Populasi Macan Tutul Jawa Dihitung Ulang, Daerahmu Ikut Disensus?

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Spesies

Kamis, 29 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Populasi macan tutul jawa (Panthera pardus melas) akan dihitung ulang untuk mengetahui estimasi jumlah populasi terkininya. Kegiatan bertajuk Java-Wide Leopard Survey (JWLS) ini akan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Yayasan Sintas Indonesia di lebih dari 20 bentang alam di seluruh Pulau Jawa.

"Minggu kemarin kita sudah ada pelatihan untuk para team leader. Hari ini persiapan ke lapangan. Lokasi pertama kita di lansekap (bentang alam) Burangrang. Mencakup CA (cagar alam) Burangrang, CA dan TWA (taman wisata alam) Tangkuban Parahu dan area Hutan Lindung Bukit Tunggul," kata Erwin Wilianto, Peneliti Yayasan Sintas Indonesia, Rabu (28/2/2024).

Erwin menjelaskan, JWLS ini hasilnya akan menjadi bahan bagi banyak kebijakan. Bukan hanya bagi KLHK dalam penyusunan dokumen SRAK Macan Tutul Jawa ataupun Rencana Strategis KLHK, tapi juga bisa dijadikan bahan penyusunan perencanaan di level pemerintah provinsi dan daerah, misalnya dalam penyusunan RTRW.

Selain itu, angka populasi terbaru macan tutul jawa juga akan menjadi dasar pembaruan status keterancamannya di International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Macan tutul jawa. Foto: Conservation International/BBKSDA Jawa Barat/Rawayan

Tak hanya macan tutul, kata Erwin, survei ini juga bisa mendapatkan informasi satwa-satwa lain yang akan memperkuat data, dan harapannya bisa diakses untuk kebutuhan apapun.

"Jadi secara tujuan, JWLS ini ingin memberikan data dan informasi yang kuat sebagai fundament perencanaan dan implementasi konservasi di Jawa," kata Erwin, Rabu (28/2/2024).

Erwin menjelaskan, pendataan populasi macan tutul jawa, termasuk distribusi dan ekologi, idealnya dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan sebagai bahan dasar perencanaan pengelolaan spesies dan kawasan. Namun itu belum terlaksana secara optimal di beberapa bentang alam. Alasannya banyak, namun umumnya adalah kurangnya logistik (sumber daya manusia dan dana) bila harus dilakukan di semua area se-Jawa.

Ada 29 bentang alam di Pulau Jawa yang diprediksi menjadi habitat alami macan tutul jawa. Namun kali ini, Erwin bilang, JWLS hanya akan dilakukan di 22 bentang alam, karena 7 bentang alam lainnya sudah atau sedang dilakukan survei.

22 bentang alam tersebut yakni di Rawa Danau, Gunung Kencana, Halimun-Salak, Cikepuh, Gunung Simpang, Gunung Burangrang, Gunung Papandayan, Gunung Masigit, Gunung Sawal, Cimanintin, Gunung Ciremai, Pasir Panjang, Gunung Slamet, Panusupan, Sindoro-Dieng, Merapi Merbabu, Grojogan Sewu, Arjono-Wilis, Raden Suryo, Bromo-Tengger-Semeru, Dataran Tinggi Yang, dan Gunung Raung.

"Oleh karena itu di tahun 2018 kami membuat satu paper yang pada intinya jika harus dilakukan pendataan dan pengelolaan intensif, minimal dilakukan di 22 bentang alam itu," katanya.

Peta sebaran bentang alam yang diperkirakan menjadi habitat macan tutul jawa. Sumber: Identifying priority conservation landscapes and actions for the Critically Endangered Javan leopard in Indonesia: Conserving the last large carnivore in Java Island.

Gunakan metodologi capture-mark-recapture

Erwin menguraikan, metodologi yang digunakan dalam survei ini adalah penelitian dengan kerangka dasar capture-mark-recapture, dengan bantuan camera trap yang berfungsi menggantikan manusia sebagai observer di lapangan. Sebab macan yang sifatnya elusif, sangat sulit untuk dijumpai secara langsung.

"Maka dari itu, camera trap inilah yang hingga saat ini dianggap paling efektif. Dari hasil camera trap, akan menangkap (capture) setiap individu macan dan spesies lain yang lewat. Lalu kita identifikasi individu-individu yang terekam (mark)," ujar Erwin.

Erwin melanjutkan, kamera-kamera ini akan dipasang di 40 titik/stasiun selama 60-90 hari. Dalam jangka waktu tersebut diharapkan ada individu yang sama bisa berulang kali terekam (recapture). Dari data inilah kemudian akan dianalisis untuk mendapatkan sebaran dan perkiraan kepadatan populasi macan tutul di suatu area.

"Secara lebih jauh data ini bisa dikombinasikan dengan data tangkapan satwa mangsa untuk memperkirakan daya dukung area tersebut," tuturnya.

Selain kamera pantau, imbuh Erwin, pihaknya juga akan mencoba uji genetik terhadap feses (kotoran) macan tutul yang ditemukan di lapangan, dan diharapkan bisa didapatkan tingkat keragaman genetik. Menurut Erwin, hal tersebut penting, karena hampir semua petak habitat macan tutul terisolasi oleh area terbangun.

"Mereka enggak bisa pindah dari satu lanskap ke lanskap lain. Artinya ada potensial mereka kawin sedarah. Jika itu terjadi, kemurnian genetik mereka akan menurun dan pada titik tertentu mereka akan kehilangan kemampuan hidup," terang Erwin.

Erwin menjelaskan, bila hasil kamera dan uji genetik itu dipadu-padankan, maka para pemangku kebijakan dan pegiat konservasi satwa bisa mengelola seluruh populasi macan tutul di tingkat pulau. Semisal hasil kajian menunjukkan bahwa populasi macan tutul jawa di suatu area sudah terlalu padat, namun area lainnya masih potensial mendukung populasi yang lebih besar, maka sebagian individu bisa dilakukan translokasi.

"Begitu pula untuk masalah genetik. Jika diketahui satu lokasi terlampau jenuh, memasukkan individu baru yang tidak punya keterikatan genesis akan membantu memperbaiki kualitas genetisnya," katanya.

Menurut Erwin, populasi macan tutul jawa pada 2020 diperkirakan berada di kisaran angka 188-571 individu, dengan mean 319 individu. Angka populasi ini, kata Erwin, memang lebih kecil dari perkiraan populasi di 2013.

"Namun tidak berarti menurun. Lebih karena proses perhitungannya lebih kuat sehingga meminimalisir adanya bias di angka populasinya. Ini juga yang menyebabkan status IUCN berubah dari critcally endangered ke endangered," ujar Erwin.

Survei dengan menggunakan camera trap terbesar pertama di Indonesia

Dalam rilinya, KLHK menguraikan, JWLS yang rencananya akan dilaksanakan selama kurang lebih dua tahun ini merupakan kegiatan kolaboratif survei satwa liar dengan menggunakan kamera pengintai (camera trap) terbesar pertama di Indonesia, baik dalam segi cakupan wilayah, pendanaan, maupun pihak-pihak yang terlibat.

Sebanyak 600 unit kamera pengintai akan dipasang oleh delapan tim gabungan survei lapang secara bergantian, yang dilakukan di 1.160 stasiun pengamatan, di lebih dari 20 bentang alam meliputi 10 taman nasional, 24 kawasan suaka alam, dan 55 kawasan hutan lainnya, dengan luas wilayah kurang lebih 9.825.523.083 hektare.

Selain itu, sebanyak kurang lebih 550 sampel kotoran macan tutul jawa menjadi target untuk dikoleksi secara bersamaan dalam survei kamera pengintai. JWLS ini diharapkan dapat menghasilkan data dasar status populasi dan preferensi satwa mangsa macan tutul jawa yang akurat berdasarkan kaidah ilmiah yang kuat.

Data dasar tersebut akan digunakan di dalam kajian kesintasan populasi (population viability analysis) macan tutul jawa dalam rangka pembaruan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa. Selain macan tutul jawa sebagai target utama, ini juga akan memperoleh data biodiversitas terrestrial lain dan sebarannya di seluruh habitat satwa liar yang tersisa di Pulau Jawa.

“JWLS ini merupakan survei satwa liar skala nasional kedua terbesar di Indonesia setelah survei harimau sumatera se-Sumatera atau Sumatra-Wide Tiger Survey (SWTS) yang telah selesai dilaksanakan oleh KLHK bersama mitra kerjanya pada tahun 2023 yang lalu," kata Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE), dalam sebuah rilis, Selasa kemarin.