Timpangnya Penguasaan Lahan di Indonesia Timur

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Senin, 26 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Forest Watch Indonesia (FWI) menilai penguasaan lahan di wilayah timur Indonesia timpang. Padahal wilayah tersebut merupakan benteng terakhir dalam pelestarian sumber daya alam Indonesia. Selain itu, wilayah ini juga merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada selama berabad-abad.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI, Anggi Putra Prayoga, mengatakan tantangan besar muncul ketika sebagian besar ruang tersebut sudah terkaveling untuk perizinan dan investasi, meninggalkan sedikit ruang bagi masyarakat adat. Tanpa adanya penerapan prinsip-prinsip Padiapata (prinsip yang memberikan hak kepada masyarakat untuk menyetujui atau tidak menyetujui proyek yang diusulkan) maka sulit memunculkan narasi keadilan di wilayah timur Indonesia.

"Akibatnya, kerusakan sumber daya alam semakin meningkat dan ruang hidup masyarakat semakin terancam," kata Anggi, dalam sebuah rilis, 15 Februari 2024.

FWI mencatat perusahaan-perusahaan besar sudah menguasai tanah dan perairan di wilayah timur Indonesia. Di Provinsi Maluku Utara, misalnya, hutan dan lahannya sudah dikuasai oleh 44 izin usaha pertambangan (IUP) nikel dan 1 kontrak karya.

Bentang hutan di wilayah konsesi perusahaan di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke, Papua. Foto: Istimewa

Total luasan lahan yang diberikan pemerintah kepada para pengusaha di Maluku Utara, lanjut Anggi, berdasarkan catatan FWI, seluas 201 ribu hektare. Puluhan izin itu terbesar di antaranya diserahkan kepada PT Weda Bay Nickel seluas 45 ribu hektare, PT Halmahera Sukses Mineral mencapai 7.726 hektare, 1.000 hektare kepada PT Tekindo Energi, PT Karunia Sagea Mineral menguasai 1.225 hektare, dan PT First Pacific Mining seluas 2.080 hektare.

Kemudian di Papua, berdasarkan catatan FWI, rata-rata grup perusahaan bisa menguasai 6 sampai 10 persen. Tercatat 6 grup perusahaan yang menguasai hutan dan lahan di Papua, yaitu KLI Group seluas 632 ribu hektare (10%), RGM Group 549 ribu hektare (8%), Sinar Wijaya 547 ribu hektare (8%), Alamindo Grup 460 ribu hektare (7%), Korindo Group 417 ribu hektare (6%), dan Masindo Group 406 ribu hektare (6%).

Anggi menambahkan, perkebunan kelapa sawit juga menguasai wilayah timur di Papua, berdasarkan laporan econusa.id, beberapa Izin Usaha Perkebunan (IUP) 2018 yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten maupun Pemerintah Provinsi Papua Barat, luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi/aktif di Provinsi Papua Barat saja mencapai seluas 759.156,6 hektare.

Anggi menyebut keadaan penguasaan hutan dan lahan yang terjadi di wilayah timur Indonesia ini merupakan potret ketimpangan. Oleh sebab itu masyarakat adat menegaskan hak atas sumber-sumber agraria yang berkeadilan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah berupa pengakuan.

"Pendekatan saat ini dinilai belum cukup memperhatikan kepentingan masyarakat adat, bahkan mengabaikan hak mereka agar dapat menentukan nasib mereka sendiri," ujar Anggi.

Anggi mencontohkan, di Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku, masyarakat adat terus berjuang melawan perizinan berupa berbagai perusahaan besar yang ingin menguasai wilayah adat masyarakat. Sejarah panjang konflik tenurial menjadi sorotan, di mana masyarakat adat Aru telah lama melawan berbagai rencana investasi lahan skala besar seperti peternakan sapi, perkebunan tebu, hingga perdagangan karbon.

Usaha perdagangan karbon seperti Melchor Group di Kabupaten Kepulauan Aru, kata Anggi, setidaknya telah memunculkan polemik dengan mengkavling tanah adat masyarakat untuk kepentingan bisnisnya. Padahal, sejak awal datang ke Kepulauan Aru pada 2022, Melchor Group tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai bisnis utama mereka terkait perdagangan karbon kepada masyarakat.

"Pihak Melchor hanya menyampaikan tentang rencana budidaya kepiting bakau dan rumput laut di beberapa desa di kecamatan Aru Tengah, Aru Tengah Timur dan Aru Utara Timur," ujar Anggi.

Hal ini, kata Anggi, menjadi contoh konkret bagaimana kepentingan bisnis seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan berdampak pada ketidakadilan sosial dan lingkungan. Penyimpangan informasi dilakukan oleh korporasi-korporasi besar guna dapat menguasai tanah adat masyarakat.

"Ketimpangan dalam penguasaan hutan dan lahan mencerminkan gambaran tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada prinsip transparansi data dan fakta terkini, agar siapa pun yang menjadi pemimpin selanjutnya memiliki pemahaman yang lebih baik dalam mewujudkan keadilan yang merupakan esensi dari Pancasila," tutur Anggi.