Hujan Jadi Pertanda Buruk, Walhi: Kalteng Darurat Ekologis

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Jumat, 26 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sejumlah daerah di Pulau Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah (Kalteng), beberapa waktu terakhir dilanda banjir. Bencana ekologis ini mestinya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk meninjau ulang tata kelola lingkungan, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng.

“Hujan yang turun saat ini menjadi pertanda buruk bahwa banjir akan segera datang, terlebih pada warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai," kata Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Selasa (23/1/2024) kemarin.

Bahkan, imbuh Bayu di beberapa kabupaten diketahui sudah terendam banjir. Setidaknya 9 dari 14 kabupaten/kota di provinsi berjuluk Tambun Bungai ini dilaporkan mengalami kebanjiran, yakni Murung Raya, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Kapuas, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Lamandau, dan Sukamara.

Menurut pantauan Walhi Kalteng, di beberapa kabupaten yang terdampak banjir tersebut terdapat kerusakan lingkungan yang cukup parah. Imbas dari rusaknya beberapa area serapan yang disebabkan pembukaan lahan berskala besar serta adanya aktivitas yang mengakibatkan sungai mengalami pendangkalan inilah mengakibatkan air yang tidak terserap menjadi meluap.

Kejadian banjir di Jembatan Bukit Rawi, di Jalan Trans Kalimantan, di Palangka Raya, Kalteng, pada 2021. Foto: Walhi Kalteng.

"Faktor penyebab utama inilah yang seharusnya tidak boleh luput dari perhatian pemerintah,” ujarnya.

Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, kata Bayu, pada awal 2024, tercatat kejadian banjir di Barito Selatan terjadi di 1 kecamatan dengan 7 desa terdampak, Murung Raya terjadi di 4 kecamatan dengan 5 desa terdampak, Sukamara terjadi di 3 kecamatan dengan 10 desa terdampak, dan kabupaten Lamandau terjadi di 3 desa. Sebanyak 572 rumah dan bangunan lain terendam banjir dan sebanyak 1.935 jiwa terdampak kejadian banjir di Kalteng.

Tidak hanya merendam fasilitas umum dan fasilitas khusus saja, Bayu bilang area pertanian dan perumahan warga juga terdampak. Bahkan beberapa rumah warga mengalami kerusakan fisik, khususnya yang berada di sekitar bantaran sungai, yang diakibatkan longsor yang merupakan dampak dari kenaikan debit air, seperti yang terjadi di Kabupaten Barito Timur.

Tak hanya itu, beberapa kabupaten di Kalteng yang berada di bagian hilir juga harus waspada terhadap potensi terjadinya Banjir. Sebab menurut prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas 1 Tjilik Riwut Palangka Raya, intensitas curah hujan di Kalteng masuk ke dalam kategori sangat tinggi.

Bayu menyebut, kejadian bencana banjir di Kalteng ini telah berulang kali terjadi sepanjang 2019 sampai awal 2024. Pada waktu yang relatif sama, dengan wilayah kabupaten/kota yang terdampak banjir yang sama. Tapi, sampai saat ini masih belum adanya kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Kalteng sebagai upaya pencegahan dan mitigasi bencana.

“Hal ini tentunya sangatlah disayangkan. Pemerintah harusnya belajar dari kejadian-kejadian tahun sebelumnya," ujar Bayu.

Dalam konteks bencana, Bayu berpendapat, perlu diperkuatnya mitigasi, yang bukan hanya sekedar penyediaan anggaran tanggap bencana dengan membagikan sembako kepada warga yang terdampak, melainkan perlu dibentuknya kebijakan tata kelola lingkungan hidup. Khususnya mengenai tata Kelola hutan dan lahan yang baik, yang dapat dijadikan landasan utama dalam upaya pencegahan bencana.

"Sebab, seperti yang telah kita ketahui alih fungsi hutan dan lahan menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir yang terus berulang dan semakin meluas,” tutur Bayu.

Bayu mengungkapkan, banjir terjadi pada awal 2024 di dua kabupaten yang berada dalam satu Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Kabupaten Barito Selatan dan Murung Raya. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan oleh Walhi Kalteng, menggunakan data tutupan lahan 2022, diketahui bahwa adanya tutupan lahan perkebunan seluas 121.555 hektare, pertambangan seluas 23.045 hektare, dan hutan tanaman seluas 53.834 hektare pada DAS Barito.

Bencana serupa juga terjadi di Kabupaten Lamandau dan Kotawaringin Barat. Berdasarkan analisis spasial, diketahui bahwa adanya tutupan hutan tanaman seluas 94.966 hektare, perkebunan seluas 342.180 hektare, pertambangan 5.846 hektare pada DAS Kotawaringin.

Kemudian, pada DAS Mentaya juga terjadi banjir di Kabupaten Kotawaringin Timur. Berdasarkan analisis, diketahui adanya alih fungsi lahan untuk aktivitas hutan tanaman seluas 187 hektare, perkebunan seluas 657.180 hektare dan pertambangan seluas 20.316 hektare.

"Pada DAS Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat, diketahui pula adanya tutupan lahan perkebunan seluas 103.058 hektare dan pertambangan 1.776 hektare. Hal ini menunjukkan bahwa pada area di atas mengalami tingkat deforestasi yang cukup tinggi," kata Bayu.

Menurut Bayu, perubahan tutupan lahan karena deforestasi, sejak 2019 hingga 2022, menjadi pemicu besar yang memperparah bencana ekologis di Kalteng. Sepanjang 2019 sampai 2022, terjadi peningkatan perubahan tutupan lahan perkebunan sebesar 123.765 hektare dan perubahan tutupan lahan pertambangan meningkat sebesar 40.691 hektare, serta tutupan lahan hutan tanaman meningkat seluas 12.649 hektare.

"Selain itu, berdasarkan hasil analisis spasial, terdapat sebaran tutupan lahan berupa perkebunan dan pertambangan pada kawasan lindung yang memiliki fungsi sebagai penyangga untuk mengatur tata air dan berfungsi sebagai mencegah banjir seluas 27.675 hektare," ucap Bayu.

Manager Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng, Janang Firman Palanungkai, menambahkan, bencana banjir yang berulang terjadi di Kalteng ini sudah seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah. Terutama dalam hal mitigasi bencana dan adanya upaya pemenuhan hak sosial para korban, yang sudah menjadi keharusan pemerintah seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

"Pemerintah juga harus tegas dalam mengambil tindakan dengan segera melaksanakan audit lingkungan di Kalteng sebagai bentuk mitigasi jangka panjang, tanpa menunggu bencana datang. Karena bencana yang terjadi banyak hanya dijadikan sebagai momen untuk bagi-bagi sembako saja," kata Janang.