Butuh 2,5 Juta Ha Lahan, Biomassa Co-Firing PLTU Ancam Hutan Alam

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Selasa, 13 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masyarakat sipil menganggap penyediaan biomassa untuk co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara akan mengancam hutan alam dan masyarakat. Sebab, biomassa kayu akan dipenuhi melalui pembangunan hutan tanaman energi.

Diperkirakan, khususnya PT PLN, setidaknya membutuhkan 8 juta ton dari 10,2 juta ton biomassa (sampah) untuk dibakar bersama batu bara (co-firing) di PLTU. Sehingga dibutuhkan 2,3 juta hektare lahan baru hutan tanaman energi untuk menyediakan co-firing biomassa 5 sampai 10 persen.

Program Manager Bioenergi, Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menjelaskan, pemanfaatan biomassa dalam co-firing hanya akan memperpanjang usia PLTU. Meskipun usia PLTU sudah mencapai 30 tahun, namun program co-firing diklaim telah mengurangi penggunaan batubara di PLTU.

Kedua menguntungkan para pengusaha batu bara karena mereka masih dapat menyuplai batu bara ke PLTU. Ketiga menguntungkan korporasi sawit dan kayu karena adanya bisnis baru Hutan Tanaman Energi (HTE) atau Kebun Energi. "Di sisi lain biomassa merupakan komoditas ekspor yang memiliki disparitas harga yang tinggi," katanya dalam sebuah rilis, Rabu (7/2/2024) pekan lalu.

Tampak dari ketinggian hamparan PBPH hutan tanaman yang dipergunakan untuk biomassa PLTU./Foto: Trend Asia.

Pemanfaatan biomassa diklaim sebagai alternatif untuk mengurangi emisi karbon yang perlu diuji dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan. Praktik-praktik budidaya kehutanan dan perkebunan perlu memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial secara menyeluruh.

Pemanfaatan biomassa yang tidak bijaksana dapat berujung pada peningkatan tekanan terhadap ekosistem, memperburuk masalah seperti kehilangan keanekaragaman hayati dan kerusakan hutan serta hilangnya ruang hidup masyarakat-masyarakat adat.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga menuturkan, bisnis kayu di Indonesia sedang mengalami stagnasi. Usaha baru berupa pembangunan hutan tanaman energi yang dibuka melalui multi-usaha kehutanan untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu co-firing, dimanfaatkan konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI hanya untuk mengamankan bisnis.

"Konsesi kehutanan menjadi lebih leluasa untuk memanfaatkan hutan alam dengan dalih transisi energi pemenuhan bahan baku biomassa kayu," ujarnya. Hal ini, imbuh Anggi, yang justru mempertajam ketimpangan penguasaan lahan dan memperburuk situasi kehidupan masyarakat adat.

Menurut Amalya Reza, pemanfaatan biomassa untuk menghasilkan energi listrik bagi masyarakat adat itu adalah hanya akal-akalan saja. Biodiversitas yang hilang seiring hutan alam yang dirusak untuk memenuhi kebutuhan pembangunan hutan tanaman energi tidak pantas untuk dikorbankan. "Pembakaran biomassa kayu yang digadang-gadang dapat mengurangi emisi nyatanya akan tetap mengalami hutang emisi selama masih melalui proses bakar-bakar," katanya.

Masyarakat sipil menyimpulkan, biomassa sebagai strategi pengurangan emisi dalam penanganan perubahan iklim memiliki konsekuensi terhadap kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam upaya mitigasi perubahan iklim ke depan. Praktik pemanfaatan biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan, ketika menggunakan bahan-bahan seperti kayu, cangkang sawit, jangkos, batang sawit, tempurung kelapa, dan sabut kelapa, memiliki implikasi lingkungan dan sosial yang lebih luas.

Konteks ini juga menyebabkan perampasan tanah dan konflik agraria dengan masyarakat adat juga lokal. Pembakaran biomassa menghasilkan polusi udara yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

Mereka menilai, perlu pengembangan lebih lanjut dalam strategi pengelolaan sumber daya alam, dengan memperhitungkan aspek-aspek seperti dampak lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat lokal. Dengan demikian, evaluasi yang cermat dan integrasi solusi lintas sektor akan menjadi kunci dalam menjawab tantangan perubahan iklim secara kolektif.