3 Spesies Serangga Baru: 1 dari Sangihe, 2 dari Papua

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Spesies

Minggu, 18 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE) Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beserta tim dari Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi, berhasil mengidentifikasi tiga jenis (spesies) ngengat baru, yakni Cryptophasa warouwi, Glyphodes nurfitriae, dan Glyphodes ahsanae.

Dari ketiganya, jenis Cryptophasa warouwi perlu diwaspadai petani cengkeh karena berpotensi merusak batang dan ranting cengkeh. Cryptophasa warouwi, termasuk hama endemik baru dari Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, yang perlu diantisipasi potensi serangannya oleh para petani.

Penemuan ini akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman tentang keanekaragaman Cryptophasa di wilayah Wallacea dan menjelaskan status hamanya. Sementara itu, dua ngengat jenis baru lainnya yaitu Glyphodes nurfitriae dan Glyphodes ahsanae diidentifikasi berasal dari Papua.

Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE) BRIN yang terlibat dalam penemuan tersebut, Hari Sutrisno, mengungkapkan larva Cryptophasa dikenal sebagai hama penggerek cabang dan batang. Hewan nokturnal ini memotong daun untuk makanan, membuat terowongan dan menutup lubangnya dengan anyaman sutra dan kotoran.

Cryptophasa warouwi, salah satu dari tiga jenis ngengat baru yang ditemukan para peneliti. C. warouwi disebut berpotensi merusak tanaman cengkeh. Foto: BRIN.

“Pada tahun 2023 aktivitas serangan (hewan) tersebut pernah menyebabkan kerusakan yang bervariasi pada tanaman cengkeh di lima kecamatan Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Infestasinya mengakibatkan kerusakan cabang dan ranting yang menyebabkan penurunan densitas daun pada tanaman cengkeh,” kata Hari, dalam sebuah rilis, Jumat (16/2/2024).

Peneliti PRBE BRIN lainnya, Pramesa Narakusumo menambahkan, sejak 2016 larva jenis ini terpantau mengganggu tanaman cengkeh di Pulau Sangihe dan kemudian di 2023 persebaran jenis ini terus meluas. Lebih lanjut, ia mengatakan, berdasarkan karakter diagnostiknya yang paling khas, ngengat berwarna coklat tua ini terlihat memiliki struktur tegas pada alat kelaminnya.

Selain itu, kode batang DNA menunjukkan spesies baru ini berkerabat di antara spesies Cryptophasa lainnya, meskipun memiliki antena jantan yang mirip dengan genus Paralecta. Detail fisik dari spesies baru ini dibahas dalam jurnal Zootaxa Volume 5403 Nomor 1 yang terbit 18 Januari 2024.

Dosen Universitas Sam Ratulangi, Jackson F. Watung mengungkapkan, baru-baru ini tim juga menemukan fakta bahwa Cryptophasa warouwi tidak hanya menyerang tanaman cengkeh saja, tetapi juga menyerang tanaman jambu air dan jambu biji (Myrtaceae).

“Ancaman ini dapat dikategorikan sebagai serangan serangga hama oligofag, sehingga sangat penting untuk segera mengembangkan rencana strategi pengendalian hama, analisis risiko hama, menyusun daftar hama karantina, dan manajemen pengelolaan hama lainnya,” ujar Jackson.

Kemudian, dua jenis ngegat baru lainnya yaitu Glyphodes nurfitriae dan Glyphodes ahsanae, berdasarkan hasil analisis morfologi yang dilakukan bersama antara Peneliti BRIN dan Universitas Sam Ratulangi, dinyatakan sebagai taksa baru dalam jurnal Zootaxa Volume 5403 Nomor 4 pada 23 Januari 2024.

“Total Glyphodes yang tercatat di Indonesia saat ini berjumlah 48 buah. Publikasi terakhir tentang spesies Glyphodes dari Papua dan Sulawesi dipublikasikan Munroe pada tahun 1960. Sejak saat itu tidak ada lagi spesies yang dideskripsikan dari wilayah ini,” kata Pramesa.

Pramesa menerangkan, temuan ini menambah dimensi baru pada kriteria morfologi untuk mengkategorikan spesies Glyphodes dan menggarisbawahi pentingnya studi morfologi komprehensif dalam menyempurnakan taksonomi dan sistematika dalam genus. Penekanan pada karakteristik alat kelamin dan identifikasi fitur diagnostik baru yang potensial berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam tentang keanekaragaman Glyphodes.

Menurut Pramesa, temuan ketiga jenis ngengat tersebut tentunya akan memperkuat pengetahuan sistematika yang kelak dapat membantu banyak kasus pengendalian hama dan mengidentifikasi biodiversitas di Indonesia. Penemuan tiga taksa baru ini akan memperkuat pengetahuan sistematika ordo Lepidoptera sehingga ilmuwan dapat menentukan peran setiap jenis ngengat di alam.

“Jika karakter hewan nokturnal ini diketahui dapat mengancam, seperti menjadi hama tanaman, tentunya temuan ini menjadi referensi penting bagi pemerintah untuk menentukan status hama, kebijakan pengendalian, menghitung tingkat serangan dan menelusuri daerah sebaran hama di sebuah wilayah, sehingga petani dapat terhindar dari kerugian ekonomi,” ucapnya.

Adanya kepastian nama jenis hama diyakini dapat mempermudah dan mengefektifkan pengenalan, karena setiap jenis memerlukan taktik pengendalian yang berbeda.