Perluasan Ruang Investasi Bengkulu Percepat Bencana Ekologi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Jumat, 19 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pelepasan kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), terutama untuk mengakomodasi kepentingan investasi, menjadi catatan khusus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu. Mereka menganggap perluasan ruang investasi di Bengkulu akan mempercepat bencana ekologis di "Bumi Rafflesia".

Dalam catatan akhir tahunnya (catahu), Walhi Bengkulu mengungkapkan review RPTWP Bengkulu mendesain perubahan fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 122 ribu hektare. Namun yang diamini oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hanya seluas 22.833 hektare, melalui SK. 533/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023. Dari luasan itu sekitar 19.940 hektare di antaranya untuk mendukung iklim investasi.

Direktur Walhi Bengkulu, Ibrahim Ritonga mengatakan, sedari awal pihaknya sudah melakukan kajian dan analisis mendalam terhadap pelepasan hutan yang diusulkan pemerintah daerah. Hasilnya menunjukkan pelepasan hutan tersebut memiliki korelasi kuat untuk mengakomodasi kepentingan korporasi pertambangan dan perkebunan skala besar di Provinsi Bengkulu.

"Dari usulan pelepasan hutan tersebut, terdapat 3 kabupaten yang luasannya cukup signifikan untuk mengakomodasi kepentingan korporasi pertambangan dan perkebunan skala besar yaitu Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara dan Seluma. Hutan lindung (HL) di Kabupaten Seluma diturunkan statusnya menjadi hutan produksi untuk kepentingan pertambangan emas," kata Baim, Selasa (16/1/2024).

Tampak dari ketinggian tutupan hutan alam di kawasan HL Bukit Sanggul./Foto: Genesis Bengkulu

Baim menjelaskan, RTRWP Bengkulu 2023-2043 sudah disahkan melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2023, dan seluruh kabupaten/kota diharapkan untuk mereview RTRW masing-masing dan juga memerikan kepastian ruang bagi investasi. Walhi Bengkulu, memperkirakan 20 tahun ke depan RTRW ini akan memfasilitasi investasi dan membawa bayang-bayang bencana ekologis.

Sementara itu, kata Baim, Pemerintah Bengkulu hanya berfokus dengan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan bagi-bagi sertifikat, tapi menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan terkait konflik agraria. Menurut Baim, itu merupakan bentuk gagal paham Pemerintah Bengkulu atas substasi kerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagaimana pesan Perpres No 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.

"Walhi Bengkulu juga mencatat 2 tahun terakhir setidaknya kurang lebih 100 orang yang menjadi korban ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya agraria yang tersebar di beberapa daerah, Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur," katanya.

Baim mengungkapkan, Provinsi Bengkulu sampai saat ini belum memiliki regulasi di tingkat daerah untuk mitigasi bencana. Hal ini cukup ironi, mengingat kondisi Bengkulu yang berada di wilayah riskio bencana tinggi. Walhi mencatat, 184 desa di Bengkulu terancam abrasi dan longsor, mulai dari Kabupaten Kaur hingga Mukomuko, berbatasan dengan Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Barat.

Menurut Baim, saat ini Provinsi Bengkulu telah mengalami krisis iklim dan harus menjadi perhatian serius mengingat daerah itu ditetapkan BNPB sebagai potensi bencana maka pemerintah diminta untuk mempunyai peta penanganan bencana. Pemerintah harus memperhatikan kerentanan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil di Bengkulu.

Ke depan, pemerintah juga harus serius menyikapi dampak krisis iklim terhadap keberlangsungan hidup masyarakat dan nelayan. Bagi masyarakat, kata Baim, mereka hanya menginginkan desa mereka tidak hilang ditelan laut.

"Bila tidak ada intervensi pemerintah maka dalam waktu 5-10 tahun mereka dapat memastikan desa mereka ikut tenggelam. Pemerintah melibatkan masyarakat nelayan terdampak krisis iklim untuk diajak mengambil kebijakan dalam menyikapi soal krisis iklim," ujar Baim.

Hal lain, Walhi Bengkulu juga menyebut hutan hujan tropis di Bengkulu juga terancam pertambangan emas. Baim menguraikan, rencana penambangan emas seluas 30.010 hektare oleh PT Energi Swa Dinamika Muda, di kawasan hutan yang sebelumnya merupakan kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul, akan berdampak buruk bagi masyarakat dan kerusakan lingkungan hidup.

Alasannya, karena ada 6 Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masuk dalam wilayah konsesi pertambangan. DAS tersebut merupakan sumber air bersih bagi ribuan masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Seluma. Bahkan Sungai dimanfaatkan sebagai lokasi tangkap.

"Perubahan fungsi HL ke HPT (hutan produksi terbatas) seluas 19.940 hektare dialokasikan untuk pertambangan emas. Rusaknya 6 DAS ini melahirkan ancaman penurunan kesehatan masyarakat, ketersediaan air untuk lokasi lahan pangan, hingga krisis air bersih," terang Baim.

Tak hanya soal perluasan ruang untuk iklim investasi, Walhi Bengkulu juga menyoroti rencana pengembangan energi. Baim menuturkan, Pemerintah Provinsi Bengkulu berencana ke depan untuk mengembangkan energi, yaitu PLTA, PLTU, PLTP, PLTG, PLTD, PLTB, dan PLTMH. Menurut Baim disahkannya Perda RTRW juga akan menjadi karpet merah bagi investor yang akan masuk untuk pengembangan energi ini.

Walhi Bengkulu mengkaji, terdapat beberapa calon investor untuk melakukan pengembangan energi yang akan masuk ke Bengkulu yang berasal dari lokal, nasional dan internasional. Investor tersebut berasal dari China untuk pengembangan energi biomassa dan investor dari Jepang untuk pengembangan energi panas bumi.

"Pengembangan untuk energi ini juga ke depan signifikan dengan kebutuhan lahan dan berdampak terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup," ucap Baim.

Kemudian, ada pula rencana pemerintah yang akan menargetkan pembangunan stasiun kereta api di 4 kabupaten dan 1 kota di Bengkulu. Dari hasil studi Walhi, kata Baim, perencanaan pembangunan stasiun kereta api ini sebagai sarana transportasi untuk memudahkan hasil kekayaan alam dari Bengkulu yang akan diekspor melalui pelabuhan Pulau Baai ke negara luar seperti minyak CPO, batu bara, bijih besi, emas dan
kandung mineral logam lainnya.

Perencanaan pembangunan stasiun kereta api akan ditargetkan dari Pulau Baai-Lubuk Linggau dengan nilai investasi sebesar USD850 juta. Baim menyebut, pembangunan stasiun kereta api ini juga akan membuka lahan di kawasan hutan yang akan berimplikasi terhadap kerusakan lingkungan hidup dan berpotensi terhadap meningkatnya risiko bencana ekologis.