Menteri Siti Sebut Data Deforestasi Global Forest Watch Salah

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Deforestasi

Kamis, 25 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Data deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dikeluarkan Global Forest Watch (GFW) dianggap salah dan dikoreksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). GFW disebut memasukkan lahan non-hutan alam dalam hitungan deforestasinya. Meski ternyata ada perbedaan definisi hutan primer antara dua institusi tersebut, termasuk metodologi penghitungan deforestasi.

Koreksi data deforestasi GFW ini salah satunya dilakukan lewat Memorandum of Understanding (MoU) kemitraan teknis antara KLHK dan World Resources Institute (WRI Global)--pihak pengembang platform GFW, yang ditandatangani Februari tahun lalu. Berdasarkan hasil koreksi, data deforestasi Indonesia 2022 versi GFW berkurang hampir 54%, dari sebelumnya seluas 230 ribu hektare berubah menjadi 107 ribu hektare.

“Hasil analisis bersama tersebut bisa diakses di website Global Forest Watch,” kata Siti Nurbaya, dalam sebuah rilis, Rabu (24/1/2024).

Menteri Siti menjelaskan langkah koreksi data deforestasi versi GFW tersebut dilakukan setelah melakukan peninjauan bersama ke lapangan pada Juni 2023. Yang mana dalam peninjauan lapangan itu, perwakilan dari Pemerintah Norwegia juga ikut dan menyaksikan langsung terdapat kawasan non-hutan alam, seperti kebun sawit, hutan tanaman, dan kebun masyarakat, dimasukkan sebagai data hutan primer GFW.

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

“Memasukkan kawasan non-hutan alam dalam perhitungan deforestasi versi Global Forest Watch, jelas salah. Proses koreksi terus dilakukan melalui kemitraan teknis dengan WRI,” ujar Menteri Siti. “Perlu saya tegaskan bahwa data Global Forest Watch tidak melakukan cek lapangan. Sehingga, kita bersama WRI berkolaborasi untuk memperkuat data kehutanan yang berbasis fakta lapangan," imbuhnya.

Tidak hanya koreksi data deforestasi versi GFW, Menteri LHK juga bilang KLHK dan WRI juga sedang melakukan langkah-langkah teknis untuk melakukan koreksi terhadap data kebakaran hutan dan lahan (karhutla) versi Global Forest Watch, yang juga ia sebut keliru.

“Data karhutla Global Forest Watch mengungkapkan bahwa karhutla serius terjadi pada 2016 dan 2020. Faktanya, bukan terjadi pada kedua tahun itu, melainkan tahun 2015 dan 2019,” kata Menteri Siti, memberikan salah satu contoh koreksi teknis lainnya terhadap data karhutla Global Forest Watch.

Koreksi awal, kata Menteri Siti, sudah dilakukan dengan menambahkan penjelasan teknis di bagian bawah grafik GFW yang terkait Indonesia. Hal tersebut, katanya, bisa dilihat di website GFW.

Soal MoU, Menteri LHK Siti Nurbaya juga memberikan perkembangan terbaru dari pelaksanaan MoU dengan WRI di Washington DC, di mana pada akhir Februari mendatang, akan dilakukan analisis bersama lagi mengenai data deforestasi 2023 versi GFW.

“Tim dari University of Maryland (sebagai pihak penyedia data), Global Forest Watch dan WRI DC akan ke Jakarta akhir Februari ini untuk bersama-sama dengan tim KLHK dalam penyiapan analisis bersama serta tinjauan ke lapangan,”jelasnya.

Koreksi lanjutan terhadap data GFW serta penguatan data kehutanan Indonesia, katanya, akan terus berlanjut dalam kolaborasi teknis KLHK dengan WRI DC, yang didukung oleh Pemerintah Norwegia.

“Jadi, ini bukan masalah beda cara baca data, tapi memang bagian-bagian dari data Global Forest Watch tersebut yang harus dikoreksi. Ada yang telah dikoreksi dan ada yang sedang dalam proses dikoreksi,” ucap Menteri Siti.

Beda Definisi Hutan Primer dan Metodologi Penghitungan Deforestasi antara GFW dan KLHK

Berdasarkan penelusuran Betahita, ternyata ada perbedaan definisi hutan primer dan cara perhitungan deforestasi yang digunakan GFW dan KLHK. Hal tersebut diuraikan WRI dalam situs resminya.

Definisi hutan primer dalam Turubanova et al. (2018) yang digunakan oleh Universitas Maryland (UMD) dan dirujuk oleh GFW mencakup hutan alam yang utuh dan tidak utuh. Sedangkan definisi hutan primer KLHK mengacu pada hutan alam yang utuh saja.

Definisi versi KLHK ini merupakan bagian dari terminologi umum hutan alam yang terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder, di mana hutan primer adalah hutan alam utuh dan hutan sekunder adalah hutan alam tidak utuh yang telah menampakkan bekas tebangan atau gangguan. Tapi yang dimaksud dengan hutan primer oleh UMD, justru lebih dekat dengan terminologi hutan alam menurut definisi KLHK.

Dalam laporan kehilangan tutupan hutan primer global 2019, GFW merujuk kepada definisi hutan primer yang juga mencakup hutan alam tidak utuh dalam menghitung kehilangan tutupan hutan di dunia. Dalam konteks konservasi hutan secara global, hutan primer yang tidak utuh tetap berperan penting dalam menyimpan karbon dan menyediakan fungsi habitat penting, meskipun hutan primer tidak utuh lebih terfragmentasi.

Kehilangan hutan primer tidak utuh pun memiliki dampak besar. Sebagai contoh, hilangnya hutan primer (baik utuh maupun tidak utuh) di Indonesia pada 2019 menghasilkan 187 Mega ton emisi CO2, dibandingkan dengan hanya 13 Mega ton emisi CO2 dari hilangnya hutan primer utuh.

Ketika menganalisis kehilangan tutupan hutan primer, GFW hanya mempertimbangkan area hutan primer dengan setidaknya 30% tutupan tajuk pohon seperti yang dijelaskan dalam penelitian Universitas Maryland yang diterbitkan di Science Magazine (Hansen et al., 2013) dan juga disebutkan di dalam Permenhut Nomor 14 tahun 2004 tentang A/R CDM dan dokumen FREL Indonesia (2016).

Setiap hilangnya tegakan tutupan kanopi pohon (berdasarkan Hansen et al. 2013) yang berada di dalam area hutan primer dimasukkan dalam perhitungan kehilangan tutupan hutan primer global.

Sementara itu, KLHK mendefinisikan deforestasi sebagai kehilangan yang terjadi pada tujuh kelas hutan (termasuk di dalamnya hutan primer dan sekunder di lahan kering, bakau, dan rawa gambut, serta hutan tanaman) berdasarkan peta tutupan lahan KLHK. Peta tutupan lahan tersebut dibuat melalui interpretasi visual atas mosaik citra satelit Landsat pada wilayah pemetaan seluas 6,25 hektare.

Perbedaan perhitungan kehilangan tutupan hutan dapat disebabkan oleh perbedaan definisi hutan, metode identifikasi tutupan hutan, dan penghitungan kehilangan hutan.