Bumil Vs. Perubahan Iklim, Ini Kata Sains
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Iklim
Kamis, 29 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebuah penelitian baru-baru ini mengungkap ancaman krisis kesehatan yang diakibatkan oleh perubahan iklim, terutama terhadap kesehatan ibu hamil dan anak-anak. Hal ini mencakup peningkatan kelahiran prematur, peningkatan insiden penyakit pernapasan dan kematian, serta peningkatan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit.
Dilansir dari Earth.com, selama beberapa dekade, para ilmuwan telah memperingatkan risiko yang terkait dengan peristiwa cuaca ekstrem seperti suhu ekstrem, banjir, dan kebakaran hutan. Namun, sebuah penelitian meresahkan yang diterbitkan dalam jurnal Science of the Total Environment menandai tinjauan komprehensif pertama atas bukti ilmiah tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kesehatan anak-anak dan kelahiran prematur.
Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Lewis Weeda dari The University of Western Australia dan Wal-yan Respiratory Research Centre di Telethon Kids Institute, bersama dengan Profesor Ekologi Global Matthew Flinders, Corey Bradshaw, dari Flinders University, menyintesis temuan dari 163 kesehatan studi di seluruh dunia.
Hal ini bertujuan untuk memandu perencanaan pemerintah dalam memitigasi dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan generasi mendatang. Analisis para peneliti mengungkapkan statistik yang mengejutkan. Risiko kelahiran prematur bisa meningkat rata-rata 60% akibat paparan suhu ekstrem.
Profesor Corey Bradshaw menyatakan keprihatinannya atas peningkatan angka kelahiran prematur secara global, yang dapat menyebabkan komplikasi seumur hidup bagi jutaan anak.
“Kami telah mengolah data untuk menunjukkan bagaimana kejadian cuaca tertentu di masa depan akan memperburuk masalah kesehatan tertentu di masyarakat,” jelasnya, menyoroti korelasi langsung antara perubahan iklim dan berbagai masalah kesehatan anak.
Bradshaw mengatakan, pihaknya mengidentifikasi banyak hubungan langsung antara perubahan iklim dan kesehatan anak, yang paling kuat adalah peningkatan rata-rata risiko kelahiran prematur sebesar 60% akibat paparan suhu ekstrem. Penyakit pernapasan, kematian, dan kesakitan, antara lain, juga diperburuk oleh perubahan iklim.
Studi ini juga meneliti dampak polutan udara, dan menemukan bahwa meskipun dampaknya tidak terlalu parah dibandingkan dengan suhu ekstrem, dampaknya masih signifikan.
“Dampak berbagai polutan udara terhadap kesehatan anak-anak lebih kecil dibandingkan dengan dampak suhu, namun sebagian besar polutan masih memiliki beberapa jenis dampak, jadi berita ini mengkhawatirkan,” jelas Bradshaw.
Masalah kesehatan anak-anak yang para peneliti identifikasi ini bergantung pada cuaca ekstrem. Cuaca dingin ekstrem dapat menyebabkan penyakit pernapasan, sementara kekeringan dan curah hujan ekstrem dapat menghambat pertumbuhan populasi.
Cuaca ekstrem, seperti cuaca dingin, kekeringan, dan curah hujan berlebihan, dikaitkan dengan dampak kesehatan tertentu seperti penyakit pernapasan dan pertumbuhan terhambat.
Aspek yang mengkhawatirkan dari penelitian ini adalah indikasi bahwa sebagian besar penelitian yang dianalisis dilakukan di negara-negara berpenghasilan tinggi, yang sangat kontras dengan kenyataan bahwa anak-anak di negara-negara berpenghasilan rendah menghadapi risiko tertinggi terhadap layanan kesehatan, infrastruktur, dan pasokan makanan yang stabil.
Kesenjangan ini menunjukkan, negara-negara maju pun tidak kebal terhadap dampak perubahan iklim terhadap kesehatan anak-anak, dengan risiko yang berbeda-beda di setiap benua dan kondisi sosio-ekonomi.
Profesor Bradshaw mengingatkan, peningkatan biaya sosial dan keuangan yang terkait dengan perubahan iklim, dengan menyebutkan asma sebagai contoh, yang dapat menyebabkan kerugian hingga US$1,5 miliar jika terjadi satu musim kebakaran di masa depan.
“Mengingat iklim mempengaruhi penyakit anak-anak, biaya sosial dan finansial akan terus meningkat seiring dengan berlangsungnya perubahan iklim, sehingga memberikan tekanan yang semakin besar pada keluarga dan layanan kesehatan,” kata Bradshaw.
Ia mencontohkan, biaya penyakit asma diperkirakan sebesar US$1,5 miliar akibat satu musim kebakaran di masa depan. Sementara penelitian lain memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kasus asma pada masa kanak-kanak mencapai US$23,573 di tahun-tahun mendatang.
Penelitian ini juga menyoroti bagaimana geografi berperan dalam dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, dengan contoh di Australia dan Afrika Selatan yang menunjukkan konsekuensi berbeda seperti peningkatan kelahiran prematur dan angka kematian yang lebih tinggi.
Dr. Weeda menekankan perlunya tindakan segera untuk melindungi anak-anak dari penyakit terkait iklim. Penelitian yang pihaknya lakukan mengenali beberapa area penting dimana anak-anak paling rentan terhadap perubahan iklim.
“Perkembangan kebijakan kesehatan masyarakat untuk melawan penyakit-penyakit terkait iklim ini, serta upaya-upaya untuk mengurangi perubahan iklim antropogenik, harus diatasi jika kita ingin melindungi anak-anak saat ini dan di masa depan,” ujarnya.
Para peneliti berpendapat, menemukan solusi dan menerapkan kebijakan adaptasi dan mitigasi iklim akan berdampak positif pada berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Perubahan iklim bersifat universal dan berdampak buruk terhadap semua negara dan masyarakat, dan kita harus mempersiapkan masyarakat menghadapi meningkatnya ancaman terhadap kesehatan anak.