Hutan Amazon Bisa Berada di Titik Kritis pada 2050
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Jumat, 16 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setengah dari hutan hujan Amazon bisa mencapai titik kritis pada 2050 sebagai akibat dari kekurangan air, pembukaan lahan, dan gangguan iklim.
Makalah tersebut, yang merupakan analisis terlengkap hingga saat ini mengenai dampak gabungan dari aktivitas manusia lokal dan krisis iklim global, memperingatkan bahwa hutan Amazon telah melewati batas aman dan mendesak tindakan perbaikan untuk memulihkan kawasan yang terdegradasi dan meningkatkan ketahanan ekosistem hutan.
Bernardo Flores dari Federal University of Santa Catarina, Brazil, penulis utama studi ini, mengatakan terkejut dengan hasil penelitian ini, yang memproyeksikan potensi perubahan dari penurunan hutan secara perlahan menjadi cepat, lebih awal dari perkiraan sebelumnya.
Hutan sudah menjadi semakin lemah dan homogen, kata Flores. “Pada 2050, hal ini akan meningkat pesat. Kita perlu meresponsnya sekarang. Begitu kita melewati titik kritis, kita akan kehilangan kendali atas perilaku sistem,” ujarnya.
Hal ini memerlukan tindakan internasional karena penghentian deforestasi secara lokal pun tidak akan mencegah keruntuhan hutan tanpa adanya pengurangan emisi CO2 secara global yang mengganggu iklim.
Hutan Amazon telah bertahan terhadap variabilitas iklim selama 65 juta tahun. Namun kawasan ini kini terkena tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat kekeringan, panas, kebakaran, dan pembukaan lahan, yang bahkan menembus hingga ke wilayah tengah bioma. Hal ini mengubah fungsi hutan, yang di banyak wilayah menghasilkan lebih sedikit hujan dibandingkan sebelumnya, dan mengubah penyerap karbon menjadi penghasil emisi karbon.
Kekhawatiran mengenai titik kritis Amazon telah dibahas selama dua dekade terakhir, dan model-model sebelumnya menunjukkan bahwa hal ini bisa terjadi ketika 20% hingga 25% hutannya ditebangi. Studi baru yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu, 14 Februari 2024 tersebut, melangkah lebih jauh dalam kompleksitasnya, dengan menganalisis bukti lima penyebab tekanan air dan mengidentifikasi ambang batas kritis yang, jika dilewati, dapat memicu keruntuhan hutan di tingkat lokal, regional, atau bahkan seluruh bioma.
Diperkirakan pada 2050, 10% hingga 47% hutan Amazon akan terkena gangguan yang dapat memicu transisi ekosistem yang tidak terduga dan berdampak buruk terhadap perubahan iklim regional.
Untuk mencegah hal ini, penelitian ini menemukan bahwa batas aman, termasuk zona penyangga, diperlukan untuk menjaga deforestasi hingga 10% di wilayah Amazon, dan menjaga pemanasan global pada tingkat 1,5C di atas tingkat pra-industri.
Namun overshoot sudah terjadi. Studi tersebut menemukan bahwa 15% wilayah Amazon telah ditebangi dan 17% lainnya terdegradasi akibat aktivitas manusia, seperti penebangan hutan, kebakaran, dan ekstraksi di bawah kanopi. Sebanyak 38% wilayah Amazon mungkin melemah akibat kekeringan berkepanjangan selama dekade terakhir.
Dengan menggunakan data terbaru yang dikumpulkan di lapangan, indikator-indikator proksi dari tren zaman dahulu, dan pemodelan komputer yang menggabungkan tren iklim regional dan global, penelitian ini menelusuri tiga lintasan ekosistem yang mungkin: sabana berpasir putih, kanopi terbuka yang terdegradasi, dan hutan yang terdegradasi – semuanya akan membawa lebih banyak kebakaran dan kekeringan.
Suhu musim kemarau sudah 2C lebih tinggi dibandingkan 40 tahun lalu di bagian tengah dan selatan Amazon. Pada 2050, model tersebut memproyeksikan 10 hingga 30 hari kering lebih banyak dibandingkan sekarang, dan peningkatan suhu maksimum tahunan antara 2C dan 4C. Makalah tersebut mengatakan bahwa hal ini akan membuat “hutan dan masyarakat lokal terkena panas yang tidak tertahankan” dan berpotensi mengurangi produktivitas hutan dan kapasitas penyimpanan karbon.
Pola curah hujan juga sedang berubah. Sejak awal 1980an, sebagian besar hutan Amazon di bagian tengah dan pinggirannya menjadi lebih kering. Curah hujan tahunan di Amazon Bolivia bagian selatan pun telah menurun hingga 20 mm. Sebaliknya, wilayah Amazon bagian barat dan timur menjadi lebih basah.
Jika tren ini terus berlanjut, maka ketahanan ekosistem akan terbentuk kembali. Beberapa wilayah akan menjadi sabana, sedangkan sebagian besar wilayah Amazon lainnya kemungkinan besar akan tetap berada dalam kondisi terdegradasi.
Hal ini akan berdampak besar pada populasi lokal dan regional. Amazon adalah rumah bagi lebih dari 10% keanekaragaman hayati terestrial di bumi, menyimpan emisi CO2 global selama 15-20 tahun, menyumbang hingga 50% curah hujan di wilayah tersebut dan sangat penting bagi pasokan kelembapan di seluruh Amerika Selatan. Evapotranspirasinya membantu mendinginkan dan menstabilkan iklim dunia. Namun arti penting dan kompleksitasnya belum sepenuhnya dipahami.
Makalah ini mencatat bahwa model iklim komputer yang ada tidak cukup mencerminkan bagaimana berbagai jenis gangguan seperti kebakaran, kekeringan dan pembukaan lahan saling terkait satu sama lain, dan juga tidak memperhitungkan dampak berbeda yang dialami oleh berbagai jenis hutan; atau rencana pembangunan jalan baru, yang akan membuka wilayah yang luas bagi penambangan liar dan perampasan lahan; atau bagaimana degradasi hutan berkontribusi terhadap daur ulang air hujan; atau apakah kelebihan CO2 di atmosfer memperkuat atau melemahkan ketahanan hutan.
Kurangnya kompleksitas dalam model yang ada dapat menimbulkan kejutan yang tidak menyenangkan, seperti kekeringan parah yang terjadi pada tahun lalu. “El Nino yang terjadi baru-baru ini menunjukkan bagaimana segala sesuatunya terjadi lebih cepat dari yang kita kira,” kata Flores. “Kita harus memperkirakan hal-hal terjadi lebih awal dari yang kita duga. Kita perlu mengatasi hal ini dengan pendekatan yang sangat hati-hati. Kita harus mencapai nol emisi dan nol deforestasi secepat mungkin. Itu perlu dilakukan sekarang. Jika kita kehilangan Amazon, hal ini akan menjadi masalah bagi umat manusia.”