Iklim Kian Panas, Pohon Makin Sesak Napas

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Minggu, 11 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Penelitian terbaru menghasilkan temuan yang mengkhawatirkan tentang berkurangnya kemampuan pohon untuk "bernapas" dan memerangi perubahan iklim dengan menyimpan CO2. Berlawanan dengan keyakinan sebelumnya, pohon-pohon di iklim yang lebih hangat dan kering, ternyata kesulitan untuk menyerap karbon dioksida (CO2), sehingga menjadi ancaman serius bagi upaya untuk memitigasi pemanasan global.

"Pohon-pohon di iklim yang lebih hangat dan kering pada dasarnya sedang batuk, bukannya bernapas. Mereka melepaskan CO2 ke atmosfer jauh lebih banyak daripada pohon-pohon di daerah yang lebih dingin dan basah," kata Max Lloyd, Asisten Profesor Riset Geosains di Penn State dan penulis utama studi yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, 2 Februari 2024, dikutip dari Earth.com.

Ia menjelaskan, pohon biasanya menghilangkan CO2 dari udara melalui fotosintesis, dan menggunakannya untuk tumbuh. Namun, kondisi yang penuh tekanan seperti suhu tinggi dan pasokan air yang terbatas memicu proses sebaliknya yang disebut fotorespirasi, karena pohon melepaskan karbon dioksida kembali ke atmosfer.

Tim Penn State, melalui analisis komprehensif terhadap data jaringan pohon global, menemukan bahwa tingkat fotorespirasi mencapai dua kali lipat lebih tinggi di daerah beriklim hangat, terutama ketika kelangkaan air menjadi salah satu faktornya.

Pohon Merbau yang tumbuh banyak di hutan alam Tanah Papua. (istimewa)

Reaksi ini mulai terjadi ketika suhu rata-rata siang hari melebihi sekitar 68 derajat Fahrenheit dan semakin meningkat dengan meningkatnya suhu. Pengungkapan ini menantang asumsi umum tentang peran tanaman dalam penyerapan karbon.

"Kita telah membuat siklus penting ini tidak seimbang. Tanaman dan iklim saling terkait erat. Penyerap CO2 terbesar dari atmosfer kita adalah organisme yang berfotosintesis," kata Lloyd. "Ini adalah kenop besar pada komposisi atmosfer, jadi itu berarti perubahan kecil memiliki dampak yang besar."

Menurut Departemen Energi AS, kata Lloyd, saat ini tanaman dan pepohonan menyerap sekitar 25% CO2 yang dikeluarkan oleh aktivitas manusia setiap tahunnya. Namun, Lloyd memperingatkan bahwa persentase ini kemungkinan akan menurun seiring dengan menghangatnya iklim, terutama jika air semakin langka.

"Ketika kita berpikir tentang masa depan iklim, kita memprediksi bahwa CO2 akan naik, yang secara teori bagus untuk tanaman karena itulah molekul yang mereka hirup," katanya.

Ia melanjutkan, walau begitu pihaknya telah menunjukkan bahwa akan ada pertukaran yang tidak diperhitungkan oleh beberapa model yang ada saat ini. Dunia, katanya. akan menjadi lebih hangat, yang berarti tanaman dan pepohonan akan kurang mampu menyerap CO2 tersebut.

Penelitian ini juga memperkenalkan metode baru untuk melacak fotorespirasi pada pohon. Tim peneliti menemukan, variasi isotop tertentu di dalam kayu, khususnya pada gugus metoksil, berperan sebagai indikator laju fotorespirasi.

Sebagian orang dapat menganggap isotop sebagai jenis atom. Seperti halnya es krim versi vanila dan cokelat, atom dapat memiliki isotop yang berbeda dengan 'rasa' yang unik karena variasi massa mereka. Untuk mengamati tren fotorespirasi, tim secara aktif memeriksa "rasa" isotop metoksil dalam sampel kayu dari sekitar tiga puluh spesimen pohon.

Spesimen ini, yang mewakili beragam iklim dan kondisi dari seluruh dunia, berasal dari arsip ekstensif di University of California, Berkeley. Arsip ini menyimpan ratusan sampel kayu, yang dikumpulkan dengan cermat selama 1930-an dan 1940-an, menyediakan sumber daya yang kaya untuk penelitian ini.

"Basis data ini awalnya digunakan untuk melatih para rimbawan tentang cara mengidentifikasi pohon-pohon dari berbagai tempat di seluruh dunia, jadi kami menggunakannya kembali untuk merekonstruksi hutan-hutan ini untuk melihat seberapa baik mereka menyerap CO2," kata Lloyd.

Terobosan dalam metodologi ini memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai bagaimana pohon-pohon telah merespons iklim di masa lalu dan bagaimana mereka akan bereaksi di masa depan.

Sebelumnya, menilai laju fotorespirasi terbatas pada tanaman hidup atau spesimen yang diawetkan dengan baik. Sekarang, pendekatan baru dengan menggunakan kayu ini memungkinkan para peneliti untuk memprediksi perilaku pohon di masa depan dan mempelajari data historis.

Ke depannya, tim peneliti berencana untuk memperluas penelitian mereka ke kayu fosil, yang bertujuan untuk mengungkap tingkat fotorespirasi dari puluhan juta tahun yang lalu. Hal ini akan membantu menguji hipotesis tentang interaksi historis antara fotorespirasi tanaman dan iklim.

"Kita mungkin harus kembali ke jutaan tahun yang lalu untuk lebih memahami seperti apa masa depan kita," ujar Lloyd.

Singkatnya, penelitian yang dilakukan oleh Penn State yang dipimpin oleh Max Lloyd ini secara fundamental mengubah pemahaman kita tentang peran pohon dalam penyerapan CO2 dan mitigasi perubahan iklim.

Penelitian Lloyd mengungkapkan bahwa pohon-pohon di iklim yang lebih hangat dan kering berkontribusi lebih sedikit dalam penyerapan karbon, menantang asumsi sebelumnya tentang peran mereka sebagai penyerap karbon alami. Pergeseran perspektif ini, yang didukung oleh metode inovatif untuk menganalisis laju fotorespirasi pada pohon, menekankan urgensi untuk menilai kembali strategi kita dalam memerangi pemanasan global.

Seiring dengan perubahan iklim yang terus terjadi, penelitian ini menggarisbawahi perlunya pendekatan yang lebih bernuansa untuk memahami hubungan yang kompleks antara tanaman dan atmosfer, yang memandu upaya-upaya di masa depan menuju aksi iklim yang lebih efektif.