KPA: Ada Cawapres yang Salah Tafsir Soal Reforma Agraria

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Selasa, 30 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai agenda Reforma Agraria masih disalahtafsirkan sebagai sertifikasi tanah (legalisasi aset), bahkan oleh salah satu calon wakil presiden (cawapres) dalam Debat Cawapres, Minggu (21/1/2024) pekan lalu. Menurut KPA, ada 4 tujuan utama Reforma Agraria sejati, salah satunya merombak ketimpangan penguasaan tanah agar struktur agraria Indonesia menjadi lebih berkeadilan.

"Para capres-cawapres harus paham, Reforma Agraria merupakan usaha sebuah Negara untuk melakukan penataan kembali (perombakan) struktur penguasaan, pemilikan, dan penggunaan sumber-sumber agraria utamanya tanah secara berkeadilan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, dalam catatan berisi pandangan KPA terhadap jalannya debat capres, 24 Januari 2024 kemarin.

Dewi menjelaskan, secara historis, filosofis, ideologis dan sosiologis, pemahaman bahwa Reforma Agraria merupakan sertifikasi tanah (legalisasi aset) adalah pemahaman yang sesat. Jika salah tafsir ini dibiarkan terus-menerus akan sangat berbahaya bagi nasib jutaan orang di desa.

"Siapa yang akan dirugikan jika paradigma sesat itu dilanjutkan terus? Pastinya petani kecil, buruh tani, dan penggarap yang selama ini menantikan Reforma Agraria dijalankan secara penuh dan konsekuen," kata Dewi.

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Dewi menuturkan, klaim sertifikasi tanah sebagai Reforma Agraria akan membahayakan nasib desa, perkampungan dan tanah pertanian yang berada di wilayah-wilayah konflik agraria, serta wilayah yang mengalami ketimpangan struktur agraria akibat penguasaan tanah di desa semakin didominasi oleh konglomerasi dan konsesi-konsesi besar. Juga desa dan wilayah adat yang mengalami kemiskinan struktural, yang tanah dan sumber agrarianya telah habis dirampas dan dieksploitasi oleh badan-badan usaha besar.

Masalah agraria, kata Dewi, bukan semata soal legal dan ilegal, melainkan masalah ketidakadilan sosial. Oleh sebab itu, pendekatan legalistik sejak awal telah mengkerdilkan model Reforma Agraria di Indonesia. Program sertifikasi tanah atau legalisasi aset atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah pelayanan publik kepada pihak yang sudah bertanah dan belum memiliki sertifikat dengan prasyarat clean dan clear (tidak berkonflik).

Program ini, menurut Dewi, merupakan sistem pendaftaran tanah yang liberal dan pro kapital, sehingga arah dan mekanisme kerjanya bersifat diskriminatif kepada wilayah-wilayah yang mengalami ketimpangan, konflik agraria, wilayah adat dan desa miskin. Apalagi wilayah berlaku PTSL masih menganut dualisme pertanahan (tanah dan tanah hutan), sehingga masalah-masalah tenurial akut akibat klaim-klaim sepihak negara atas nama kawasan hutan tidak mampu tertangani.

"Sertifikasi tanah bukannya tidak penting. Pekerjaan ini merupakan tanggung jawab pemerintah agar semua warga yang bertanah memiliki legalitas. Problemnya adalah, program sertifikasi ini terus-terusan diklaim sebagai pelaksanaan Reforma Agraria," ujar Dewi.

Alhasil, Dewi melanjutkan, tidak mengherankan jika kebijakan 9 juta hektare Reforma Agraria yang dijanji-janjikan Jokowi, telah gagal mengikis ketimpangan pengusaan tanah dan menuntaskan gunung es konflik agraria, serta minimnya pencapaian redistribusi tanah dan tidak mampu berdaulat pangan.

Hasil Sensus Pertanian 2023, imbuh Dewi, dapat menjadi indikator semakin melebarkan ketimpangan penguasaan tanah antara petani dengan badan-badan usaha skala besar, yang ditunjukkan dengan peningkatan petani gurem. Saat ini ada 17,24 juta rumah tangga petani berada dalam kondisi gurem, mengolah tanah rata-rata di bawah setengah hektare.

Dewi mengungkapkan, guremisasi ini terus bertambah dan meluas. Dalam 10 tahun terakhir angka petani gurem telah bertambah 2,6 juta keluarga, dan meluas tidak hanya di Jawa, tetapi juga Sumatera, Sulawesi, Bali-NTT, Kalimantan dan Papua. Artinya, mayoritas petani di Indonesia lahannya semakin sempit dan miskin. Ini belum termasuk angka buruh tani, penggarap (tillers).

"Situasi di atas berbanding terbalik dengan penguasaan badan usaha skala besar di sektor perkebunan sawit yang mencapai 17,76 juta hektare, hutan tanaman industri (HTI) mencapai 11,11 juta hektare dan tambang mencapai 10,11 juta hektare," ucap Dewi.

Sistem agraria yang kapitalistik, Dewi melanjutkan, juga ditunjukkan dengan meningkatnya laju alih fungsi lahan pertanian akibat proyek-proyek pembangunan yang memarginalkan sektor pertanian rakyat dan wilayah adat. Data BPS menyebutkan, lima tahun terakhir (2018-2023) terjadi penyusutan lahan mencapai 648.800 hektare atau rata-rata 130.000 hektare.

KPA, kata Dewi, juga mencatat sepanjang 2015 sampai dengan 2023 ada 2.393 letusan konflik agraria, yang berdampak pada 6,3 juta hektare tanah masyarakat, dan 1,75 juta keluarga. Eskalasi konflik selama satu periode ini naik 100 % dibanding satu dekade sebelumnya.

Kejadian konflik agraria menunjukkan praktik perampasan tanah rakyat untuk kepentingan konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan, pembangunan infrastruktur dan properti. Situasi ini diperparah oleh percepatan pengadaan tanah untuk proyek-proyek strategis nasional (PSN), yang menggusur rakyat dari tanah dan sumber penghidupannya.

Perampasan tanah (land grabbing) dan penggusuran tempat hidup masyarakat adalah sebuah ironi sistem agraria yang kapitalistik, yang menyebabkan ketimpangan struktur agraria di Indonesia semakin mendalam dan kronis. Sedikitnya 39 juta hektare tanah dikuasai segelintir perusahaan sawit, kehutanan dan tambang. Parahnya bisnis sawit, tambang dan bisnis kehutanan yang ilegal justru diberikan amnesty (pengampunan) oleh UU Cipta Kerja.

Selama ini, pemerintah mengklaim bahwa telah meredistribusikan tanah seluas 1,43 juta hektare (358 %) yang berasal dari HGU habis dan tanah terlantar. Sementara redistribusi yang berasal dari kawasan hutan, baru mencapai 0,3 juta hektare (9 %) dari janji 4,1 juta hektare.

Namun klaim capaian ini penting dievaluasi secara menyeluruh dan transparan. Sebab data sekitar 7 juta hektare tanah terlantar dan HGU/HGB habis tidak bergeming dalam dua dekade terakhir. Pemerintah juga tidak pernah membuka data konsesi mana saja yang ditertibkan menjadi obyek Reforma Agraria dan lokasi-lokasi konflik agraria yang mana yang diklaim telah diselesaikan.

"Klaim angka fantastis yang disebutkan pemerintah semakin keliru dengan tujuan Reforma Agraria itu sendiri, sebab patokannya adalah jumlah bidang, bukan luas tanah dan jumlah subyek penerima redistribusi tanah. Terlebih, proses tersebut telah mencampur-adukan antara legalisasi aset (pensertifikatan tanah) dengan redistribusi tanah," kata Dewi.

Dewi bilang, selama sembilan tahun terakhir, Presiden Jokowi telah gagal menjalankan reforma agraria, sebab yang dijalankan adalah program sertifikasi tanah, yang diklaim sebagai keberhasilan Reforma Agraria. Hal ini berbahaya, sebab pensertifikatan tanah tanpa didahului oleh proses-proses penyelesaian konflik agraria dan usaha sistemik untuk mengurai ketimpangan agraria, maka sama saja dengan melegalkan ketimpangan dan ketidakadilan agraria itu sendiri.

Menurut Dewi, para capres-cawapres RI haruslah memahami bahwa sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pasal 33 Ayat (3) merupakan semangat utama yang dikandung Agenda Reforma Agraria. Oleh karena itu, secara historis, filosofis, ideologis dan sosiologis Reforma Agraria bukanlah sekedar bagi-bagi sertifikat tanah kepada pemilik tanah seperti yang selama ini terus dipromosikan pemerintah, termasuk oleh capres-cawapres dan parpol-parpol pendukungnya.

Dewi menerangkan, Reforma Agraria yang sejati mengemban empat tujuan utama. Yang pertama, merombak ketimpangan penguasaan tanah agar struktur agraria Indonesia menjadi lebih berkeadilan. Kedua, menyelesaikan konflik-konflik agraria (lama dan baru) dengan orientasi pemulihan, pemenuhan dan pengakuan hak atas tanah rakyat.

Kemudian yang ketiga, meredistribusikan tanah kepada rakyat kecil yaitu petani gurem, buruh tani, petani penggarap (tillers), masyarakat miskin tidak bertanah (landless/tunakisma) untuk mengurangi ketimpangan, juga masyarakat adat yang mengalami ketidakadilan agraria dan telah dimarjinalkan dalam struktur agraria. Yang keempat, pembangunan ekonomi di kawasan Reforma Agraria pasca-penataan ulang struktur agraria, redistribusi tanah dan penyelesaian konflik sehingga rakyat dan desanya mencapai titik kesejahteraan serta harkat-martabat yang lebih baik.

"Oleh sebab itu, menjadi sesat ketika Program PTSL (sertifikasi tanah atau legalisasi aset) masih dimaknai sebagai Reforma Agraria. Pemerintahan Jokowi telah mengulangi kesalahan Pemerintahan SBY, yang kembali mengkerdilkan Reforma Agraria sebagai program bagi-bagi sertifikat tanah," tutur Dewi.

Presiden yang akan datang memiliki pekerjaan rumah besar, salah satunya kembali kepada Konstitusi Agraria kita, agar paradigma yang sesat tentang Reforma Agraria dapat dikoreksi dan diluruskan sesuai dengan prinsip fundamental apa yang dimaksud dengan Reforma Agraria, dan tujuan pokok mengapa Indonesia harus menjalankannya secara penuh dan konsekuen.

Untuk itu, kata Dewi, penting bagi para capres-cawapres membaca kembali konstitusi agraria Indonesia, UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Dua peraturan perundang-undangan ini merupakan terjemahan langsung dari Pasal 33 Ayat (3).

"Reforma Agraria bukan sekedar bagi-bagi sertifikat atau legalisasi aset, apalagi sekedar menciptakan kota-kota lengkap seperti Kota Solo, sebagaimana disampaikan cawapres 02 pada Debat Cawapres ke-2 yang lalu. Paradigma sesat seperti ini harus diluruskan," ucap Dewi.