Perpres Teknologi Tangkap Simpan CO2: Sia-sia Lagi Berbahaya
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Kamis, 01 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida (CO2) atau carbon capture storage (CCS), yang telah dibuatkan payung hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2024, dianggap tidak efektif diterapkan. Menurut sejumlah kalangan, selain masih dalam pengembangan, penerapan CCS juga disebut butuh biaya sangat mahal, terutama pada kegiatan pembangkit listrik.
Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri, mengatakan pihaknya tidak terlalu kaget dengan munculnya Perpres CCS ini. Sebab dalam beberapa kesempatan Pemerintah Indonesia sudah menjalankan kesepakatan, secara government to government dan bussiness to bussiness, baik proyek minyak bumi ataupun proyek gas yang disertai dengan penggunaan CCS.
Trend Asia, kata Indri, menganggap Perpres CCS ini sama sekali tidak ada urgensinya. Justru sebaliknya, malah akan mengakselerasi berbagai proyek energi yang berkaitan dengan fosil dan proyek energi kotor lainnya, yang sedang berjalan atau akan berjalan, semakin eksploitatif mengeluarkan karbon atau gas rumah kaca.
Tak hanya itu, menurut Indri, beleid ini juga dikhawatirkan akan menjadi legitimasi pemerintah memberikan label proyek hijau, ramah lingkungan, rendah emisi dan label lainnya, untuk proyek-proyek energi fosil. Dengan lain perkataan, sebagai bentuk kamuflase menutupi kotornya proyek-proyek energi fosil.
"Sebagai bentuk kamuflase. Sebenarnya hanya mengubah kemasannya menjadi seolah-olah hijau, tapi ternyata isinya masih kotor dengan berbagai macam problematik yang berkaitan dengan teknologi ini," kata Indri, Rabu (31/1/2024).
Diakuinya, tidak hanya Indonesia, sejumlah negara maju memang juga mendorong penggunaan CCS. Tapi menurut pandangan Trend Asia, lanjut Indri, wacana penerapan CCS ini hanyalah bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam upaya menekan emisi karbon atau gas rumah kaca.
Menurut Indri, sejauh ini teknologi CCS belum bisa dianggap sebagai solusi tepat dalam mereduksi emisi karbon. Sebab dari beberapa literatur, CCS ini sebenarnya juga masih dalam proses pengembangan, dan masih belum ada cerita sukses yang menyatakan bahwa teknologi ini terbukti seratus persen andal bisa diaplikasikan, khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang menghasilkan emisi karbon.
"Kemudian juga penggunaan CCS untuk sektor ketenagalistrikan ternyata biayanya sangat mahal," kata Indri.
Sebab, lanjut Indri, setidaknya ada tiga tahap utama yang harus dilakukan dalam implementasi CCS, yakni penangkapan, pengangkutan dan penyimpanan. Di tiap tahapan tersebut, menurut Indri, tentu membutuhkan perlakuan-perlakuan tertentu dan biaya-biaya tersendiri, yang bila dikumulatifkan, akan menjadi sangat mahal.
Indri melihat, dalam Perpres CCS ini terdapat pasal yang menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan dukungan supaya penyelenggaraan penerapan teknologi ini bisa berjalan dengan baik. Dukungan yang diberikan dimaksud dalam bentuk insentif, perpajakan maupun non-perpajakan.
"Nah Perpres ini akan menjadi sebuah kebijakan yang akan memberikan jaminan kepada pelaku-pelaku usaha yang menggunakan teknologi ini. Yang dikhawatirkan ke depannya akan justru membebani keekonomian negara," katanya.
Hal lain yang perlu dikhawatirkan, kata Indri, dalam Perpres ini juga disebutkan tentang skema perdagangan, yang memungkinkan karbon-karbon yang dihasilkan oleh negara-negara lain dijual atau disimpan di Indonesia, dengan skema-skema yang disepakati.
Dianggap teknologi gagal
Direktur Pertambangan dan Energi Yayasan Auriga Nusantara, Ibrahim Fahmy Badoh, mengatakan sudah banyak kajian dari negara-negara yang menerapkan CCS menunjukan bahwa teknologi ini gagal, selain juga sangat mahal biayanya. Secara global metode CCS yang sudah diterapkan selama 30 tahun hanya mampu mengurangi 0,1 persen dari emisi karbon berdasarkan data 2022.
"Untuk industri batu bara seperti contoh yang diterapkan di Australia, dari rencana atau proposal bisa meng-capture sampai 25 persen, faktanya hanya dapat meng-capture 0,2 persen. Rata-rata untuk pembangkit berbahan bakar fosil saja, kemampuan meng-capture itu tidak lebih dari 50 persen, bahkan untuk pembangkit dengan bahan bakar hidrogen," kata Fahmy, Rabu (31/1/2024).
Kegagalan penerapan CCS, kata Fahmy, bisa dilihat dari proyek Petra Nova di Amerika Serikat, yang menjadi pemantik pengembangan CCS di sektor ketenagalistrikan di seluruh dunia. Faktarnya CCS pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 240 MW ini dihentikan, setelah baru beroperasi sepertiga dari masa hidupnya, sebelum akhirnya dihentikan pada 2020 karena hanya berhasil menangkap CO2 16% dari target.
Kekhawatiran lain di Indonesia, imbuh Fahmy, karena biayanya sangat mahal maka hampir tidak mungkin mengharapkan teknologi tangkap simpan CO2 ini diterapkan dengan menggunakan uang swasta. Sebaliknya, jika harus ditanggung pemerintah, sudah hampir dapat dipastikan akan didanai dengan skema utang yang membuat beban utang negara akan semakin besar.
"Seharusnya pemerintah mempertimbangkan, daripada membangun teknologi yang mahal, ada baiknya menginvestasikan itu untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan menggantikan fasilitas pembangkit yang lama yang kebanyakan adalah batu bara," tutur Fahmy
Kekhawatiran lain penerapan CCS di Indonesia, imbuh Fahmy, adalah adanya potensi kebocoran dari penyimpanan dari hasil injeksi karbon ke Bumi, yang dapat menyebabkan pencemaran, terutama pada struktur batuan. Indonesia, kata Fahmy, dengan banyaknya struktur batuan bawah laut yang dinamis, potensi terjadi kebocoran itu sangat besar.
"CCS sebenarnya teknologi untuk meningkatkan produksi migas. Jadi CO2 yang ditangkap bisa dibeli lagi oleh perusahaan migas, makanya ongkosnya tertanggulangi. Jika diterapkan di PLTU hal ini jelas akan meningkatkan harga tarif dasar listrik," ucap Fahmy.
Tidak satu pun CCS yang capai target
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) juga pernah mengeluarkan kajiannya tentang efektivitas CCS. Menurut IEEFA, teknologi ini mahal dan belum terbukti dapat mengalihkan perhatian dari upaya dekarbonisasi global dan memungkinkan industri minyak dan gas untuk menjalankan bisnis seperti biasa.
Bahkan, kata IEEFA, jika potensi yang diumumkan sepenuhnya terealisasi, CCS hanya akan menyumbang sekitar 2,4% mitigasi karbon dunia pada 2030, menurut Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). IEEFA juga menyebut, bahwa tidak ada satu pun proyek CCS yang mencapai target tingkat penangkapan CO2.
IEEFA juga menegaskan, tak hanya keampuhannya yang dipertanyakan, alasan finansialnya lebih buruk lagi. Menurut IEEFA, proyek-proyek dari Aljazair hingga Texas menunjukkan sejarah teknologi CCS bermasalah dalam hal pembengkakan biaya dan penundaan.
"Tinjauan IEEFA terhadap 16 proyek menemukan bahwa meskipun industri mengklaim bahwa tingkat penangkapan 95 persen dapat dicapai, tidak ada proyek yang ada yang secara konsisten menangkap lebih dari 80 persen karbon," kata IEEFA dalam situs resminya.
IEEFA menyatakan, ratusan proyek pembuangan CO2 yang saat ini diusulkan, hanya ada sedikit informasi mengenai keefektifan teknis dari lokasi penyimpanan bawah tanah mereka. Sebuah studi IEEFA mengeksplorasi tantangan tak terduga yang dihadapi dan intervensi yang diperlukan dalam dua proyek Norwegia, yang disebut-sebut sebagai proyek yang berhasil, menawarkan kisah-kisah peringatan untuk proposal yang setidaknya 10 kali lebih besar.
Menurut IPCC dan International Energy Agency (Badan Energi Internasional), lanjut IEEFA, kunci untuk sebagian besar mitigasi emisi CO2 adalah energi terbarukan, efisiensi energi, dan menghilangkan emisi metana yang tidak dapat hilang, dapat memenuhi lebih dari 80 persen kebutuhan dekarbonisasi dunia pada 2030.
"CCS, meskipun kekurangan teknisnya dapat diatasi, hanya dapat memberikan kontribusi minimal terhadap dekarbonisasi. CCS tidak layak mendapatkan penagihan yang sama dengan yang diberikan oleh para pelestari bahan bakar fosil di samping solusi yang telah terbukti," tulis IEEFA.
Seperti disinggung IEEFA, Indri juga mengatakan solusi mengurangi emisi CO2, khususnya di Indonesia, sebenarnya sudah di depan mata, dan hanya membutuhkan komitmen kuat pemerintah dalam menjalankannya. Karena, Indri bilang, sumber energi terbarukan di Indonesia sangat besar tapi tidak dimaksimalkan pemanfaatannya.
Sementara sejumlah regulasi berkaitan dengan penerapan dan akselerasi energi terbarukan, terkesan lambat diselesaikan, contohnya revisi Peraturan Menteri ESDM tentang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
"Ini agak kontradiktif ya dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan juga mencapai Perjanjian Paris dan segala macamnya. Apalagi dengan dikeluarkannya Perpres ini. Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi, mendorong energi terbarukan, transisi yang berkeadilan lepas dari ketergantungan energi kotor, itu masih jauh di depan mata," ucap Indri.
Biaya mahal untuk penerapannya
Analis Keuangan Energi IEEFA, Putra Adhiguna dalam sebuah rilis mengatakan, biaya Carbon, Capture, Utilization and Storage (CCUS)--istilah lain CCS--sangat beragam, mulai dari di bawah US$50 hingga lebih dari US$100 per ton CO2 yang ditangkap.
"Kecuali di Singapura, harga karbon sebagian besar tidak ada di pasar Asia Tenggara, namun CCUS pada dasarnya merupakan 'pajak' untuk terus mengeluarkan karbon," kata Adhiguna, 26 April 2022 lalu.
Adhiguna mengatakan, Amerika Serikat telah menghabiskan setidaknya US$1,1 miliar dana publik untuk mendukung CCUS ketenagalistrikan dan industri, namun tidak satu pun dari delapan proyek pembangkit listriknya yang beroperasi.
Demikian pula Uni Eropa, telah menghabiskan setidaknya €424 juta, dengan 'kemajuan yang diharapkan tidak tercapai', sebagaimana dinyatakan oleh Pengadilan Auditor Eropa. Kemudian, sebagian besar pemerintah di Asia Tenggara sepertinya tidak mampu mengambil peran penting untuk mendukung perkembangan CCUS.
Adhiguna juga mengatakan, pengujian CCUS pada pembangkit listrik besar terbukti memakan biaya yang besar, dengan biaya sebesar US$1 miliar untuk melakukan retrofit pada pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 240 MW pada 2017.
“Sebagai perbandingan, bisa dibilang lebih mudah untuk mempelajari dan secara bertahap meningkatkan turbin angin senilai US$3-4 juta, dibandingkan proyek percontohan yang menelan biaya ratusan juta dolar,” kata Adhiguna.
Untuk dorong perekonomian
Sebelumnya, Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Jodi Mahardi menyebut penerapan teknologi CCS adalah untuk pendorong perekonomian Indonesia.
"Dengan komitmen kuat untuk pembangunan berkelanjutan, Pemerintah Indonesia dengan bangga mengumumkan kemajuan strategis dalam penerapan teknologi CCS," ungkap Jodi dalam keterangan resminya 23 Desember 2023 lalu, dikutip dari CNN Indonesia.
Menurut Jodi, Indonesia memiliki potensi penyimpanan CO2 hingga 400-600 gigaton melalui penyimpanan depleted reservoir dan saline aquifer. Jodi mengklaim, hal itu membuat Indonesia berdiri di garis depan industri hijau.
Selain itu, Jodi mengatakan Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengembangkan teknologi CCS dan membentuk titik singgah CCS di kawasan. Hal itu selaras dengan inisiatif Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060.
"Inisiatif ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik tetapi juga menggali kerjasama internasional," ujar Jodi menjanjikan potensi penerapan teknologi CCS di Indonesia.
"Ini menandakan era baru bagi Indonesia, dimana CCS diakui sebagai 'license to invest' untuk industri rendah karbon seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical," imbuhnya.