Cerita Spon Laut Tentang Kenaikan Suhu Bumi yang Tembus 1,5°C

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Senin, 12 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Suhu global telah melampaui kenaikan 1,5°C dan mungkin akan melampaui 2°C di akhir dekade ini, demikian menurut sebuah studi yang dipublikasikan di Nature Climate Change, pada 5 Februari 2024. Temuan yang mengkhawatirkan ini, yang dibuat berdasarkan catatan suhu yang terdapat dalam kerangka spons laut, menunjukkan bahwa perubahan iklim global telah berkembang lebih dari yang diperkirakan sebelumnya.

Dilansir dari The Conversation, pemimpin penelitian Malcolm McCulloch Professor di The University of Western Australia, mengatakan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia mendorong pemanasan global. "Memperoleh informasi yang akurat tentang tingkat pemanasan sangat penting, karena hal ini membantu memahami apakah peristiwa cuaca ekstrem akan terjadi dalam waktu dekat, dan apakah dunia membuat kemajuan dalam mengurangi emisi," ujarnya.

Sampai saat ini, kata McCulloch, perkiraan pemanasan lautan sebagian besar didasarkan pada catatan suhu permukaan laut, namun catatan ini hanya berasal dari 180 tahun yang lalu. Untuk itu, para peneliti ini mempelajari catatan 300 tahun yang tersimpan dalam kerangka spons laut berumur panjang dari Karibia Timur.

"Secara khusus, kami meneliti perubahan jumlah bahan kimia yang dikenal sebagai "strontium" dalam kerangka mereka, yang mencerminkan variasi suhu air laut selama kehidupan organisme," kata McCulloch, dalam tulisannya, 6 Februari 2024.

Ilustrasi suhu panas. Foto: Shutterstock

Menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 1,5°C sejak masa pra-industri adalah tujuan dari kesepakatan iklim Paris 2015. Penelitian yang dipimpin McCulloch ini menunjukkan bahwa kesempatan itu telah berlalu. Bumi mungkin telah mencapai setidaknya 1,7°C pemanasan sejak masa pra-industri--sebuah penemuan yang sangat mengkhawatirkan.

Pemanasan global menyebabkan perubahan besar pada iklim bumi. Hal ini terbukti baru-baru ini saat terjadi gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh Eropa selatan, Cina, dan sebagian besar Amerika Utara.

Lautan menutupi lebih dari 70% permukaan Bumi dan menyerap sejumlah besar panas dan karbon dioksida. Suhu permukaan global secara tradisional dihitung dengan rata-rata suhu air di permukaan laut dan udara di atas permukaan tanah.

Namun, catatan suhu historis untuk lautan tidak merata. Rekaman suhu laut yang paling awal dikumpulkan dengan memasukkan termometer ke dalam sampel air yang dikumpulkan oleh kapal. Catatan sistematis hanya tersedia dari 1850-an dan hanya dengan cakupan yang terbatas. Karena kurangnya data sebelumnya, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, telah mendefinisikan periode pra-industri sebagai periode sejak 1850 hingga 1900.

"Namun, manusia telah memompa karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer setidaknya sejak awal 1800-an. Jadi, periode awal yang digunakan untuk mengukur pemanasan idealnya adalah pertengahan 1700-an atau lebih awal," kata McCulloch.

Terlebih lagi, serangkaian letusan gunung berapi yang sangat besar terjadi pada awal 1800-an, yang menyebabkan pendinginan global secara besar-besaran. Hal ini membuat lebih sulit untuk secara akurat merekonstruksi suhu dasar lautan yang stabil. Namun, bagaimana jika ada cara untuk mengukur suhu lautan secara tepat selama berabad-abad di masa lalu? Ada, dan ini disebut "termometri sklerosponge".

Sklerospong adalah sekelompok spons laut yang menyerupai karang keras, karena menghasilkan kerangka karbonat. Tetapi mereka tumbuh dengan kecepatan yang jauh lebih lambat dan dapat hidup selama ratusan tahun.

Kerangka tersebut menggabungkan sejumlah elemen kimia termasuk strontium dan kalsium. Rasio kedua elemen ini bervariasi selama periode hangat dan dingin. Ini berarti sklerospong dapat memberikan catatan harian yang rinci tentang suhu laut, hingga ke resolusi 0,1 ° C.

Para peneliti, imbuh McCulloch, mempelajari spesies spons Ceratoporella nicholsoni. Spesies ini hidup di Karibia Timur, di mana variabilitas alami suhu lautan bagian atas rendah sehingga lebih mudah untuk mengetahui dampak perubahan iklim.

"Kami ingin menyelidiki suhu di bagian lautan yang dikenal sebagai "lapisan campuran laut". Ini adalah bagian atas lautan, tempat panas dipertukarkan antara atmosfer dan bagian dalam lautan," ujar McCulloch. "Kami mengamati suhu pada 300 tahun yang lalu, untuk melihat apakah periode waktu saat ini yang mendefinisikan suhu pra-industri akurat. Jadi apa yang kami temukan?"

Catatan spons menunjukkan suhu yang hampir konstan sejak 1700 hingga 1790 dan dari 1840 hingga 1860 (dengan jeda di tengah-tengahnya akibat pendinginan gunung berapi). Para peneliti menemukan kenaikan suhu laut dimulai dari pertengahan 1860-an, dan terlihat jelas pada pertengahan 1870-an. Hal ini menunjukkan bahwa periode pra-industri harus didefinisikan sebagai 1700 hingga 1860. Ia menyebut, implikasi dari temuan ini sangat besar.

Dengan menggunakan data dasar yang baru ini, gambaran yang sangat berbeda tentang pemanasan global muncul. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan laut yang disebabkan oleh manusia telah dimulai setidaknya beberapa dekade lebih awal daripada yang diasumsikan sebelumnya oleh IPCC.

"Perubahan iklim jangka panjang biasanya diukur berdasarkan rata-rata pemanasan selama 30 tahun dari tahun 1961 hingga 1990, serta pemanasan dalam beberapa dekade terakhir," tutur McCulloch.

Temuan ini, lanjut McCulloch, menunjukkan bahwa dalam selang waktu antara akhir periode pra-industri yang baru saja peneliti definisikan dan rata-rata 30 tahun yang disebutkan di atas, suhu permukaan laut dan daratan meningkat 0,9°C. Angka ini jauh lebih besar dari 0,4°C yang diperkirakan oleh IPCC, dengan menggunakan jangka waktu konvensional untuk periode pra-industri.

Ditambah dengan pemanasan global rata-rata 0,8°C dari tahun 1990 hingga beberapa tahun terakhir, maka Bumi mungkin telah mengalami pemanasan rata-rata setidaknya 1,7°C sejak masa pra-industri. Hal ini menunjukkan bahwa umat manusia telah melewati target 1,5°C dari Perjanjian Paris.

Hal ini juga menunjukkan bahwa tujuan utama dari perjanjian tersebut, yaitu untuk menjaga pemanasan global rata-rata di bawah 2°C, sangat mungkin akan terlampaui pada akhir tahun 2020-an - hampir dua dekade lebih cepat dari yang diperkirakan.

"Penelitian kami juga menghasilkan temuan lain yang mengkhawatirkan. Sejak akhir abad ke-20, suhu udara di daratan telah meningkat hampir dua kali lipat dari suhu permukaan lautan dan sekarang lebih dari 2°C di atas tingkat pra-industri," kata McCulloch.

Menurutnya, hal ini konsisten dengan penurunan lapisan es Arktik yang terdokumentasi dengan baik dan meningkatnya frekuensi gelombang panas, kebakaran hutan, dan kekeringan di seluruh dunia.

"Perkiraan kami yang telah direvisi menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah berada pada tahap yang lebih lanjut dari yang kami duga. Hal ini sangat memprihatinkan," ucap McCulloch.

Terakhir McCulloch menyampaikan, tampaknya umat manusia telah melewatkan kesempatan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C dan memiliki tugas yang sangat menantang di depan untuk menjaga pemanasan di bawah 2°C. Hal ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk mengurangi separuh emisi global pada 2030.