Warga Wawonii Bertarung di MA untuk Melawan Tambang Harita

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 09 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Perjuangan warga Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra), membebaskan pulau kecilnya dari aktivitas tambang nikel masih panjang. Warga bahkan harus menempuh upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (MA), demi menghentikan aktivitas tambang nikel di pulau seluas 715 km2 tersebut.

Upaya hukum Kasasi itu ditempuh lantaran upaya banding yang diajukan pihak perusahaan tambang nikel, yakni PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor: 167/G/TF/2023/PTUN.JKT--yang mengabulkan gugatan warga terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)--diterima oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta dengan Nomor: 367/B/2023/PT.TUN.JKT.

Putusan PTTUN Jakarta yang diketok pada 25 Januari 2024 itu menganulir putusan PTUN Jakarta yang menyatakan batal Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.576/ Menhut- II/2014, tanggal 18 Juni 2014 tentang IPPKH untuk Kegiatan Operasi Produksi Bijih Nikel dan Sarana Penunjangnya pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atas nama PT Gema Kreasi Perdana yang terletak di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, seluas 707,10 hektare.

Atas putusan PTTUN Jakarta itu, warga penggugat IPPKH PT GKP, Pani Arpandi, bersama kuasa hukumnya dari Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK), kemudian juga melakukan perlawanan dengan menyatakan Kasasi atas Putusan Banding PTTUN Jakarta Nomor: 367/B/2023/PT.TUN.JKT. "Iya banding (yang diajukan perusahaan) diterima. Makanya tadi kita ajukan kasasi," kata Pani, Rabu (7/2/2024) kemarin.

Dari ketinggian tampak kondisi Pulau Wawonii akibat pertambangan nikel. Foto: Jatam Nasional.

Pani menjelaskan, alasan utama perlawanan rakyat Pulau Wawonii, baik di luar pengadilan maupun melalui jalur pengadilan, adalah agar pulau kecil di bagian tenggara Sulawesi itu tetap menjadi ruang hidup mereka dan tidak ditambang. "Alasannya, Pulau Wawonii adalah identitas dan bagian dari pertahanan hidup sejak dari leluhur kami,” kata Pani Arpandi.

Lebih lanjut, Pani menjelaskan, ia mengerti dan paham betul daya rusak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan nikel, terlebih jika dilakukan, di Pulau Kecil dengan daratan yang terbatas, sumber air tawar yang terbatas. Dengan kata lain pulau kecil ini memang tercipta rentan sejak awal, baik terhadap perubahan iklim, pencemaran, dan kerusakan. "Apalagi jika ditambang, pasti rusak bahkan bisa tenggelam pulau kami," katanya.

Pada faktanya, kata Pani, sejak PT GKP kembali beroperasi pada 2021 lalu, Pulau Wawonii mulai tergerogoti, akibat kerusakan lingkungan dan pencemaran air serta terjadinya konflik antar warga. “Di kalangan masyarakat Wawonii terbelah antara penolak dan pendukung tambang,” tandas Pani Arpandi.

Pani juga menganggap, Putusan Majelis Hakim PTTUN Jakarta merendahkan martabat berhukum rakyat Indonesia, sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa pulau kecil dilarang untuk ditambang, sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) Jo Pasal 35 Huruf K UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

Bunyi Pasal 143 ayat (2) UU Minerba yakni, kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan Pasal 35 Huruf K UU PWP3K menyatakan, dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

“Hal yang sulit diterima nalar hukum juga akal sehat yaitu Majelis Hakim PTTUN Jakarta dengan sengaja mencari-cari dalil pembenar keberadaan tambang di pulau kecil dengan mengutip peraturan level daerah (Perda) Provinsi Sulawesi yaitu Perda RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014,” kata Susan Herawati, perwakilan dari TAPaK.

Padahal sesungguhnya, lanjut Susan, Perda RTRW Sultra tersebut sangat bertentangan dengan Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 yang sama sekali tidak mengakomodir alokasi ruang tambang di Pulau Kecil Wawonii. Sebab, ketentuan alokasi ruang tambang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI melalui 2 putusan yang konsisten dan saling menguatkan yakni Putusan Nomor 57 P/HUM/2022 dan Putusan Nomor 14 P/HUM/2023.

"Maka jelas pertimbangan Majelis Hakim PTTUN Jakarta mengabaikan dan melanggar asas hukum Lex Specialis Derogat Lex Generali sehingga harus dibatalkan melalui Kasasi oleh Mahkamah Agung RI," katanya.

Susan menjelaskan, pulau-pulau kecil memiliki kerentanan yang serius, sehingga pemanfaatannya harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem pulau-pulau kecil dan tidak sampai merugikan masyarakat yang hidup di dalamnya. Kehadiran tambang nikel milik PT GKP, menurutnya, telah merenggut ruang hidup masyarakat, seperti sulitnya mendapatkan air bersih, rusaknya tanaman petani dan hilangnya ruang tangkap nelayan.

Maka dengan demikian, imbuh Susan, hakim harus berorientasi pada penyelamatan pulau-pulau Kecil. "Sangat disayangkan jika hakim mendukung korporasi, nasib ribuan pulau-pulau kecil hanya menjadi objek pertambangan dan membuka karpet merah untuk korporasi sejenis Harita Group," ujarnya.

Lebih lanjut, putusan PTTUN ini juga membahayakan pulau-pulau kecil lain yang jadi incaran pengusaha tambang. Misalnya, Pulau Sangihe yang saat ini diincar tambang emas dan Harita Group juga punya kepentingan di sana. "Lewat CV Mahamu Hebat Sejahtera, Grup Harita juga mengincar Pulau Kecil Sangihe, yang merupakan perbatasan Indonesia dengan Filipina," kata Susan.

Oleh karena itu, kata Susan, TAPaK menyerukan agar perkara ini dapat diadili dan diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung RI berdasarkan hukum dan keadilan tanpa pesanan dari mafia peradilan dan mafia pertambangan predator pesisir pulau kecil beserta seluruh kehidupan di dalamnya.

TAPaK sendiri merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, yakni Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Trend Asia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Sebelumnya, selain menyatakan batal, dalam putusan gugatan yang diajukan Pani Arpandi, Majelis Hakim PTUN Jakarta juga memerintahkan kepada Tergugat (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk mencabut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.576/Menhut- II/2014, tanggal 18 Juni 2014 tentang IPPKH untuk Kegiatan Operasi Produksi Bijih Nikel dan Sarana Penunjangnya pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atas nama PT. Gema Kreasi Perdana yang terletak di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, seluas 707,10 hektare.