5.300 Ha Hutan Tropis Halmahera Hilang Karena Industri Nikel

Penulis : Kennial Laia

Deforestasi

Kamis, 25 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Hutan tropis seluas 5.300 hektare telah hilang akibat industri nikel di Halmahera, Maluku Utara. Menurut laporan dari Climate Rights International (CRI), ini menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati secara signifikan serta hilangnya sekitar 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut. 

Dalam laporan berjudul “Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia Pada Manusia dan Iklim,” CRI mewawancarai 45 narasumber yang tinggal di dekat kegiatan peleburan (smelting) di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta di sekitar pertambangan nikel di Halmahera. 

CRI mengatakan bahwa perusahaan, berkoordinasi dengan kepolisian dan militer, telah menyerobot lahan, memaksa, serta mengintimidasi penduduk dan masyarakat adat.  

CRI menyebut pertambangan nikel dan kegiatan peleburan nikel mengancam hak-hak warga lokal atas air bersih, ketika kegiatan industri dan deforestasi mencemari sungai-sungai tempat warga menggantungkan hidup mereka. Warga juga khawatir atas meningkatnya bencana banjir yang diakibatkan oleh penggundulan hutan oleh perusahaan tambang nikel.  

Tampak dari ketinggian kawasan industri terpadu PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Auriga Nusantara.

Sebagian besar nikel yang diproses di IWIP dan di tempat lain di Indonesia diekspor untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh terhadap nikel untuk dipakai dalam teknologi energi terbarukan, termasuk baterai kendaraan listrik.  

“Transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik adalah bagian penting menuju transisi global dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, namun tumbuhnya industri mineral penting tidak boleh mengulang praktik-praktik keji dan merusak lingkungan yang telah dilakukan oleh industri ekstraktif selama puluhan tahun,” kata Krista Shennum, peneliti dari Climate Rights International, dalam keterangan tertulis, Kamis (16/01). 

“Industri otomotif global yang mengambil pasokan nikel dari Indonesia, termasuk Tesla, Ford, dan Volkswagen, harus mengambil langkah untuk memastikan bahwa nikel yang digunakan dalam kendaraan listrik mereka tidak melanggar HAM dan kerusakan lingkungan,” kata Shennum.  

Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, yang memasok 48 persen permintaan global pada 2022. Meski kendaraan listrik bertujuan untuk mengurangi jejak karbon industri otomotif, peleburan di komplek industri nikel, termasuk IWIP, justru menghasilkan jejak karbon yang besar, menurut Climate Rights International.    

Climate Rights International mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkuat peraturan perundang-undangan guna meminimalkan dampak pertambangan dan pemurnian nikel terhadap masyarakat, termasuk masyarakat adat. Pemerintah juga harus memastikan agar aparat keamanan baik dari negara maupun perusahaan menghentikan semua praktik intimidasi maupun ancaman kepada masyarakat yang menentang kegiatan di IWIP maupun kegiatan terkait.  

Tanggung Jawab Korporasi 

CRI mengatakan, kerusakan yang berdampak pada masyarakat lokal dan lingkungan ini disebabkan oleh aktivitas puluhan perusahaan domestik dan asing yang bergerak di bidang pertambangan dan pemurnian nikel di Halmahera Tengah dan Timur, termasuk IWIP. 

IWIP adalah gabungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Republik Rakyat Tiongkok: Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Group, dan Zhenshi Holding Group. Menurut CRI, ketiga pemangku kepentingan utama IWIP ini harus mengambil langkah cepat untuk memulihkan pencemaran air dan udara akibat kegiatan mereka. Perusahaan tambang nikel harus membuang limbah tambang sesuai prosedur demi meminimalkan pencemaran lingkungan. IWIP dan perusahaan tambang nikel lainnya juga harus memberikan kompensasi secara penuh dan adil bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk Masyarakat Adat. 

Shennum mengatakan, perusahaan kendaraan listrik, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang memiliki kontrak untuk memasok nikel dari Indonesia, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IWIP, seharusnya menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong para pemasok untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan hidup. 

“Bila perlu, berhenti membeli nikel dari perusahaan yang bertanggung jawab atas segenap pelanggaran tersebut,” kata Shennum. 

Adlun Fikri, aktivis dari Desa Sagea, mengatakan kegiatan IWIP dan perusahaan lainnya sangat berdampak pada warga. “Di daerah hulu sungai tempat mereka menambang, itu merusak, mendegradasi hutan, dan melanggar HAM. Warga lokal harus menanggung akibat dari ambisi global [nol emisi karbon]. Orang Barat menikmati kendaraan listrik, sementara kami menanggung dampak buruknya.” 

“Membangun pembangkit listrik di luar jaringan untuk menggerakkan kegiatan pemrosesan nikel serta melakukan deforestasi adalah solusi palsu yang tidak dapat diterima,” kata Shennum. 

“Perusahaan kendaraan listrik harus memastikan bahwa rantai pasok mineral penting mereka bebas dari bahan bakar fosil, dan pemerintah asing – termasuk AS dan Uni Eropa – harus menyokong pendanaan transisi energi di Indonesia, termasuk penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap,” ujarnya.