Serikat Buruh Minta PT IMIP Beri Layanan Kesehatan yang Layak

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 19 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), menuntut manajemen IMIP untuk memperbaiki sistem layanan dan fasilitas kesehatan untuk buruh yang berobat di Klinik Kesehatan IMIP. Selain itu, SBIPE IMIP juga mendesak agar seluruh perusahaan yang berada di kawasan IMIP mempermudah pengurusan surat izin bagi buruh yang tidak bekerja karena sakit.

Dalam rilisnya, SBPIE IMIP menguraikan, ratusan buruh yang bekerja di perusahaan dalam kawasan industri nikel, IMIP harus menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Klinik PT IMIP di Bahodopi, Morowali. Membludaknya pasien yang menunggu pelayanan di Klinik IMIP terjadi hampir setiap hari mulai pukul 07.00 WITA sampai 23.00 WITA membuat buruh sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dalam kondisi sakit.

“Sudah empat tahun seperti ini. Kalau mau berobat di sini (Klinik IMIP) selalu mengantri panjang, kadang menunggu seharian hanya untuk berobat, padahal orang yang menunggu sedang dalam keadaan sakit,” tutur Eko, seorang buruh yang sudah menunggu lima jam untuk memeriksakan telinganya ke Poli THT Klinik IMIP, Jumat (16/2/2024).

Ketua Umum Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) IMIP, Henry Foord Jebbs, mengungkapkan, sulitnya buruh menerima pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh sistem kuota yang ditetapkan Klinik IMIP. Kuota layanan pasien yang ditetapkan klinik hanya sebanyak sekitar 540 orang per hari, yakni pagi sebanyak 180 orang, pasien siang 180 orang, dan pasien malam 180 orang.

Buruh PT IMIP berharap mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Foto: PT IMIP.

Hal ini, konon atas pertimbangan kesesuaian kapasitas fasilitas dan tenaga medis di Klinik IMIP. Meski begitu, kata Henry, sistem kuota tersebut membuat beberapa pasien tidak mendapatkan nomor antrian karena kuota penerimaan pasien telah habis

Henry berpendapat, sistem kuota tersebut menimbulkan kerugian bagi buruh karena jumlah kuota pelayanan pasien tidak sebanding dengan jumlah buruh yang bekerja di kawasan IMIP. Dengan demikian, kemungkinan buruh tidak mendapatkan hak pelayanan kesehatan cukup besar dan membuat para buruh harus berobat ke puskesmas atau klinik kesehatan lainnya.

“Sayangnya, klinik lain di sekitar kawasan IMIP masih sangat terbatas, hanya puskesmas yang bisa melayani pasien, itu pun jadwal pelayanannya terbatas dari pagi hingga sore saja," ujar Henry.

Di sisi lain, imbuhnya, penerapan sistem jam kerja panjang dari perusahaan yang beroperasi di IMIP menyebabkan buruh mudah sakit. Sementara kapasitas pelayanan kesehatan baik yang disediakan oleh Klinik IMIP maupun yang disediakan oleh pemerintah terbatas.

"Maka yang lagi-lagi yang dirugikan adalah buruh yang kehilangan hak atas layanan kesehatannya,” ujar Henry.

Masalah akses pelayanan kesehatan akibat sistem kuota berimbas ke buruh yang ingin mengesahkan Surat Keterangan Sakit (SKS) dari dokter di luar Klinik IMIP. Sebagai informasi, semua perusahaan yang beroperasi di kawasan IMIP hanya memberikan izin tidak bekerja karena sakit jika buruh memiliki SKS yang dikeluarkan oleh Klinik IMIP atau SKS yang disahkan oleh Klinik IMIP dengan stempel basah, meski buruh tersebut berobat di klinik lain.

“Jika syarat pengesahan tersebut tidak dipenuhi, maka ketidakhadiran karena sakit akan dianggap sebagai perbuatan mangkir. Banyak buruh yang tidak bekerja karena sakit malah dianggap mangkir oleh perusahaan karena tidak memiliki SKS dari Klinik IMIP. Sementara kuota pelayanan di Klinik IMIP dibatasi,” katanya.

Untuk menanggulangi kapasitas pelayanan kesehatan yang belum mencukupi, PT IMIP bekerja sama dengan apotek dan klinik lain di sekitar kawasan IMIP untuk menjadi alternatif pengobatan bagi buruh yang mengalami sakit ringan. Namun, menurut Henry, kerja sama ini berdampak pada aspek finansial karena buruh harus mengeluarkan biaya tambahan ketika mengakses obat di apotek yang juga memanfaatkan momentum itu untuk menjual SKS.

“Banyak buruh yang sakit dan tidak mau berobat dan antri di Klinik IMIP. Akhirnya mereka datang ke apotek yang sudah bekerja sama dengan PT IMIP. Biasanya apotek tersebut mengeluarkan SKS dan buruh harus membayar antara Rp75 ribu hingga Rp100 ribu,” ucap Henry.

Dengan kondisi yang merugikan aspek kesehatan dan finansial buruh yang bekerja di kawasan industri nikel IMIP, SBIPE IMIP Morowali meminta agar PT IMIP segera memperbaiki dan menambah fasilitas serta tenaga kesehatan di Klinik IMIP agar buruh bisa mendapatkan layanan kesehatan yang baik.

Hal ini juga harus sejalan dengan penghapusan layanan kuota dan mendorong Klinik IMIP agar aktif selama 1x24 jam. Selain itu, kerja sama dengan fasilitas kesehatan lain yang menuntut bayaran untuk menerima SKS perlu ditiadakan.

Henry mengatakan, persyaratan izin untuk tidak bekerja karena sakit yang diterapkan di perusahaan di kawasan IMIP hanya akan merugikan buruh, jika perusahaan tidak menyediakan fasilitas dan sistem kesehatan yang memadai untuk melayani lebih dari 50.000 buruh.

"Perusahaan di kawasan IMIP harus mempermudah perkara administrasi bagi buruh yang sakit dan perusahaan harus menghentikan pemberlakuan jam kerja panjang yang berdampak pada kesehatan dan keselamatan buruh,” ujar Henry.