Penguasaan Lahan di Riau Masih Timpang
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Senin, 05 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penguasaan ruang lahan di Provinsi Riau masih timpang. Lebih dari 55 persen wilayah Riau dikuasai investasi korporasi, jauh dibanding dengan legalitas wilayah kelola rakyat yang hanya 2,44 persen. Sementara itu, di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) puluhan titik wilayah telah dicadangkan untuk tambang pasir laut.
Hal tersebut dipaparkan Walhi Riau dalam dalam Tinjauan Lingkungan Hidupnya (TLH) yang berjudul "Bahu Membahu Mewujudkan Keadilan Ekologis di Bumi Melayu" yang dipublikasikan 31 Januari 2024. Dalam TLH tersebut, Walhi juga memproyeksikan kondisi lokal maupun nasional ke depannya.
Walhi Riau mengungkapkan, setidaknya 4.989.475 hektare (55,48 persen) dari 8.993.590 hektare total wilayah Riau, dikuasai investasi korporasi. Dari jumlah total tersebut, setidaknya pemerintah memberikan izin kepada 273 perusahaan sawit, 49 hutan tanaman industri (HTI), 2 hak pengusahaan hutan (HPH), dan 19 pertambangan.
Sedangkan hingga 2023, masyarakat hanya memiliki 219.882,64 hektare (2,44 persen) legalitas lahan terdiri dari PS 160.944,346 hektare dan TORA 58.878,30 hektare. Ketimpangan itu, lanjut Walhi Riau, menunjukkan kebijakan Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) belum mampu mengatasi kondisi ketimpangan. Bahkan program Riau Hijau yang dipromosikan Pemerintah Provinsi Riau belum mampu menekan laju deforestasi dan degradasi lingkungan hidup.
Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim, Walhi Riau, Eko Yunanda, mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau menargetkan 932 ribu hektare untuk skema PS hingga 2024. Target ini, faktanya, masih di bawah angka yang tertuang pada target Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) yaitu 1,2 juta hektare.
"Realisasinya pun hanya sekitar 160 ribu hektare saja," kata Eko, dalam sebuah rilis terkait peluncuran TLH Walhi Riau 2024, 31 Januari 2024 kemarin.
Selain itu, Walhi melanjutkan, 47,92 persen daratan di Riau sudah dikuasai perkebunan sawit. Komoditas ini menempati posisi teratas yang mendominasi penguasaan lahan di Riau. Perkebunan sawit dimiliki oleh pengusaha dan cukong dengan izin ribuan hektare dari negara.
Sayangnya, menurut Walhi, terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang menambahkan ketentuan Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang 18 Tahun 2013 memberikan insentif kepada pelaku usaha untuk menyelesaikan persoalan aktivitas usaha perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan. Insentif itu menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas ilegal di kasawan hutan, termasuk perkebunan sawit dan pertambangan.
Pada sektor HTI, terdapat 45 unit perizinan dengan konsesi seluas 1.512.138,92 hektare yang terafiliasi dengan grup Asia Pulp & Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL). Meski telah memiliki komitmen berkelanjutan FCP12 dan SMFP 2.0, Walhi Riau menyebut, dalam praktiknya kebakaran hutan dan lahan, eksploitasi lahan gambut, areal kerja pada pulau kecil dan pesisir, hingga konflik di areal kerja perusahaan HTI di bawah grup APP dan APRIL terus terjadi dan belum terselesaikan.
Terkait kebijakan Energi Baru Terbarukan (EBT), Walhi Riau melanjutkan, hingga 50 tahun ke depan, Provinsi Riau masih bergantung pada energi fosil yang akan meningkatkan penggunaan batu bara. Pemanfaatan EBT lainnya mengandalkan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berasal dari cangkang dan limbah cair sawit untuk pembangkit listrik. Walhi berpendapat, kebijakan ini akan meningkatkan resiko kerusakan lingkungan hidup yang makin parah.
Berjuang di pulau-pulau kecil dan pesisir
Persoalan lain yang dipotret Walhi Riau dalam TLH-nya adalah ancaman terhadap pulau-pulau kecil dan pesisir dari sektor pertambangan, khususnya pasir laut. Ancaman tersebut menguat pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang banyak menuai kritik.
Walhi memaparkan, pada dasarnya sedimentasi ini penting bagi organisme dasar (demersal), karena mengandung berbagai sumber makanan, sebagai habitat dan tempat pemijahan. Namun aturan ini memberi celah untuk ekspor pasir laut yang akan mematikan sumber pendapatan nelayan dari hasil laut.
Hal inilah yang dikeluhkan oleh nelayan Pulau Rupat Utara. Aktivitas tambang dari PT Logomas Utama (LMU) yang izinnya dicabut telah merusak ekosistem sedimentasi laut yang membentuk beting-beting, sehingga membuat hasil tangkapan laut nelayan menurun drastis. Meskipun izin LMU telah dicabut, ada setidaknya 7 perusahaan yang tengah menanti legalitas untuk menambang pasir laut di perairan Dumai dan Rupat, sehingga ancaman aktivitas tambang pasir laut itu tetap ada.
Tujuh perusahaan itu yakni PT Artha Riau Kuarsa di Dumai (eksplorasi 415,21 hektare dan pencadangan 645,06 hektare), PT Sumber Daya Mampu di Dumai (pencadangan 494 hektare), CV Berkat Bumi Putra di Dumai (pencadangan 90,80 hektare), PT Horizon Indo Perkasa di Rupat Utara (pencadangan 95,80 hektare), PT Suna Beting Sentosa di Rupat Utara (pencadangan 3.890,40 hektare), dan PT Unicon Insan Rekadaya di Rupat (pencadangan 99,46 hektare).
Di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) angkanya lebih fantastis. Dari hasil olah data yang dilakukan oleh tim Walhi Riau di Kepri, menemukan sekitar 44 titik Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang dicadangkan untuk pertambangan pasir laut di provinsi ini pada 2023. Kondisi ini tentu akan memperparah daya dukung dan daya tampung lingkungan Provinsi Kepri sebagai provinsi dengan gugusan pulau kecil.
“Jika sumber daya alam dirampas untuk kepentingan investasi, akan menurunkan kualitas lingkungan hidup dan mempersulit nelayan mencari hasil laut,” kata Fandi Rahman, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat (WKR).
Masuknya Pulau Rempang dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 yang akan membangun pabkrik kaca terbesar di Asia Tenggara melalui investasi Tiongkok, Xinyi International Investment Ltd juga akan menambah beban ekologis Kepri. Rencananya, investasi ini akan menggusur 16 kampung tua. Penolakan muncul dari semua kalangan, khususnya kelompok perempuan.
Perempuan Pulau Rempang memimpin perlawanan untuk menolak relokasi atau penggusuran, karena mereka tidak mau ruang hidupnya diganti dengan pembangunan mega proyek Rempang Eco-city. Mereka sadar, laut dan hasil alam lainnya lah yang membuat mereka bertahan di saat kondisi ekonomi sulit ditebak. Laut bagi kelompok perempuan merupakan sumber nafkah.
Menangkan agenda publik di Pemilu 2024
Tak hanya itu, Walhi Riau juga menyoroti pesta demokrasi yang akan digelar beberapa hari mendatang. Menurut walhi Riau Pemilu tahun ini masih tetap sulit mengubah pembaharuan dan pemulihan, khususnya Riau secara signifikan.
Prinsip kriteria lesser evil dan melihat rekam jejak, perlu dilakukan dalam menentukan pilihan. Pertimbangan rekam jejak kandidat dan partai pengusung dapat menjadi tolak ukur seberapa besar tingkat keburukan para paslon.
Muaranya, kata Walhi, adalah menghindarkan hal terburuk terjadi, paling tidak, kriteria tersebut masih membuka ruang melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang dapat berdialog dan mempertimbangkan tuntutan keadilan yang disuarakan rakyat.
”Guna membangun kesadaran memilih yang terbaik dari yang terburuk, TLH Walhi Riau menyajikan sekilas gambaran terkait komitmen lingkungan hidup dan agraria dari masing-masing paslon, serta para oligarki yang berada di balik ketiganya,” kata Umi Ma’rufah-Manajer Pengembangan Program dan Kajian.
Misalnya dalam merespon isu krisis iklim. Pasangan nomor urut 1, Anies-Muhaimin, menitikberatkan pada aspek ketahanan energi dan menempatkannya sebagai bagian dari upaya pemenuhan ketersediaan kebutuhan pokok yang terjangkau.
Pasangan nomor urut 2, Prabowo-Gibran, mengutamakan tercapainya swasembada energi sebagai prioritas bersama dengan swasembada pangan. Sedangkan pasangan nomor urut 3, Ganjar-Mahfud, menekankan pada transisi energi di dalam bingkai ekonomi hijau sebagai instrumen penting guna mewujudkan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
“Apakah masing-masing calon sudah menyentuh akar persoalan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan ketimpangan, itu kembali lagi kepada publik menilainya,” kata Umi.
Dewan Daerah Walhi Riau, Sri Wahyuni menambahkan, dengan komposisi pendukung para capres-cawapres yang memperlihatkan dominasi oligarki di tengah situasi krisis, membuat pihaknya pesimistis akan adanya perubahan lebih baik dalam kebijakan terkait lingkungan hidup dan HAM. Untuk itu, katanya, pengarusutamaan tuntutan keadilan di Tanah Melayu terus Walhi Riau lakukan.
"Menjelang Pemilu 2024 yang tinggal menghitung hari, kita harus bisa cerdas dan teliti dalam memilih, serta turut mengedukasi yang lain agar menghindarkan negara ini dari yang terburuk. Terlepas dari siapa yang akan terpilih, mari kita terus berjuang bersama memenangkan keadilan ekologis, khususnya di bumi melayu,” tutur Sri Wahyuni.