Pohon dan Merkuri Berteman, Kita yang Memetik Manfaatnya

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Deforestasi

Sabtu, 24 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sebuah penelitian terbaru telah mengungkap hubungan yang mengejutkan antara deforestasi dan emisi merkuri, yang menjelaskan tantangan lingkungan yang selama ini terabaikan.

Penelitian dari MIT ini mengungkapkan bahwa deforestasi global bertanggung jawab atas sekitar 10 persen emisi merkuri yang dihasilkan manusia setiap tahunnya, yang menekankan peran penting hutan dunia, dari hutan hujan Amazon hingga sabana di sub-Sahara Afrika, dalam memurnikan udara dari polutan beracun ini.

Ari Feinberg, penulis utama studi ini dan mantan peneliti di Institute for Data, Systems, and Society (IDSS), menyoroti pentingnya temuan ini, terutama untuk wilayah tropis.

"Kita telah mengabaikan sumber merkuri yang signifikan, terutama di daerah tropis," kata Feinberg.

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Studi yang diterbitkan di jurnal Environmental Science & Technology ini menunjukkan bahwa hutan hujan Amazon sendiri berkontribusi sekitar 30 persen dari total penyerapan merkuri di daratan. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menghentikan deforestasi di Amazon sebagai cara untuk mengurangi polusi merkuri secara signifikan.

Selain itu, tim peneliti yang terdiri dari Noelle Selin, Martin Jiskra, Pasquale Borrelli, dan Jagannath Biswakarma, menemukan bahwa upaya reboisasi global dapat meningkatkan penyerapan merkuri sekitar 5 persen per tahun. Meskipun reboisasi sangat penting, tim peneliti menekankan bahwa hal tersebut tidak dapat menggantikan kebutuhan akan upaya pengendalian polusi yang komprehensif di seluruh dunia.

Selin, seorang profesor di IDSS dan Departemen Ilmu Bumi, Atmosfer, dan Planet di MIT, menunjukkan pentingnya mengintegrasikan emisi terkait deforestasi ke dalam kebijakan lingkungan yang lebih luas. Hal ini terutama karena kontribusi besar dari emisi ini terhadap masalah merkuri global.

Secara historis, fokus pada deforestasi sebagian besar adalah pada perannya dalam emisi karbon dioksida. Namun, penelitian ini menyoroti peran biosfer darat yang signifikan namun kurang dihargai dalam siklus merkuri global.

Merkuri, tidak seperti karbon dioksida (CO2), tidak memiliki fungsi biologis bagi tanaman, melainkan diserap oleh daun dan akhirnya ditransfer ke tanah, di mana merkuri lebih aman. Proses ini membantu mengurangi risiko merkuri memasuki badan air dan menjadi metilmerkuri, sebuah racun saraf yang kuat yang menimbulkan risiko signifikan bagi kesehatan manusia melalui konsumsi ikan yang terkontaminasi.

Feinberg lebih lanjut menjelaskan jasa ekosistem penting yang disediakan oleh hutan dalam menyerap merkuri, sehingga mengurangi prevalensi metilmerkuri beracun di lautan.

"Di dalam tanah, merkuri terikat jauh lebih erat dibandingkan jika merkuri disimpan di laut. Hutan melakukan semacam jasa ekosistem, yaitu menyerap merkuri dalam jangka waktu yang lebih lama," kata Feinberg.

Meskipun sumber-sumber merkuri industri seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pertambangan emas skala kecil mendapat perhatian, dampak deforestasi belum dipertimbangkan secara memadai hingga studi ini dilakukan.

Penelitian ini menggunakan model transportasi kimia yang canggih untuk memeriksa emisi merkuri yang dihasilkan dari deforestasi di berbagai wilayah global.

Mengatasi tantangan dalam pengumpulan data, terutama di wilayah yang mengalami deforestasi parah seperti Afrika tropis dan Asia Tenggara, tim peneliti menggunakan teknik pemodelan yang inovatif untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang dampak deforestasi terhadap emisi merkuri.

Temuannya cukup mengejutkan, sekitar 200 ton merkuri dilepaskan setiap tahunnya akibat deforestasi, yang merupakan porsi signifikan dari total emisi yang dihasilkan manusia.

Di negara-negara seperti Brasil, emisi dari deforestasi bahkan mencapai porsi yang lebih besar lagi, sehingga menyoroti kebutuhan mendesak akan intervensi kebijakan yang ditargetkan.

Perbandingan deforestasi yang dilakukan Feinberg dengan negara penghasil emisi merkuri tertinggi kedua di dunia, setelah Tiongkok, menggarisbawahi betapa gawatnya situasi ini.

Seiring dengan upaya Konvensi Minamata untuk mengatasi emisi merkuri primer, peran deforestasi menjadi semakin signifikan. Selin menekankan keterkaitan sistem lingkungan dan perlunya pemahaman dan solusi yang holistik.

"Kebijakan untuk melindungi hutan atau menebang hutan memiliki dampak yang tidak diinginkan di luar target mereka. Penting untuk mempertimbangkan fakta bahwa ini adalah sebuah sistem, dan melibatkan aktivitas manusia, dan kita perlu memahaminya dengan lebih baik untuk benar-benar menyelesaikan masalah yang kita tahu ada di luar sana," kata Selin.

Singkatnya, penelitian yang membuka mata ini menyoroti hubungan penting namun sering diabaikan antara deforestasi dan emisi merkuri, yang mengungkapkan bahwa hutan memainkan peran penting dalam mengurangi polusi udara dengan menyerap sebagian besar merkuri yang dihasilkan oleh manusia.

Menyoroti kontribusi penting Amazon dan menyerukan upaya reboisasi global, penelitian penting ini menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan emisi terkait deforestasi ke dalam kebijakan lingkungan yang komprehensif.

Hasil kerja Ari Feinberg dan timnya mengubah narasi tentang dampak lingkungan dari deforestasi dan berfungsi sebagai ajakan untuk bertindak bagi para pembuat kebijakan, peneliti, dan komunitas global untuk mengadopsi pendekatan holistik dalam pengelolaan lingkungan, memastikan pelestarian hutan planet kita dan kesehatan ekosistemnya untuk generasi mendatang.