalisasi, menurut Pani Arpandi salah satu warga Wawonii, sebenarnya ada lebih dari 29 orang. Kriminalisasi ini terjadi sejak adanya penghalangan atau pengadangan yang dilakukan warga terhadap perusahaan yang melakukan penggusuran lahan milik warga yang tidak mau dijual ke perusahaan.

"Sekitar November 2023 lalu, 5 warga juga dilaporkan. Mereka dilaporkan dengan tuduhan menghalangi aktivitas pertambangan perusahaan. Dan sudah diproses di Polres Kendari," kata Pani.

Pani bilang, beberapa warga yang dikriminalisasi itu bahkan ada yang kemudian berubah sikap. Dari yang awalnya menolak tambang, menjadi pro tambang. Pani menduga itu terjadi karena persoalan psikologi, karena kuatnya intimidasi dan premanisme terhadap warga penolak tambang.

Penolakan tambang, lanjut Pani, sudah dilakukan warga sejak lama, dengan melakukan demonstrasi di lokasi tambang maupun berunjuk rasa ke pemerintah daerah, namun tak pernah mendapat tanggapan. Belakangan, kata Pani, warga sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah sehingga memutuskan melakukan perlawanan dengan melakukan gugatan ke pengadilan.

Menurut Pani, ada diskriminasi perlakuan hukum yang dialami warga. Sebab, dalam beberapa kesempatan warga juga telah melaporkan pihak perusahaan kepada pihak kepolisian, namun tidak pernah ditindaklanjuti.

"Masyarakat melakukan pelaporan ke Polda dan Polres tapi tidak ada proses yang dilakukan aparat penegak hukum. Tetapi setelah masuk laporannya perusahaan terkait persoalan yang katanya menghalangi pekerjaan tambang langsung diproses. Ada masyarakat yang langsung ditangkap dan diintimidasi," kata Pani.

Pani menganggap upaya kriminalisasi terkait isu pertambangan sudah sering terjadi di beberapa daerah lain di Sulawesi Tenggara, sehingga laporan berbau kriminalisasi harusnya dijadikan pembelajaran bagi kepolisian, dengan memahami akar persoalan dan hak hidup yang diperjuangkan warga.

Dalam laporan tersebut diuraikan, di Pulau Wawonii terdapat 2 izin tambang nikel yang aktif. Keduanya milik PT GKP dengan total luas 1.808,9 hektare. Dua izin tambang itu berada di kecamatan yang berbeda, pertama terdapat di Kecamatan Wawonii Barat dan Tengah dengan luas izin 958 hektare dan Kecamatan Wawonii Tenggara seluas 850,9 hektare.

Jatam mencatat, perjuangan warga Wawonii menentang pertambangan nikel telah berlangsung lebih dari lima tahun. Selain perlawanan di lapangan, warga juga melakukan gugatan hukum, baik terkait izin lingkungan dan izin usaha pertambangan, serta izin pinjam pakai kawasan hutan yang dipegang PT GKP, maupun terhadap Peraturan Daerah (Perda) No, 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan yang memberi ruang masuknya pertambangan.

"MA dalam amar putusan bernomor perkara 57/P/HUM/2022 secara tegas menyatakan bahwa Pasal 24 huruf d, Pasal 28, dan Pasal 36 huruf c Perda RTRW Konkep 2/2021 yang mencantumkan peruntukan kegiatan pertambangan di dalamnya, telah bertentangan dengan Pasal 4 huruf a, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K)," kata Jamil.