Pentingnya Perencanaan Berbasis Karakteristik Ekoregion
Penulis : Ir. Aryanti, M.Si, Pegiat Lingkungan, Tinggal di Yogya
OPINI
Selasa, 30 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BENCANA hidrometeorologi dan geologi seperti banjir, longsor, angin puting beliung, gempa bumi dan erupsi gunung api, abrasi, kebakaran hutan dan lahan, kemarau panjang, selalu terjadi setiap tahun di Pulau Jawa. Bencana tadi tidak hanya mengancam wilayah selatan Pulau Jawa tetapi wilayah utara yang lebih didominasi endapan aluvial lunak.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2023 mencatat 3.056 bencana di Indonesia selama periode 1 Januari-3 Oktober 2023. Mayoritas bencana alam berupa banjir. Hampir separuh dari bencana itu terjadi di Jawa, sebanyak 1.144 kejadian. Hal ini menempatkan Pulau Jawa sebagai pulau yang paling rentan bencana.
Berdasarkan infomasi dari Geoportal Data Bencana Indonesia (https://gis.bnpb.go.id) data kejadian bencana hidrometeorologi di Indonesia pada lima tahun terakhir dari tahun 2019-2023 dapat dilihat pada tabel berikut.
Dari tabel di atas, jumlah kejadian bencana kecenderungannya menurun kecuali bencana kebakaran hutan dan lahan serta gempa bumi yang cenderung meningkat. Bencana yang terjadi bisa jadi dikarenakan perencanaan keruangan wilayah tidak berdasarkan daya dukung dan daya tampung (DDT) lingkungan.
Tata Ruang Tak Berbasis Ekoregion
Pertanyaanya, mengapa bencana hidrometeorologi itu selalu terjadi di Jawa; apakah ada yang salah dari perencanaan wilayah kita? Dengan lain kata, apakah perencanaan wilayah kita sudah berbasis karakteristik ekoregion.
Perlu diketahui bahwa ekoregion memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga potensi bencana yang ditimbulkan juga akan berbeda. Dalam upaya pengurangan risiko bencana, diperlukan koordinasi lintas batas daerah, baik secara administrasi ataupun ditinjau dari hulu-hilir DAS, sehingga pendekatan ekoregion dapat membantu identifikasi potensi bencana yang ada pada suatu wilayah.
Tahun 2023 Pusat Pengendalian Ekoregion Jawa atau P3E Jawa, KLHK, melakukan evaluasi pengelolaan kebencanaan berbasis karakteristik ekoregion. Wilayah yang dievaluasi adalah di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten (Kabupaten Serang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang), Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur), dan Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jember, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bondowoso).
Hasil evaluasi menemukan bahwa di bagian barat terdapat satu provinsi dan enam daerah kabupaten/kota (Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Serang) yang berpotensi bencana bahaya banjir berkategori rendah hingga tinggi. Hal ini dikarenakan daerah kabupaten/kota tersebut memiliki karakteristik ekoregion dominan Dataran Fluvio-Marin Material Aluvium, Kipas Aluvial Material Aluvium, Lembah antar Gunungapi, dan Dataran Struktural Lipatan (Dataran Nyaris) Jalur Banten-Bogor Batupasir Tufaan dan Batulempung Gampingan.
Karakteristik Dataran Fluvio Marin Material Aluvium ini membentuk endapan lempung marin di bagian bawah, dan sekarang tertutup oleh endapan sungai (fluvial) yang membentuk lapisan aluvial di bagian atas. Material penyusun didominasi oleh endapan lempung dengan tingkat infiltrasi yang rendah sehingga sulit untuk meloloskan air. Hal ini berpotensi mengakibatkan bencana banjir.
Karakteristik Bentanglahan Dataran Struktural Lipatan (Dataran Nyaris) Jalur Banten-Bogor Batupasir Tufaan dan Batulempung Gampingan yang terdapat di Kota Tangerang Selatan berada pada jalur Banten-Bogor dan merupakan dataran nyaris, yaitu dataran rendah yang miring ke laut karena mengalami erosi terus-menerus. Morfologi dataran dengan relief datar, kemiringan lereng 3-8%, beda tinggi rerata <25 m="" material="" pembentuknya="" adalah="" batu="" pasir="" tufaan="" dan="" batulempung="" gampingan="" sehingga="" berpotensi="" bencana="" banjir="" walaupun="" indeks="" bahaya="" banjirnya="" termasuk="" rendah="" p="">
Jika dilihat dari kejadian bahaya banjir di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Serang, dan Provinsi DKI Jakarta, kondisinya menurun dari tahun 2021-2022, namun meningkat di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Selain itu, Jawa bagian Barat, yakni di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung juga memiliki potensi bahaya gempa bumi dikarenakan daerah tersebut memiliki karakteristik ekoregion Perbukitan Struktural Patahan dan terdapat patahan aktif Cugenang.
Sedangkan di Kabupaten Serang terdapat gunung aktif (Gunung Krakatau) di Selat Sunda yang dapat berpotensi bencana tsunami yang tinggi pada daerah pesisir di wilayah peruntukan pariwisata dan industri.
Berdasarkan hasil evaluasi ini, pada Jawa Bagian Timur, empat wilayah yang dievaluasi yaitu Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jember, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso, memiliki karakteristik ekoregion dominan Fluvio Marin Material Aluvium dengan potensi bencana bahaya banjir berkategori sedang hingga tinggi.
Selain itu, wilayah Kabupaten Banyuwangi dominasi ekoregion Perbukitan solusional karst jalur Pacitan Blambangan Batugamping terumbu yang berada di Taman Nasional Alas Purwo berpotensi bencana Kebakaran Hutan dan Lahan berkategori sedang hingga tinggi.
Kaki Gunung Api Baluran Material Piroklastik yang berada di Taman Nasional Baluran, Kabupaten Situbondo berpotensi juga bencana Kebakaran Hutan dan Lahan berkategori tinggi. Kabupaten Bondowoso yang dominan karakteristik ekoregion Gunungapi Komplek Raung Merapi-Ijen Material Piroklastik juga berpotensi bencana bahaya longsor.
Jumlah kejadian bencana banjir di Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bondowoso menurun dari tahun 2020-2022, namun meningkat di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember dari Tahun 2020-2022.
Data luasan bencana kebakaran hutan dan lahan di Taman Nasional Alas Purwo – Banyuwangi seluas 427 ,75 Ha pada Tahun 2019, pada Tahun 2020-2022 tidak terjadi karhutla.
Sedangkan bencana karhutla di Taman Nasional Baluran - Situbondo menurun luasan terbakarnya. Luasan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Taman Nasional Baluran pada Tahun 2020 seluas 352.99 Ha, Tahun 2021 seluas 344.55 Ha dan Tahun 2022 seluas 286.39 Ha.
Dominan Rencana Pola Ruang Permukiman dan Pertanian
Dominasi rencana pola ruang di wilayah bagian Barat daerah yang dievaluasi adalah peruntukan permukiman dan peruntukan pertanian lahan basah serta kawasan hutan produksi dominasi di Hulu DAS yang melewati Kabupaten Bogor.
Sedangkan dominasi di semua wilayah Bagian Timur juga lebih dominan peruntukan permukiman, di Kabupaten Jember selain permukiman juga dominan peruntukan Kawasan Tanaman Pangan, Kabupaten Situbondo selain permukiman juga dominan peruntukan sawah irigasi dan Kabupaten Bondowoso selain permukiman juga dominan peruntukan kawasan hutan lindung.
Upaya-upaya mitigasi bencana yang telah dilakukan oleh daerah Jawa Bagian Barat, antara lain dari Pemerintah Pusat berupa pemberian bibit gratis kepada masyarakat dalam rangka penanaman di lahan-lahan kritis yang tersebar di seluruh wilayah Citali (Banten dan Jawa Barat), baik yang berada di dalam kawasan maupun diluar kawasan hutan. Juga terdapat dukungan seperti pinjaman melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk merealisasikan Program Pengendalian Banjir.
Dari pemerintah provinsi upaya mitigasinya yakni koordinasi, sinkronisasi dan pelaksanaan pengendalian emisi GRK, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (40 kampung iklim yang dibina, Inventarisasi dan Mitigasi GRK Kab/Kota, Pilot Project Teknologi Adaptasi dan Mitigasi 2 lokasi).
Di Provinsi DKI Jakarta terdapat tiga program prioritas dalam APBD DKI Jakarta Tahun Anggaran 2023, yakni pengendalian banjir, penanganan kemacetan dan antisipasi dampak penurunan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, terdapat regulasi/kebijakan yang telah dikeluarkan oleh daerah terkait penanggulangan bencana, di antaranya Perda Prov Banten No.1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Perda Prov Jawa Barat No.2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Gubernur Jawa Barat No.68 Tahun 2014 tentang Juklak Perda No. 2 Tahun 2010. Peraturan Gubernur DKI No.13 Tahun 2021 tentang Rencana Kontinjensi Penanggulangan Bencana Banjir di DKI Tahun 2021.
Upaya-upaya mitigasi bencana yang telah dilakukan oleh daerah Jawa Bagian Timur, antara lain: Dari Pemerintah Pusatnya antara lain: Pemberian bibit gratis kepada masyarakat dalam rangka penanaman di lahan-lahan kritis. Dari Pemerintah Provinsi berupa Penataan lingkungan dan perlindungan SDA, desa Tangguh bencana, kampung siaga bencana, early warning system, satuan pendidikan aman bencana, pemenuhan kebutuhan dasar darurat bencana, dan pemulihan sarana prasarana pasca bencana. Kegiatan/program pembinaan kampung iklim telah dilakukan oleh semua daerah kabupaten/kota yang dievaluasi kecuali Kabupaten Serang-Banten dan Kabupaten Cianjur-Jawa Barat belum ada program kampung iklim.
Selain itu, pemerintah daerah juga sudah menyusun Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) kecuali Kabupaten Serang-Banten dan Kabupaten Situbondo-Jawa Timur. Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah disusun dalam rangka menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana khususnya, pasal 35 dan pasal 36. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 ditegaskan bahwa setiap Daerah harus menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah sebagai bentuk dari upaya pengurangan risiko bencana sekaligus bagian pembangunan sistem Penanggulangan Bencana melalui penguatan subsistem Perencanaan.
Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi pengelolaan kebencanaan di Ekoregion Jawa, pertama, perlu perencanaan RTRW Kabupaten/Kota berbasis bencana alam yang disesuaikan dengan karakteristik ekoregion masing-masing daerah.
Kedua, peruntukan permukiman yang rawan bencana banjir perlu diarahkan dengan pengembangan infrastruktur pendukung penahan banjir, misalnya perbaikan drainase perkotaan (baik kapasitas maupun jaringan), penerapan prinsip Zero Delta Q (memperbanyak infrastruktur penahan debit banjir berupa sumur resapan, kolam retensi, situ, tandon, dan long storage), penanaman pohon bambu di sepanjang tepian aliran sungai yang berpotensi banjir.
Ketiga, peruntukan lahan basah yang rawan bencana banjir perlu diarahkan dengan konsep agroforestry dan agronomi;
Keempat. peruntukan kawasan tanaman pangan yang rawan bencana perlu diarahkan dengan teknologi adaptasi terhadap banjir, misalnya: penyediaan pompa pembuang air banjir, perbaikan budidaya dan pengaturan jarak tanam. Peruntukan permukiman yang rawan bencana gempa bumi perlu diarahkan dengan infrastruktur tahan gempa.
Kelima, peruntukan pariwisata dan industri yang rawan tsunami perlu diarahkan dengan kelengkapan early warning system tsunami dan jalur evakuasi yang lengkap dan ruang evakuasi yang aksesibel (mematangkan mitigasi bencana).
Ketujuh, peruntukan hutan lindung dan hutan produksi yang rawan bencana tanah longsor perlu diarahkan dengan mempertahankan fungsi kawasan hutan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan, misalnya penanaman vegetasi (jenis dan pola tanam yang tepat, misalnya: penanaman tanaman vetiver atau akar wangi (Chrysophogon Zizaionide) yang memiliki sistem perakaran kuat dan dalam sehingga mampu mencegah tanah longsor dan erosi), perkuatan lereng dan perlu diterapkan sistem terasering dan drainase yang tepat pada lereng, mengikuti kontur. Perlu penerapan agroforestry, agro silvo pasture, silvo pastura dan kegiatan sejenisnya. (Permen PU No.22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor).
Kedelapan, peruntukan kawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional yang rawan bencana Kebakaran Hutan dan Lahan perlu diarahkan dengan kelengkapan sarana keteknikan pencegahan terdiri atas sekar bakar buatan, jalur hijau/green belt dan embung/water point atau kantong air. Selain itu, perlu adanya peningkatan pemberdayaan masyarakat/Masyarakat Peduli Api (PermenLHK No.P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan). *