Warga Lingkar Tambang: Siapapun Presidennya, Lanjutkan Perlawanan

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Rabu, 14 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat korban pertambangan berkumpul di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka menolak terjebak janji dan narasi elit politik yang tengah berebut kekuasaan di Pemilu 2024.

Perwakilan warga korban pertambangan itu di antaranya adalah warga Tumpang Pitu Banyuwangi, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang, warga Halmahera, warga Dairi, dan warga Kalimantan Timur. 

Mereka menyebutkan kerusakan sosial dan ekologis akibat tambang kini kian banyak. Namun para kontestan Pemilu, baik calon presiden dan wakil presiden maupun calon legislatif, tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah ini.  

“Situasi ini sangat mencemaskan, mengingat cengkeraman oligarki tambang dalam Pemilu 2024 semakin menguat, yang ditandai dengan capres-cawapres dan tim pemenangan (parpol dan non-parpol) memiliki afiliasi langsung dan tidak langsung dengan berbagai macam bisnis, termasuk bisnis di sektor industri ekstraktif,” ucap Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar, melalui siaran langsung yang disiarkan melalui Youtube pada Selasa (13/2/2024). 

Masyarakat korban pertambangan berkumpul di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka menolak terjebak janji dan narasi elit politik yang tengah berebut kekuasaan di Pemilu 2024. Foto: Jatam

Ia menyebutkan keterlibatan penguasa bisnis tambang pada setiap momentum elektoral berpotensi besar mendudukkan mereka sebagai pengendali kebijakan politik. Selama ini beberapa penguasa tambang bisnis sudah berada di pucuk pimpinan parpol. 

Warga korban tambang yang mengecap kerusakan sosial dan ekologis pun merasai peralihan penguasa tak berdampak pada perbaikan hidup mereka. Warga Kendeng misalnya, sudah merasai ancaman kehadiran tambang semen di wilayahnya sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Namun beralihnya kekuasaan, baik di nasional maupun Provinsi Jawa Tengah, ternyata tak mampu menghadang kehadiran pabrik semen mengeruk kawasan karst itu. 

Kemudian di Dairi, Sumatera Utara, nasib yang sama. PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang mengantongi izin pembangunan area tambang di Desa Sopo Kamil, Kecamatan Silima Pungga Pungga, tak goyah meski mendapat penolakan warga bertahun-tahun. 

“Ini menunjukkan bahwa kita mesti bersatu, seperti sapu lidi. Kalau cerai kita goyah. Kita harus konsisten melawan dan bersatu. Tak peduli dengan proses politik,” ucap Sukinah dari JMPPK. 

Melky menjelaskan industri ekstraktif telah meluluhlantakkan ruang hidup warga, mulai dari Jawa, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, termasuk pulau-pulau kecil.

Alih fungsi lahan kian masif berdampak pada menurunnya pasokan pangan warga, pencemaran air dan udara yang memicu terganggunya kesehatan warga, pencemaran ekosistem laut dan lenyapnya ruang hidup nelayan, perusakan kawasan hutan yang memicu bencana banjir dan longsor, hingga kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi yang berujung di jeruji besi.

Ia menekankan pemerintah, terutama di periode kepemimpinan Presiden Jokowi, justru memberikan karpet merah, melalui ragam regulasi dan insentif kepada perusahaan tambang. Regulasi dan insentif itu, dua di antaranya adalah UU Cipta Kerja dan UU Minerba, juga dibarengi dengan pelabelan khusus bagi wilayah operasi perusahaan, mulai dari Proyek Strategis Nasional hingga Objek Vital Nasional. 

Mereka sengaja memilih Porong, Sidoarjo sebagai tempat berkumpul karena kawasan itu merupakan praktik sempurna dari kehancuran lingkungan akibat tambang. Selain itu, pihak yang bertanggung jawab kini justru melenggang di balik kekuasaan.

Lumpur Lapindo menyembur pada 29 Mei 2006 dari sumur gas Banjarpanji 1 milik PT Lapindo Brantas. Lumpur ini menenggelamkan 10 ribuan rumah warga dan 77 rumah ibadah. 

Pada 29 Mei 2014 lalu Joko Widodo yang masih duduk sebagai calon presiden mengunjungi wilayah itu dan lantang bersaura bahwa negara tak hadir di kasus lumpur lapindo. Pada 25 Agustus 2015, setelah duduk sebagai presiden, ia kembali berkunjung didampingi Ibu Negara Iriana, Menteri Sosial saat itu Khofifah Indar Parawansa, dan Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono.

“Lagi-lagi yang diurusi hanya soal ganti rugi, bukan korporasi selaku aktor tunggal yang melenyapkan rumah-rumah warga, sekolah, masjid, pabrik, dan lahan garapan ribuan warga di 12 Desa di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon,” ucap Melky. 

Padahal, data Jatam dan Walhi Jatim menyebutkan lumpur lapindo telah merusak air sumur warga di sekitar lokasi semburan lumpur Lapindo. Air berbau karat, berwarna keruh coklat-kekuningan, dan asin. Untuk minum dan memasak, warga terpaksa membeli air bersih dalam kemasan jerigen, dengan harga Rp2.500 per 25 liter.

Selain itu Data tiga puskesmas di Porong, Tanggulangin, dan Jabon menunjukkan tingginya jumlah pasien penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Di Porong terdapat 3.144 pasien, di Jabon sebanyak 3.623, dan di Tanggulangin selama tahun 2020, jumlahnya mencapai 28.713 pasien.