Satya Bumi: Kaji Ulang 'Oke Gas' Food Estate Tebu Papua Selatan

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Kamis, 29 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Organisasi pemerhati lingkungan Satya Bumi mengkritisi kebijakan pemerintah yang akan membangun food estate (lumbung pangan) tebu di Papua Selatan. Proyek yang akan memakan lahan seluas 2 juta hektare atau 30 kali DKI Jakarta tersebut dinilai dapat mengulang kegagalan proyek serupa di Pulau Kalimantan. 

Rencana tersebut diumumkan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo pada 19 Februari 2024. Di tahap awal, tanah seluas 60 ribu hektare akan ditanami tebu. 

Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien mengatakan, rencana lumbung pangan tebu ini kontraproduktif dengan tujuan awalnya sebagai solusi ketahanan pangan. Sebab proyek pemerintah sebelumnya belum ada yang berhasil. 

“Food estate tebu ini adalah solusi semu ketahanan pangan. Dari berbagai pengalaman, belum ada proyek food estate yang berhasil. Angka deforestasi dan kerusakan lingkungan justru dilaporkan meningkat karena proyek ini,” kata Andi melalui keterangan tertulis, Selasa, 27 Februari 2024. 

Tutupan hutan di wilayah selatan Tanah Papua. Dok Greenpeace

Andi mengatakan, lumbung pangan tebu di Tanah Papua ini juga disebut akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati yakni bioetanol. Artinya proyek tidak hanya untuk memenuhi target swasembada gula konsumsi nasional 2028 dan gula industri 2030, tetapi juga membawa kepentingan industri energi. 

Pemerintah saat ini, dan diprediksi akan dilanjutkan pemerintahan berikutnya, memang berencana mendorong produksi bahan bakar nabati baik seperti biodiesel, bioetanol, hingga bioavtur dengan subsidi. 

Andi mengatakan ada kekhawatiran jika implementasi proyek ini lebih mengedepankan produksi tebu untuk kebutuhan energi ketimbang pangan. Hal ini telah terjadi pada sektor minyak sawit, di mana pada 2022 terjadi kelangkaan minyak goreng akibat tata kelola sawit yang tidak berkelanjutan. 

Kelangkaan dan melonjaknya harga gula sangat mungkin terjadi, jika tata kelola dan pembagian konsumsi tebu untuk kebutuhan pangan dan energi tak diatur sejak awal, menurut Andi. 

Di sisi lain, pembuatan bioetanol berpotensi menghasilkan limbah. Penelitian Huang dkk. (2020) menyebutkan tebu dapat menghasilkan residu limbah sebesar 17 ton/ha. Satya Bumi menghitung pembukaan awal seluas 60 hektare tersebut setidaknya akan menghasilkan limbah sekitar 1.020 ton. 

“Hal ini tentunya berdampak besar terhadap lingkungan, mengingat di Indonesia, pemusnahan limbah tebu hanya dibakar,” kata Andi.  

Satya Bumi mengatakan kegagalan total lumbung pangan di Kalimantan Tengah diprediksi akan terjadi di Papua Selatan. Pada 2020, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan memulai proyek lumbung padi dan singkong di provinsi tersebut dengan area tertanam seluas 44.000 hektare, dari total target seluas 165.000 hektare. Pada 2023 investigasi media dan laporan berbagai organisasi masyarakat sipil menyebut program itu gagal panen dan telantar. Sebaliknya penelitian menemukan hutan dan ekosistem gambut yang rusak. 

Organisasi tersebut mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang seluruh program lumbung pangan, termasuk rencana di Papua Selatan. Pasalnya proyek baru ini dikhawatirkan akan menggunakan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan untuk proyek ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Menurut Andi, aturan ini dikeluarkan karena kurangnya kawasan non-hutan untuk pembangunan food estate.

“Peraturan ini justru akan melegalkan deforestasi, karena akan membuka lahan baru dan tidak ada jaminan bahwa proyek ini tidak akan merusak lingkungan. Deforestasi akan berdampak kepada krisis iklim yang sedang dihadapi dunia,” kata Andi. 

Andi menilai, pembangunan lumbung pangan di Papua Selatan tidak berkaca dari kegagalan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dibangun oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010. Dari total luas 1,28 juta hektare, 90,2% berlokasi di dalam kawasan hutan. Proyek ini juga merusak tanaman sagu milik masyarakat adat Papua dan menimbulkan konflik lahan antara korporasi dan masyarakat adat. 

Proyek lumbung pangan di Papua Selatan ini dikhawatirkan akan menimbulkan terulangnya konflik lahan yang merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal yang mendiami wilayah ini.