Banyak Cacat RUU Konservasi

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Senin, 22 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Koalisi masyarakat sipil menilai Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) masih banyak memiliki cacat dan gagal dalam mewujudkan transformasi kebijakan konservasi yang inklusif, adil, berbasis hak, berbudaya, dan berciri khas Nusantara. Karena itu, Koalisi meminta pengesahan RUU Konservasi ini harus ditunda.

Hal ini disampaikan Cindy Julianty, perwakilan Koalisi dari BRWA, pada Jum’at, 19 Januari 2024. “Kami (akan) mempertegas kembali posisi kami terhadap legislasi RUU KSDAHE dalam surat terbuka yang akan disampaikan kepada Panitia Kerja RUU KSDAHE,” kata Cindy.

Cindy mengatakan, telah delapan tahun lebih RUU Konservasi keluar masuk program legislasi nasional. Koalisi masyarakat sipil juga telah menyampaikan masukan substansi RUU KSDAHE dalam bentuk kertas posisi, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), juga rekomendasi kunci pasal-pasal. “Sayangnya, hingga draft terakhir yang diterima pada Desember 2023, tidak ada perubahan positif secara materiil maupun formil dari proses legislasi RUU KSDAHE,” ungkap Cindy. 

Cindy menyatakan, ada tiga alasan menolak pengesahan dan mendesak penundaan RUU KSDAHE dan menuntut agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU KSDAHE. Pertama, proses legislasi RUU KSDAHE tidak transparan dan partisipatif atau meaningfully participated, terutama dalam perumusan pasal-pasal. “Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dokumen pada situs website (dpr.go.id) terkait pembahasan legislasi,” ungkap Cindy. 

Zeth Wonggor dan Hans Mandacan gagas ekowisata yang dikelola masyarakat di hutan hujan dataran tinggi, dengan minat khusus pengamatan burung Cendrawasih. Foto: Yudi Nofiandi/Auriga Nusantara

Kedua, tidak diakomodirnya usulan terkait aspek partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Ketiga, ada pasal-pasal yang bermasalah dan membuka peluang lebih banyak terjadinya potensi kriminalisasi. “Apalagi diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi” tegas Cindy. 

Satrio Manggala, Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI Nasional menilai isu konservasi belum menjadi fokus utama dalam pengambil kebijakan. “Padahal ini merupakan isu penting untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan krisis ekosistem hari ini,” ungkap Satrio. 

Dari segi substansi kata Satrio, RUU KSDAHE juga menggunakan pendekatan represif untuk memastikan supaya kegiatan konservasi berjalan. “Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pada pidana penjara. Padahal pidana konservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih menekankan sanksi denda dan perampasan aset, sanksi pidana ini juga bukan ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih banyak potensi kriminalisasi,” kata Satrio. 

Lebih lanjut, Satrio menyayangkan RUU KSDAHE memiliki paradigma konservasi yang cenderung melihat masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai ancaman bukan sebagai mitra yang berkontribusi dalam pengelolaan konservasi, alhasil pendekatan yang dilakukan negara justru kembali memunculkan konflik dan mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya. 

Moehammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum & HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut, menghadapi persoalan penyelenggaraan konservasi hari ini yang tidak berbasis pada hak asasi manusia dan abai terhadap hak Masyarakat adat. “Kami mengamati RUU KSDAHE ini juga tidak mengubah status quo, artinya tidak ada perubahan positif. hal ini dibuktikan dengan tidak adanya partisipasi berarti dan persetujuan atas dasar tanpa paksaan di awal (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi,” ungkap Arman. 

Arman menambahkan, banyak dari kasus kriminalisasi terjadi akibat negara tidak memperhatikan aspek ini. Misalnya kasus di Colol yang dikenal dengan Rabu Berdarah yang menyebabkan 6 orang tewas, 28 orang luka-luka dan 3 orang diantaranya cacat permanen. 

“Sehingga menjadi kekeliruan, jika RUU tidak mengatur aspek hak dan partisipasi. Padahal ada 75 persen wilayah adat masuk ke dalam Kawasan hutan dimana 1,6 juta hektare wilayah yang masuk dalam konservasi memiliki populasi sekitar 2,9 juta orang,” ungkap Arman. 

Kasmita Widodo, Kepala BRWA juga menyoroti relevansi pengakuan dan perlindungan wilayah adat dan hutan adat dalam RUU KSDAHE. Menurutnya, ada harapan dalam draft RUU KSDAHE 2022, ada perubahan positif yang dapat melindungi Masyarakat dan mengakui kontribusi Masyarakat atas konservasi keanekaragaman hayati. 

“Namun alih-alih memperbaiki kebijakan konservasi agar lebih inklusif, RUU KSDAHE justru ini akan mengebiri Putusan MK 35/2012 dan berdampak pada perjuangan masyarakat adat untuk mengembalikan hak Masyarakat Adat atas wilayah dan hutan adatnya,” ungkap Kasmita.

RUU KSDAHE ini juga menjadi ancaman perampasan wilayah pesisir dan laut atau Ocean Grabbing, sehingga RUU KSDAHE dapat memenuhi ambisi KKP dalam mencapai target yang bertumpu pada perluasan Kawasan Konservasi yang sebenarnya tetap melanggengkan konservasi yang selama ini sebenarnya sudah gagal untuk melakukan pelestarian alam dan laut. 

“Padahal praktik-praktik terbaik ada di masyarakat, bukan hanya dilakukan oleh negara, justru praktik inilah yang seharusnya diakomodir dan diakui oleh negara sebagai kontribusi Masyarakat untuk pencapaian tersebut dengan cara Masyarakat sendiri,” kata Erwin Suryana, Deputi Program dan Pengelolaan Pengetahuan KIARA.

Erwin juga mengemukakan bahwa RUU KSDAHE belum mengarah pada model konservasi yang inklusif namun justru membuka ruang untuk private sector atau investor agar dapat bekerja lebih dalam di wilayah-wilayah konservasi yang dibungkus atas nama Jasa Lingkungan untuk melanggengkan proses kapitalisasi atau akumulasi modal.